Pegawai KPK Meminta Pelantikan Menjadi ASN Ditunda
Sebagian pegawai KPK meminta agar pimpinan KPK menunda pelantikan mereka menjadi aparatur sipil negara (ASN) yang sediakanya diadakan pada 1 Juni. Permintaan ini pun didukung masyarakat sipil dan kalangan akademisi.
JAKARTA, KOMPAS--Setidaknya 588 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) meminta agar Pimpinan KPK menunda pelantikan pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) yang sedianya akan dilaksanakan pada 1 Juni besok. Permintaan penundaan itu juga datang dari kalangan masyarakat sipil.
Pasalnya, proses alih status pegawai KPK menjadi ASN dinilai cacat administrasi dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan RI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Hingga Minggu (30/5/2021) malam, Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi KPK Sujanarko mengatakan, pegawai KPK yang meminta agar pelantikan pegawai KPK menjadi ASN ditunda berjumlah 588 orang. Sementara berdasarkan data Badan Kepegawaian Negara, ada 1.349 pegawai KPK yang mengikuti TWK.
Hingga Minggu (30/5/2021) malam, Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi KPK Sujanarko mengatakan, pegawai KPK yang meminta agar pelantikan pegawai KPK menjadi ASN ditunda berjumlah 588 orang.
Menurut Sujanarko, dukungan internal tersebut sangat penting karena melalui hal itu tampak bahwa ada masalah serius terkait TWK terhadap para pegawai KPK. Selain itu, dukungan internal tersebut juga memperlihatkan bahwa putusan pimpinan KPK mulai dipertanyakan oleh pegawai KPK.
"Mereka menyampaikan ada problem serius terkait TWK ini dan juga mengenai pernyataan Presiden, Undang-Undang No 19/2019 tentang KPK, dan putusan MK yang diabaikan. Yang tidak kalah pentingnya, sebetulnya mempertanyakan kredibilitas pimpinan," terang Sujanarko.
Baca juga: Pimpinan KPK Bertanggung Jawab atas Pemberhentian Pegawai
Direktur Sosialisasi dan Kampanye Anti-Korupsi KPK Giri Suprapdiono menambahkan, para pegawai tersebut meminta pimpinan KPK mengundur waktu pelantikan sampai ada kejelasan terkait status 75 pegawai KPK yang dinilai tidak memenuhi syarat berdasarkan TWK. Pada Selasa (25/5) kemarin, Pimpinan KPK juga telah menyatakan 51 dari 75 pegawai itu diberhentikan karena tidak bisa lagi dibina.
Hingga kini polemik TWK untuk alih status KPK menjadi ASN juga tengah dikaji Komisi Nasional Hak Azasi Manusia. Berdasarkan aduan yang diajukan 75 pegawai KPK, ada dugaan pertanyaan di dalam tes itu memiliki muatan diskriminasi. Sementara terkait proses alih status pegawai KPK menjadi ASN juga sedang dikaji Ombudsman RI.
Belum lama ini Ketua Ombudsman Mokh Najih menyampaikan, pihaknya tengah menyelesaikan pemeriksaan dokumen dan regulasi terkait pelaksanaan TWK terhadap pegawai KPK.
Baca juga: Alasan BKN Berhentikan 51 Pegawai KPK
Sampai Oktober
Melalui rekaman video, mantan Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyampaikan pandangannya, bahwa suara ratusan pegawai KPK tersebut perlu didengar. Sebab, mereka salah satu pondasi penting pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK.
"Jadi tidak perlu tergesa-gesa karena hal itu semakin memperkuat kecurigaan bahwa proses alih status untuk menyingkirkan pegawai yang berintegritas dan yang sedang menangani kasus besar" katanya.
Di sisi lain, lanjut Febri, sesuai UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, seperti diatur dalam Pasal 69B, waktu untuk pengalihan pegawai KPK menjadi ASN masih ada hingga Oktober 2021.
Saat dikonfirmasi mengenai permintaan penundaan pelantikan oleh sebagian pegawai KPK, Ketua KPK Firli Bahuri tidak merespons pertanyaan yang dikirimkan Kompas lewat pesan singkat.
