Ancaman Bernama Disinformasi

Penyebaran disinformasi di media sosial, upaya mendelegitimasi media massa dan jurnalisme, serta tantangan internal media massa kini menjadi ancaman baru demokrasi. Di tengah fenomena itu, Indonesia memasuki kampanye Pemilu 2019.
Informasi dan demokrasi menjadi dua hal yang saling terkait. Demokrasi yang dinamis dan berfungsi baik membutuhkan masyarakat yang melek informasi agar mereka bisa melaksanakan kewajiban kewargaan, termasuk membuat pilihan politik yang tepat. Hal ini pula yang ikut membuat media massa dan jurnalisme yang dijalankan demi kepentingan publik disebut sebagai pilar keempat demokrasi, selain eksekutif, yudikatif, dan legislatif.
Di tengah arus informasi yang kian deras di era peningkatan penetrasi internet secara eksponensial, kuantitas informasi lebih dari memadai. Namun, kualitas informasi jadi tantangan besar. Penyebaran disinformasi sudah jadi ancaman berbahaya. Di banyak negara, baik di negara maju maupun di negara berkembang yang sedang dalam tataran transisi atau konsolidasi demokrasi, disinformasi sudah memunculkan persoalan.
Penyebaran disinformasi bisa bertujuan menciptakan impresi palsu dengan membiarkan informasi tak benar itu menyebar secara organik dengan memanfaatkan algoritma media sosial ataupun menggunakan tanda pagar (tagar). Namun, ada pula informasi palsu yang disebar sekadar untuk mengalihkan perhatian publik, membuat keriuhan, sehingga publik teralihkan dari isu utama lainnya.
”Ada banyak tipe dalam kategori disinformasi. Ada klaim yang salah, ada juga propaganda. Ini adalah persoalan global. Kami punya reporter dari banyak negara. Di Amerika Serikat (AS), Eropa, Brasil, kami juga menemukan masalah itu,” ungkap Craig Silverman, editor Buzzfeed News, awal Oktober 2018.
Craig menjadi pembicara di salah satu sesi Uncovering Asia, Konferensi Jurnalisme Investigasi Asia Ke-3, di Seoul, Korea Selatan, pada 4-7 Oktober 2018. Sekitar 440 wartawan dari 48 negara menghadiri konferensi yang digelar oleh Global Investigative Journalism Network, Korea Center for Investigative Journalism, dan Konrad Adenauer Stiftung itu. Di sejumlah sesi konferensi, disinformasi menjadi salah satu topik yang acap muncul.

