Pasukan Siber Mengepung Dunia, Turut Mengancam Indonesia
Jika tahun 2019 aktivitas pasukan siber diidentifikasi di 70 negara, pada 2020 kini sudah bertambah jadi 81 negara. Indonesia juga menghadapinya ancaman tersebut. Bagaimana menghadapinya?

Gambaran aktivitas pasukan siber sebagaimana terdapat dalam Laporan Oxford Internet Institute (OII) 2021 berjudul "Industrialized Disinformation 2020 Global Inventory of Organized Social Media Manipulation" yang ditulis Samantha Bradshaw, Hannah Bailey, dan Philip N Howard.
Arena perang informasi maupun disinformasi di media sosial semakin meluas di berbagai belahan dunia. Keberadaan pasukan siber menjadi pihak penentu di belakang terjadinya disinformasi publik.
Narasi diciptakan untuk menjatuhkan pihak yang dianggap lawan atau sebaliknya memoles citra seseorang. Namun, salah satu hal yang pasti, pasukan siber ini menyangkut bisnis jutaan dollar AS.
Oxford Internet Institute (OII) pada Rabu (13/1/2021) melansir laporan berjudul "Industrialized Disinformation 2020 Global Inventory of Organized Social Media Manipulation". Dalam laporan itu, para penulisnya, Samantha Bradshaw, Hannah Bailey, dan Philip N Howard mengungkapkan, selama tahun 2020, keberadaan pasukan siber semakin meningkat.
Jika pada tahun 2019 aktivitas pasukan siber diidentifikasi keberadaannya di 70 negara, pada 2020 kini sudah bertambah jadi 81 negara, termasuk Indonesia. Keberadaan pasukan siber yang bertugas memanipulasi informasi di medsos itu tidak mengenal bentuk rezim suatu negara, apakah demokrasi atau otoriter.
"Alat, kapasitas, strategi, dan sumber daya yang terus berkembang digunakan untuk memanipulasi opini publik di seluruh dunia. Kami menemukan bukti, 81 negara menggunakan media sosial untuk menyebarkan propaganda komputasi dan disinformasi tentang politik," tulis laporan tersebut.

Ujaran kebencian dan berita bohong yang menyebar melalui media sosial menjadi salah satu materi yang belakangan ini banyak dibicarakan. Banyak perlawanan terhadap berita tidak benar dan cenderung menyuburkan sikap intoleransi antarwarga bangsa.
Laporan OII mencatat, tugas pasukan siber itu adalah menyusun strategi dan teknik propaganda di media sosial, memanipulasi suatu konten, mengambil data secara ilegal, hingga mengerahkan pasukan untuk menekan pihak tertentu, semisal aktivis dan pers. Sementara itu, semakin banyak pemerintah dan politisi yang menggunakan media sosial untuk memengaruhi proses pemilu, demokrasi, dan hak asasi manusia.
Baca juga: Demokrasi, Pendengung, dan Jurnalisme Baru
Di sisi lain, perusahaan swasta yang menjalankan pasukan siber juga semakin banyak beroperasi. Pada 2020, terdapat 40 perusahaan swasta yang beroperasi di 48 negara yang ditemukan menyebarkan narasi tertentu demi kepentingan politik. Mereka sulit diidentifikasi karena seringkali menggunakan akun "boneka".
Laporan OII juga menyebutkan, sejak 2009, sekitar hampir 60 juta dollar AS telah dihabiskan untuk menyewa perusahaan swasta untuk melakukan propaganda. Sementara itu, hampir 10 juta dollar AS dihabiskan untuk iklan politik di Facebook oleh pasukan siber yang beroperasi di seluruh dunia.
Pasukan siber ini bisa saja menjalankan aksinya dengan memberikan narasi yang mendukung suatu pemerintah atau partai politik. Bisa juga menjalankan strategi dengan menyerang lawan atau menjalankan kampanye hitam. Pasukan siber juga bisa memberikan narasi untuk membungkam perbedaan politik dan kebebasan pers serta mendorong terjadinya polarisasi di masyarakat.

Ketua Masyarakat Anti-Hoaks Septiaji Eko Nugroho dalam diskusi Fighting Fake News in Campaigns and Elections yang diadakan atamerica, di Jakarta, Kamis (22/3).
Cara yang paling banyak ditemukan adalah membuat berita palsu, gambar atau video, atau bentuk konten lain yang dimaksudkan untuk menipu. Hal ini ditemukan di 76 negara. Cara berikutnya adalah membuat narasi berbasis data, tetapi tidak benar yang bertujuan untuk menyesatkan.
Laporan OII mencatat, di Indonesia, isi narasi yang disebarkan pasukan siber antara lain berupa kampanye untuk mendukung pemerintah, ada pula kampanye untuk menyerang pihak oposisi, hingga kampanye untuk menekan pihak tertentu. Selain itu, di Indonesia ditemukan pula penyebaran narasi berbasis data yang bertujuan untuk menyesatkan.
Namun, sejauh ini tidak ada indikasi adanya lembaga negara yang menggunakan komputasi untuk menyebarkan propaganda. Dari sisi kapasitas pasukan siber, laporan tersebut juga mencatat di Indonesia, pengorganisasiannya masuk kategori kapasitas medium. Mereka beroperasi temporer, ada sumber daya yang dialokasikan, terkoordinasi, dan pola koordinasinya terdesentralisasi.
Baca juga: Laporan Lengkap Oxford Internet Institute
Menghadapi fenomena yang mengglobal itu, perusahaan penyedia platform juga berupa memeranginya. Antara 2019 hingga Desember 2020, Facebook dan Twitter telah menghapus lebih dari 317.000 akun dan halaman.
Menurut laporan OII, kini manipulasi informasi telah menjadi semakin profesional dan diproduksi dalam skala yang lebih besar. Padahal, platform medsos menjadi bagian penting dari demokrasi karena dapat menjadi ruang bagi masyarakat untuk berdebat, berdiskusi, berunding, berempati, membuat konsesi, dan hingga menuju konsensus.

