Wakil Ketua Internal Komisi Nasional HAM Munafrizal Manan mengatakan beberapa pasal di RKUHP yang disosialisasikan oleh pemerintah dinilai berpotensi melanggar HAM. Diharapkan ada keterbukaan dalam pembahasannya.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Beberapa pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP yang telah disosialisasikan oleh pemerintah dinilai berpotensi melanggar hak asasi manusia. Masyarakat sipil berharap, ada keterbukaan pemerintah dan DPR dalam membahas RKUHP secara substansial serta inklusif.
Wakil Ketua Internal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Munafrizal Manan mengatakan, norma hukum yang mengkhawatirkan dalam RKUHP, antara lain Pasal 218 dan Pasal 219 yang mengatur tentang penyerangan terhadap kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden.
”Norma hukum ini problematis,” kata Munafrizal saat dihubungi di Jakarta, Rabu (16/6/2021) malam.
Ia menjelaskan, pasal tersebut menganulir putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak menghendaki ada lagi norma hukum seperti itu. Pasal tersebut juga akan membuat penguatan terhadap negara, tetapi pelemahan terhadap masyarakat. Selain itu, aturan tersebut berpotensi mudah digunakan untuk mengintimidasi, bahkan memberangus kebebasan berpendapat dan berekspresi. Hal tersebut melanggar hak asasi manusia.
Dimasukkannya atau dialihkannya pengaturan tentang pelanggaran HAM berat ke dalam RKUHP juga akan menggerogoti pengaturan yang sudah ada dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Menurut Munafrizal, UU No 26/2000 seharusnya didudukkan sebagai UU lex specialis atau bersifat khusus yang muatan materinya mengatur khusus tentang pelanggaran HAM yang berat sebagai tindak pidana khusus. Pengadilan HAM pun dikategorikan sebagai pengadilan khusus, seyogianya tidak diturunkan menjadi seperti tindak pidana umum karena diatur dalam RKUHP.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP yang terdiri dari beberapa organisasi masyarat sipil menilai, masalah tindak pidana pelanggaran HAM yang berat Pasal 598-599 RKUHP masih diatur tidak sesuai dengan standar HAM secara internasional.
”Memasukkan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan ke dalam RKUHP dikhawatirkan akan menjadi penghalang untuk adanya penuntutan yang efektif,” kata Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu.
Ia mengatakan, pengecualian asas nonretroaktif untuk pelanggaran HAM berat tidak diatur didalam buku 1 RKUHP. Akibatnya, tindak pidana pelanggaran HAM berat kehilangan asas khusus yang sebelumnya telah melekat di pengaturan UU Nomor 26 Tahun 2000.
Dalam Pasal 187 RKUHP telah diatur mengenai pengecualian yang dapat dilakukan oleh UU di luar RKUHP terkait prinsip dan ketentuan hukum pidana. Namun, dalam ketentuan peralihan Pasal 618 Ayat (1) RKUHP disebutkan bahwa ”Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, setiap Undang-Undang yang memuat ketentuan pidana harus menyesuaikan dengan ketentuan Buku Kesatu Undang-Undang ini”. Artinya, apabila dibaca secara sistematis, dapat mengakibatkan aturan retroaktif dalam UU Pengadilan HAM hilang.
RKUHP juga dinilai tidak secara tegas mengatur tentang tidak ada batasan mengenai kedaluwarsa penuntutan dan menjalankan pidana untuk tindak pidana pelanggaran berat terhadap HAM.
RKUHP perlu dibahas secara substansial dengan keterbukaan pemerintah dan DPR untuk adanya perubahan rumusan, penghapusan pasal, atau bahkan koreksi pola pembahasan yang harusnya lebih inklusif melibatkan ahli yang tidak hanya ahli hukum pidana. (Erasmus Napitupulu)
Selain itu, masih banyak penerjemahan dan pengadopsian kejahatan genosida serta kejahatan terhadap kemanusiaan yang mengalami kesalahan, yang akan memperburuk pendefinisiaan kejahatan-kejahatan ini. Pengaturan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam RKUHP tidak bisa dilepaskan dengan pengaturan lainnya, misalnya terkait dengan model pertanggungjawaban para pelakunya.
Erasmus berharap, RKUHP perlu dibahas secara substansial dengan keterbukaan pemerintah dan DPR untuk adanya perubahan rumusan, penghapusan pasal, atau bahkan koreksi pola pembahasan yang harusnya lebih inklusif melibatkan ahli yang tidak hanya ahli hukum pidana.
Dalam sosialisasi di Jakarta pada 14 Juni lalu, pemerintah menyampaikan, sepanjang 2020-2021, tim internal dan tim ahli RKUHP telah memperbaiki draf RKUHP. Perbaikan itu meliputi 14 isu krusial yang menjadi perhatian masyarakat. Misalnya, pasal penghinaan presiden dan wakil presiden, kekuatan gaib, penghinaan pengadilan, advokat curang, dan penodaan agama (Kompas, 17/6/2021).
UU ITE
Rencana pemerintah merevisi Pasal 27, 28, 29, dan 36 dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dinilai Komnas HAM bukan solusi atas ancaman dan masalah kebebasan berpendapat serta berekspresi di Indonesia. Adapun keempat pasal tersebut mengatur mengenai penggunaan data pribadi, distribusi konten terkait kesusilaan, judi hingga pencemaran nama baik, penyebaran hoaks hingga SARA, dan perbuatan terkait konten yang dianggap merugikan.
Komisioner Pengkaji dan Penelitian Komnas HAM Sandrayati Moniaga mengatakan, ada pasal-pasal lain yang menjadi sumber pelanggaran hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi.
”Revisi terbatas pada empat pasal dalam UU ITE bukanlah solusi atas ancaman kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia. Penambahan pasal baru, yatu Pasal 45C yang mengadopsi ketentuan peraturan perundang-undangan tahun 1946 sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang, sehingga menjadi ancaman bagi demokrasi dan HAM di ruang digital” (Komisioner Pengkaji dan Penelitian Komnas HAM Sandrayati Moniaga)
Pasal-pasal tersebut, di antaranya Pasal 26 ayat 3 terkait penghapusan informasi, Pasal 40 Ayat 2a dan 2b terkait pencegahan penyebarluasan dan kewenangan pemerintah memutus akses, serta Pasal 43 Ayat 3 dan 6 terkait penggeledahan, penyitaan, penangkapan, dan penahanan.
”Revisi terbatas pada empat pasal dalam UU ITE bukanlah solusi atas ancaman kebebasan berpendapat dan berekspresi di Indonesia. Penambahan pasal baru, yatu Pasal 45C yang mengadopsi ketentuan peraturan perundang-undangan tahun 1946 sudah tidak relevan dengan kondisi sekarang sehingga menjadi ancaman bagi demokrasi dan HAM di ruang digital,” kata Sandrayati.
Sementara itu, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Sukamta, berharap, pemerintah segera mengajukan inisiatif revisi UU ITE ke DPR. Soal substansi revisi yang dibuat oleh pemerintah, akan dibahas di DPR.
Sebelumnya, pemerintah telah membuka ke publik usulan rumusan baru dari sejumlah pasal karet dalam UU ITE. Menurut Sukamta, substansi dari usulan pemerintah masih berpotensi menjadi pasal karet. Setiap fraksi akan menyusun daftar inventarisasi masalah. Di situlah pembahasan, adu konsep, dan gagasan revisi bisa dilakukan.