hoax, misinformasi, disinformasi, misleading information, informasi menyesatkan, tindakan yang disengaja, antihoax
Buzzfeed sempat menginvestigasi ”produsen” informasi palsu di kota Veles, Macedonia, yang pada Pemilihan Presiden AS 2016 banyak menyebarkan informasi sensasional tak faktual secara agresif dan pro-Donald Trump (Buzzfeed News, 3/10/2016). Motivasi penyebaran informasi salah itu untuk dapat uang. Semakin banyak jumlah pengguna internet yang mengeklik artikel mereka, makin banyak uang yang didapat.
Namun, Buzzfeed juga menemukan kasus penyebaran informasi yang bermotif politik, bahkan dilakukan lintas negara. Ada kelompok ultrakanan di AS yang merencanakan penyebaran disinformasi untuk membantu kelompok sayap kanan di Perancis agar memenangi pemilihan presiden tahun 2017. Rencana itu dibahas dalam jaringan privat sebelum disebarkan melalui media sosial. Namun, upaya itu gagal karena Emmanuel Macron akhirnya mengalahkan pemimpin partai ultrakanan, Marine Le Pen.
Di Filipina, Rappler menemukan indikasi penyebaran disinformasi dan propaganda yang dilakukan secara sistematis. Chay F Hofilena, Kepala Desk Investigasi Rappler, menuturkan, informasi itu umumnya disebar lewat media sosial oleh influencer yang punya basis pengikut berbeda sehingga bisa menyentuh kelas menegah, kaum intelektual, dan massa akar rumput. Informasi itu lalu diangkat beberapa media arus utama sehingga memberikan legitimasi.
”Karena sudah diangkat media arus utama, diamplifikasi oleh juru bicara Duterte (Presiden Filipina Rodrigo Duterte) atau negara. Setelah itu, pasukan siber akan memviralkannya,” kata Chay.
Penjaga gawang
Makin kuatnya penetrasi pengguna media sosial membuat peranan wartawan dan media massa arus utama sebagai ”penjaga gawang” informasi jadi melemah. Semua orang yang punya akses ke media sosial kini bisa menjadi produsen informasi, kemudian menyebarkannya. ”Tanpa penjaga gawang, propaganda dan kebohongan masuk dalam jalan darah masyarakat, membunuh kebenaran,” kata Maria Ressa, CEO Rappler yang juga sempat jadi Kepala Biro Jakarta untuk CNN tahun 1995-2005.
Namun, media massa arus utama juga tidak mudah mempertahankan perannya sebagai penjaga gawang informasi karena berhadapan dengan tantangan dari dalam dan luar institusi. Dari luar muncul upaya mendelegitimasi wartawan dan jurnalisme. Di Pakistan, misalnya, ada upaya membangun atmosfer agar masyarakat membenci wartawan dan jurnalisme. Hal itu, misalnya, dengan menuduh wartawan membawa nilai dan kepentingan liberal serta tidak patriotik. Narasi itu didukung kelompok ultranasionalis. ”Wartawan bisa dituduh tidak patriotis dan berkhianat jika misalnya membuat produk jurnalistik yang dianggap menyerang intelijen,” kata Zaffar Abbas, editor Dawn, surat kabar berbahasa Inggris di Pakistan.
Sementara itu, tantangan internal surat kabar tak lepas dari masuknya pemodal yang tidak pernah bersentuhan dengan jurnalisme dalam bisnis media. Saat menghadapi pasar media yang terfragmentasi, mereka lalu melakukan berbagai upaya untuk merebut audiens atau untuk meraih kepentingan bisnis, termasuk dengan mengorbankan kepercayaan publik. Juga muncul kasus media massa arus utama justru ”berkolaborasi” dengan kelompok ultrakanan sehingga turut membelah masyarakat.
Aniruddha Bahal, Pemimpin Redaksi Cobrapost, portal berita daring dan juga rumah produksi televisi di India, mengatakan, hasil investigasi timnya menemukan ada beberapa media massa arus utama di India yang bersedia membantu kelompok ultrakanan menyajikan informasi yang memperkuat polarisasi ideologi dan agama di masyarakat. Ada pula yang bersedia menerima uang untuk membantu kelompok sayap kanan menyebarkan narasi yang membelah pandangan politik menjelang pemilu ataupun menginvestigasi lawan politik.
”Musuhnya bukan benar-benar di luar, tetapi juga ada di dalam (media),” kata Aniruddha.
Pemilu Indonesia
Indonesia saat ini sedang menghadapi masa kampanye Pemilu 2019. Para kandidat sudah mulai bergerilya merebut hati pemilih. Pemilu kali ini juga menjadi titik penting dalam perjalanan demokrasi di Indonesia karena dengan penerapan pemilu serentak antara legislatif dan pemilihan presiden, masyarakat ”banjir” kandidat serta diskursus politik. Banjir diskursus disebabkan pemilihan legislatif dan presiden digelar bersamaan.

Sementara itu, banjir kandidat disebabkan jumlah partai nasional bertambah dari 12 partai pada Pemilu 2014 kini menjadi 16 partai. Ini membuat saat pemungutan suara 17 April 2019, seorang pemilih akan memegang lima kertas suara dengan daftar nama total bisa mencapai 300 orang. Dua kondisi itu kemudian menimbulkan tanda tanya, apakah masyarakat bisa mendapat informasi yang memadai tentang program dan rekam jejak calon yang jumlahnya amat banyak?
Di sisi lain, dengan melihat kecenderungan ini, apakah para kandidat akan berkampanye programatik untuk menjaring suara para pemilih? Atau mereka akan menggunakan politik identitas, politik uang, atau bahkan informasi palsu yang lebih mudah diproduksi dan dijual untuk memengaruhi preferensi politik pemilih? Kemudian apakah media massa juga akan ikut larut dalam narasi tersebut?
Ancaman disinformasi di sejumlah negara itu sudah sepatutnya menjadi bahan refleksi kita semua. Oleh karena itu, antisipasi dari semua pemangku kepentingan menjadi krusial, termasuk bagi media massa arus utama yang perlu kembali mengambil perannya sebagai penjaga gawang informasi.

Sebuah lukisan tentang perjuangan untuk memperjuangkan Pancasila dan NKRI terlihat di tembok kota di Kawasan Kwitang, Jakarta, Minggu (9/9/2018). Tembok-tembok kota menjadi salah satu media untuk tetap menggelorakan semangat nasionalisme di masyarakat.KOMPAS/WISNU WIDIANTORO (NUT)09-09-2018