Pasal Penghinaan Presiden dan Lembaga Negara Berpotensi Merusak Demokrasi
Selain pasal penghinaan presiden dan wakil presiden, RKUHP juga memuat pasal penghinaan pemerintah dan lembaga negara. Pasal-pasal itu dinilai berpotensi mengekang hak warga negara dan mengancam demokrasi.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·6 menit baca
KOMPAS/DIAN DEWI PURNAMASARI
Tim ahli penyusun Rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (RKUHP) menyampaikan sosialisasi perubahan rancangan undang-undang, terutama pada 14 isu krusial, yang mendapatkan perhatian lebih dari masyarakat di Jakarta, Senin (14/6/2021).
JAKARTA, KOMPAS — Kendati pemerintah telah berupaya melakukan penyempurnaan, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP ternyata masih memuat pasal-pasal yang dinilai bertentangan dengan demokrasi. Selain pasal penghinaan presiden dan wakil presiden, terdapat pula pasal mengenai penghinaan lembaga negara yang berpotensi mengekang hak dan kebebasan warga negara.
Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati, saat dihubungi, Rabu (16/6/2021), mengungkapkan, dalam pemetaan yang dilakukan oleh ICJR, masih ada pasal-pasal dalam draf RKUHP yang dinilai berpotensi mengekang kebebasan sipil dan demokrasi. Salah satunya Pasal 218-220 yang mengatur tindak pidana penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat presiden dan wakil presiden.
Rumusan pasal tersebut sama dengan konsep kejahatan yang ada dalam Pasal 134 dan Pasal 137 Ayat (1) KUHP, yaitu penghinaan presiden. Pada era kolonial, pasal itu sejatinya ditujukan untuk kepala negara bukan kepala pemerintahan atau disebut lesse majeste. Pasal tersebut digunakan untuk memproteksi martabat raja atau ratu di Belanda.
”Pasal itu sudah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan 013-022/PUU-IV/2006. MK menyatakan bahwa sudah tidak relevan jika dalam KUHP Indonesia masih memuat pasal penghinaan presiden yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum,” kata Maidina.
Selain itu, rumusan pasal juga dinilai bertentangan dengan kovenan hak sipil dan politik yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 12 Tahun 2005. Berdasarkan Laporan Khusus PBB 20 April 2010 dinyatakan bahwa hukum internasional tentang HAM melindungi individu dan kelompok orang, bukan suatu hal yang abstrak atau institusi yang berhak untuk dikritik.
Delik aduan
Sebelumnya, dalam sosialisasi RKUHP, Senin (14/6/2021), anggota tim ahli penyusun RKUHP, Marcus Priyo Gunarto, menjelaskan, pasal penghinaan presiden yang diusulkan berbeda dengan putusan MK sebelumnya. Sebab, dalam pasal ini penghinaan terhadap presiden dan wapres diubah menjadi delik aduan.
Pasal tersebut tetap dipertahankan dalam RKUHP dengan alasan perbuatan penghinaan atau menyerang harkat martabat kepala negara lain dikategorikan sebagai perbuatan pidana. Jika kemudian penghinaan kepala negara sendiri tidak masuk tindak pidana, alasan hukumnya dinilai tidak logis. Sebab, seolah kepala negara lain lebih dihargai daripada kepala negara sendiri.
”Ini yang menjadi tanda tanya, apakah kemudian kita lebih menghargai kepala negara sahabat atau wakil kepala negara sahabat dibandingkan dengan kepala negara sendiri,” kata Marcus.
Marcus menjelaskan, di dalam demokrasi ada asas kewibawaan. Asas kewibawaan yang dimaksud adalah penghargaan terhadap orang yang diberi peran khusus atau istimewa di masyarakat. Asas kewibawaan diakui dalam prinsip demokrasi sebagai bentuk kesetaraan. Bentuk asas kesetaraan dalam demokrasi adalah asas kepribadian, persekutuan, kesamaan, dan kewibawaan. Di dalam politik hukum, asas itu akan saling mendesak. Namun, asas yang paling menonjol tidak akan meniadakan asas yang lain.
”Asas kewibawaan ini tecermin dalam penghormatan terhadap kepala negara, presiden, atau wakil presiden. Di samping ada asas kesetaraan yang merupakan inti dari demokrasi, ada asas kewibawaan juga,” terang Marcus.
Selain itu, menurut Marcus, dalam demokrasi juga ada asas pemisahan baik dan buruk. Ini yang membedakan antara satu negara dan negara yang lain. Budaya di Indonesia, merendahkan harkat dan martabat seseorang itu sudah diatur sejak zaman dulu, terutama merendahkan harkat dan martabat orang yang mendapatkan asas kewibawaan. Pasal penghinaan presiden juga dipertahankan untuk mencegah konflik. Sebab, sebagian besar pendukung presiden bisa saja marah karena presiden dihina. Untuk mencegah konflik, diatur bahwa yang bisa melaporkan itu adalah presiden atau wapres sendiri (delik aduan).
”Simbol negara perlu dilindungi,” ujar Marcus.