Pendiri Themis Indonesia, Feri Amsari, juga mengharapkan pelantikan pegawai KPK menjadi ASN ditunda. Menurutnya, proses alih status melalui TWK untuk menilai kesetiaan dan ketaatan pegawai KPK pada Pancasila merupakan ketentuan yang “diada-adakan” dalam Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Status Pegawai KPK menjadi ASN. Sebab, Peraturan Pemerintah No 41/2020 tentang pengalihan pegawai KPK menjadi ASN, tidak mengatur hal tersebut.
Lalu pertanyaannya kenapa pegawai KPK yang diuji kesetiaan dan ketaatan pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan pemerintahan yang sah sementara para politisi tidak? Apa yang membuat alat ukur mengetahui rasa setia dan taat itu dibeda-bedakan? (Pendiri Themis Indonesia, Feri Amsari)
Lebih jauh Themis Indonesia juga menyoroti tentang tidak diaturnya secara spesifik TWK dalam PP 41/2020. Syarat setia kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika juga menjadi syarat bagi calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota seperti diatur di dalam Pasal 240 Ayat (1) UU No 7/2017 tentang Pemilu. Namun, tidak pernah dalam proses pemilu, bakal caleg mengikuti tes TWK.
“Lalu pertanyaannya kenapa pegawai KPK yang diuji kesetiaan dan ketaatan pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan pemerintahan yang sah sementara para politisi tidak? Apa yang membuat alat ukur mengetahui rasa setia dan taat itu dibeda-bedakan?” tanya Feri.
Baca juga: Komnas HAM Kaji Substansi Tes Wawasan Kebangsaan Pegawai KPK
Dalam diskusi publik "Mengurai Kontroversi Tes Wawasan Kebangsaan KPK" yang diselenggarakan Indonesia Corruption Watch, mantan Komisioner Ombudsman RI, Ahmad Alamsyah Saragih juga meminta pimpinan KPK menunda pelantikan pegawai KPK menjadi ASN. Ada kemungkinan pelantikan itu didasarkan instrumen hukum yang cacat prosedur.
"Kalau dilantik dulu kemudian (pegawai) yang lain menyusul, makaitu berbahaya. Sebab KPK makin kehilangan legitimasi," ujar Alamsyah
Dalam kesempatan itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto berpandangan, penyelenggaraan TWK itu menampakkan perilaku koruptif di tubuh lembaga antikorupsi. Dalam perilaku koruptif tersebut terjadi pembelahan, yakni antara mereka yang dianggap memiliki wawasan kebangsaan dan sebaliknya.
Namun adanya dukungan internal KPK, lanjut Sigit, itu menunjukkan hal yang positif sebagai sebuah solidaritas dan kohesivitas menghadapi pembelahan tersebut. "Terjadinya pembelahan dengan adanya tes wawasan kebangsaan itu menurut saya sangat serius. Salah satunya adalahterjadi eksklusi, bahkan persekusi, karena mirip litsus atau bersih diri atau bersih lingkungan yang dulu diterapkan pada orde baru," terang Sigit.
Baca juga: Koalisi Desak Presiden Intervensi Pemberhentian 51 Pegawai KPK
Menurut Sigit, pembelahan itu tampak nyata tidak hanya di tubuh KPK, namun juga dalam masyarakat. Hal itu dinilai sangat mengkhawatirkan dan berbahaya dalam hidup bernegara dan berbangsa. Sebab pembelahan dilakukan dengan cara-cara yang tidak etis, melanggar hukum, melanggar moralitas, serta kaidah akademik.
Oleh karena itu, lanjut Sigit, Presiden sebagai pembina tertinggi ASN mengambil kebijakan yang lebih arif dan bijak ke depan. Sebab, Presiden telah mengatakan bahwa diperlukan penguatan pemberantasan korupsi secara sistematis.
Oleh karena itu, lanjut Sigit, Presiden sebagai pembina tertinggi ASN mengambil kebijakan yang lebih arif dan bijak ke depan. Sebab, Presiden telah mengatakan bahwa diperlukan penguatan pemberantasan korupsi secara sistematis. (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada)
"Tentu akan ada kendala dan tekanan kepada presiden. Tapi Presiden jugaharus yakin bahwa bangsa Indonesia yang percaya pada perbaikan peradaban,perbaikan Indonesia, dan tegaknya pemerintah yang baik dan bersih, dengan tatakelola yang baik dan benar, akan sepenuhnya di bawah presiden kalau Presiden mengambil langkah itu," harap Sigit.
(Prayogi Dwi Sulistyo)