"Manipulasi opini publik atas media sosial tetap menjadi ancaman kritis bagi demokrasi," kata laporan tersebut.
Sementara itu, Direktur Safenet Damar Juniarto, ketika dihubungi, Sabtu (16/1/2021), berpandangan, medsos memang telah menjadi ruang yang bisa dimanfaatkan untuk membangun demokrasi, sekaligus menjadi arena untuk saling menghancurkan.
"Banyak intelektual mengatakan, saat ini disinformasi di medsos menjadi cara untuk menyerang lawan. Ini agak berbeda dengan fenomena pada 2011 atau paruh pertama keberadaan medsos yang kental dengan semangat untuk menuntut kebebasan, seperti Arab Spring," kata Damar.
Di Indonesia, lanjut Damar, mereka yang berkuasa maupun partai politik telah melihat fungsi medsos untuk memengaruhi publik dalam mendukung seseorang atau lembaga. Di sini pasukan siber bukanlah kelompok yang bersifat permanen, melainkan tergantung pihak yang menggunakan jasanya. Demikian pula jumlah mereka tidak bisa dihitung dengan pasti.
Baca juga: Ancaman Bernama Disinformasi
Salah satu arena pasukan siber adalah ketika pemilihan umum, baik tingkat nasional maupun daerah. Di luar itu, pasukan siber juga dikerahkan untuk memengaruhi opini publik. Pasukan siber itu dapat dimanfaatkan untuk mendukung suatu kebijakan, menciptakan narasi yang memutarbalikkan fakta, hingga menyerang, membuat marah, memberikan pandangan negatif bagi pihak atau orang yang berseberangan.

Damar Juniarto, Koordinator Regional Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFE-Net).
"Contoh disinformasi itu semisal pada saat dilakukan revisi Undang-Undang KPK, terdapat info bahwa di dalam KPK terdapat talibanisasi," kata Damar.
Bentuk serangan lainnya adalah tindakan mengumpulkan dan mengumbar data pribadi seseorang ke publik dengan maksud menyebabkan rasa malu, penghinaan, dan bisa mengancam privasi korban (doxing).
Dalam laporan Safenet berjudul "Peningkatan Serangan Doxing dan Tantangan Perlindungannya di Indonesia" yang diterbitkan Desember 2020, disebutkan, pelaku doxing biasanya melibatkan sejumlah orang yang bekerja mencari informasi pribadi seseorang melalui situs medsos dan database publik yang dapat diakses secara daring.
Menurut Damar, penutupan akun oleh penyedia platform untuk mengatasi penyebaran disinformasi tidak akan menyelesaikan masalah. Justru mekanisme penempelan label oleh penyedia platform terhadap akun tertentu akan lebih membuat orang untuk tidak serta merta mempercayai isi suatu akun.
Secara terpisah, pengajar Komunikasi Politik Universitas Paramadina, Hendri Satrio, berpandangan, keunggulan medsos adalah sifatnya yang personal. Dengan demikian, pesan yang disampaikan melalui medsos dapat menjangkau audiens yang diinginkan.
Namun, lanjut Hendri, mengutip survei dari Lembaga Survei Kedaikopi, medsos menjadi media yang paling rendah tingkat kepercayaannya dibandingkan media massa. Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat paham bahwa kredibilitas medsos sebagai penyampai pesan atau informasi patut dipertanyakan kembali.

Hendri Satrio, Pengamat Politik dari Universitas Paramadina.
"Dari penelitian atau disertasi saya, justru media sosial itu tidak berpengaruh ke karir politik seseorang. Meningkatkan popularitas seseorang itu iya. Tetapi kemudian meningkatkan karir politik seseorang itu tidak," kata Hendri.
Hanya saja, kata dia, medsos memang menjadi sarana untuk menjatuhkan lawan politik atau pihak yang berseberangan. Untuk itu, menurut Hendri, kedewasaan politiklah yang dapat menangkalnya. Sikap tidak mudah percaya dengan informasi yang beredar di medsos adalah salah satunya.
Dunia maya telah menjadi bagian yang tak terpisahkan. Namun, di sana menanti pasukan siber yang siap memborbardir dengan berbagai informasi. Siapkah kita untuk menyaringnya?