Penghinaan lembaga negara
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO
Suasana di sekitar jembatan layang Senayan, Jakarta, tidak terlihat aksi demonstrasi dan hanya menyisakan spanduk yang terbentang, Selasa (1/10/2019) malam. Menjelang malam, tidak terlihat lagi aktivitas demonstrasi penolakan RUU KPK dan RUU KUHP di sekitar kawasan Kompleks Gedung DPR. Sementara pada hari yang sama, sejumlah anggota Dewan periode 2019-2023 dilantik.
Selain pasal penghinaan presiden, masih termuat pula ketentuan tindak pidana penghinaan pemerintah yang diatur dalam Pasal 240-241 RKUHP. Pasal ini dinilai sudah tidak relevan dengan prinsip negara hukum demokratis. Sebab, pasal itu mengadopsi konsep penjajah Belanda. Pasal dibuat untuk melindungi pemerintah kolonial Belanda dari kritikan masyarakat yang dijajah.
Maidina menambahkan, pasal itu juga telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK melalui putusan Nomor 6/PUU-V/2007. Selain itu juga bertentangan dengan komentar umum kovenan hak sipil dan politik Komisi HAM PBB Nomor 34. Di situ disebutkan bahwa pemerintah negara peserta tidak seharusnya melarang kritik terhadap institusi, contohnya kemiliteran dan administrasi negara.
Nuansa senada juga terlihat di Pasal 353-354 RKUHP yang mengatur penghinaan kepada kekuasaan dan lembaga negara. Pasal itu dinilai berpotensi menjadi pasal karet, rawan multitafsir, dan tidak sesuai dengan tatanan nilai masyarakat demokratis modern. Tak hanya itu, pasal tersebut juga berpotensi mengekang hak dan kebebasan warga negara serta dapat menjadi jelmaan dari pasal subversif.
”Hukum pidana penghinaan tidak boleh digunakan untuk melindungi suatu hal yang sifatnya subyektif, abstrak, dan merupakan suatu konsep, seperti lembaga negara, simbol nasional, identitas nasional, kebudayaan, pemikiran, agama, ideologi, dan doktrin politik,” kata Maidina.
ICJR juga menemukan adanya ketentuan yang kontradiktif dengan iklim demokrasi, yakni Pasal 273 RKUHP yang mengatur mengenai tindak pidana penyelenggaraan pawai, unjuk rasa atau demonstrasi tanpa izin. Pasal tersebut merupakan produk hukum kolonial Belanda yang diatur di pasal 510 KUHP. Selain itu, pasal tersebut merupakan produk hukum rezim Demokrasi Terpimpin untuk mengatur kegiatan politik.
Praktik politik perizinan itu dinilai mencerminkan watak birokrasi pemerintah yang penerapannya sangat bertumpu pada keamanan dan ketertiban umum yang akrab dipakai pemerintah otoriter. Pada tahun 1960-an, pasal itu digunakan sebagai acuan pemerintah untuk memantau gerak-gerik masyarakat. Selain itu, di masa Orde Baru, pasal itu pula yang digunakan untuk membatasi kegiatan masyarakat, termasuk demonstrasi memprotes penguasa.
”Padahal, yang perlu dilakukan masyarakat dalam menyuarakan pendapatnya dalam berdemonstrasi adalah pemberitahuan bukan izin. Pasal 273 RKUHP ini jelas cerminan watak politik perizinan peninggalan kolonial yang coba dipertahankan untuk mengontrol masyarakat,” kata Maidina.
ID.WIKIPEDIA.ORG
Eddy OS Hiariej
Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward OS Hiariej menjelaskan, memang dalam tahapan sosialisasi RKUHP, draf yang digunakan masih yang lama versi September 2019. Sebab, RKUHP merupakan RUU luncuran (carry over) dari DPR periode sebelumnya.
Menurut Eddy, sapaan akrabnya, pemerintah dan DPR belum memiliki preseden untuk membahas RUU carry over. Hal itu tidak dijelaskan secara detail dalam UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Namun, pemerintah tetap melakukan pembaruan terhadap rumusan RKUHP bersama tim ahli sepanjang 2020-2021. Pembaruan itu diklaim mempertimbangkan berbagai masukan publik dari sosialisasi di 12 kota di Tanah Air.
”Draf yang kami perbarui di 2021 belum disampaikan ke DPR sehingga kami tidak berani menampilkan kepada publik. Namun, jelas bahwa masukan publik telah diperbarui oleh tim internal pemerintah bersama tim ahli sepanjang 2020-2021 ini,” tegas Eddy.
Saat dikonfirmasi ulang, apakah pasal yang mengatur mengenai penghinaan pemerintah, kekuasaan hukum, dan lembaga negara sudah masuk dalam pembaruan draf RKUHP. Eddy mengatakan dirinya akan mengecek ulang draf tersebut. Dia menjelaskan, rumusan yang disampaikan pemerintah belum final. Ketika rumusan itu dibawa ke DPR untuk dibahas dalam proses legislasi, pintu pembahasan dan masukan dari publik masih terbuka.