Koalisi Desak Presiden Intervensi Pemberhentian 51 Pegawai KPK
Pascadiabaikannya instruksi Presiden Joko Widodo terkait satus pegawai KPK, Ketua Advokasi YLBHI Muhammad Isnur mengatakan, Presiden Jokowi seharusnya berwenang memanggil dan mengklarifikasi kepala BKN dan pimpinan KPK.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi Masyarakat Sipil Anti Korupsi mendesak Presiden Joko Widodo segera memanggil dan mengklarifikasi Kepala Badan Kepegawaian Negara dan semua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi atas kebijakan pemberhentian 51 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, Presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan PNS. Presiden berwenang menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian PNS.
Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur dalam konferensi pers, Rabu (26/5/2021), di Jakarta, mengatakan, Presiden Joko Widodo berwenang memanggil dan mengklarifikasi Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan semua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam hal pemberhentian 51 pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan. Sebelum keputusan itu dibuat oleh Kepala BKN dan pimpinan KPK, Selasa (25/5), Presiden Jokowi telah memberikan arahan agar alih status pegawai KPK tidak merugikan pegawai. Arahan itu sejalan dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji materi UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK.
”Ketika terjadi kekisruhan pemberhentian 51 pegawai KPK, Presiden berwenang mengintervensi. Karena PP Nomor 17 Tahun 2020 menyebutkan bahwa Presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan ASN,” kata Isnur menegaskan.
Menurut Isnur, sesuai PP tersebut, Ketua KPK Firli Bahuri bukanlah penerima delegasi manajemen ASN. Di KPK yang berwenang untuk mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan pegawai adalah Sekretaris Jenderal KPK selaku pejabat pembina kepegawaian (PPK). Di lembaga negara lain, seperti BPK, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial, PPK juga berada di tangan sekjen. Ketua lembaga negara, termasuk Ketua KPK, tidak punya kewenangan sebagai PPK sehingga tidak bisa mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan pegawai.
Selain itu, sebagai pembina tertinggi ASN, Presiden dapat menarik kembali pendelegasian kepada PPK apabila ada pelanggaran prinsip sistem merit yang dilakukan oleh PPK. Presiden juga dapat menarik pendelegasian itu untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
Ketika terjadi kekisruhan pemberhentian 51 pegawai KPK, Presiden berwenang mengintervensi. Karena PP Nomor 17 Tahun 2020 menyebutkan bahwa Presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan ASN.
”Keputusan ketua dan komisioner KPK untuk memberhentikan 51 pegawai KPK tidak ada landasan kewenangannya. Presiden berhak menarik kembali kewenangan Sekjen KPK selaku PPK. Presiden dapat memutuskan sendiri, misalnya 51 pegawai KPK tidak jadi diberhentikan,” tutur Isnur.
Hal senada diungkapkan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana. Kurnia menambahkan, sebagai pemimpin tertinggi ASN, Presiden Jokowi seharusnya memanggil, mengklarifikasi kepala BKN dan pimpinan KPK, karena arahannya tidak ditindaklanjuti.
Menurut Kurnia, keputusan yang dibuat kepala BKN dan pimpinan KPK seolah mempermalukan Presiden di depan masyarakat. Pascapolemik tes wawasan kebangsaan (TWK), Presiden Jokowi telah memberikan arahan yang jelas mengenai alih status kepegawaian KPK. Namun, realitanya, arahan Presiden justru diabaikan. Presiden seharusnya bisa menegur para pembuat keputusan.
”Ini sudah keterlaluan, arahan Presiden tidak ditaati oleh kepala BKN dan pimpinan KPK yang merupakan bawahan dari Presiden,” tanya Kurnia.
Pascapolemik tes wawasan kebangsaan (TWK), Presiden Jokowi telah memberikan arahan yang jelas mengenai alih status kepegawaian KPK. Namun, realitanya, arahan Presiden justru diabaikan. Presiden seharusnya bisa menegur para pembuat keputusan.
Langkah hukum
Lebih jauh, YLBHI selaku tim kuasa hukum dari 75 pegawai KPK yang tidak lolos TWK juga menyayangkan pengambilan keputusan pemberhentian pegawai KPK tanpa menunggu proses hukum yang sedang ditempuh. Saat ini, 75 pegawai KPK sedang melaporkan dugaan pelanggaran administrasi dan dugaan pelanggaran HAM dalam proses TWK. TWK dengan pertanyaan yang tendensius, diskriminatif, dan tidak sensitif jender itu dianggap tidak memiliki legitimasi hukum.
Selain itu, penilaian bahwa 51 pegawai KPK tidak memiliki wawasan kebangsaan atau dicap radikal juga tidak beralasan hukum. Sebelum menuduh pegawai KPK terpapar ideologi radikal, kata Isnur, seharusnya BKN dan pimpinan KPK menunjukkan bukti yang valid. Misalnya apakah pegawai yang tidak lolos TW itu tergabung dalam organisasi terlarang. Jika memang ada pun, seharusnya diproses secara hukum dengan delik pidana.
”Mengecap seseorang terpapar ideologi radikal itu tidak cukup hanya dengan pertanyaan tes wawasan kebangsaan (TWK). Kalau tidak ada buktinya, ini bisa jadi fitnah yang sangat merugikan pegawai tersebut dan keluarganya karena dicap radikal di masyarakat,” tutur Isnur.
Isnur justru menduga, 51 pegawai KPK yang diberhentikan terkait dengan perkara korupsi besar yang saat ini sedang disidik oleh KPK. Ada upaya untuk menghalangi penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi yang dilakukan secara terstruktur dan sistematis. Jika upaya ini terbukti, pimpinan KPK bisa dijerat dengan pasal obstruction of justice atau menghalang-halangi upaya penyidikan kasus korupsi.
Saat ini, setidaknya ada empat upaya hukum yang sedang dilakukan YLBHI sebagai kuasa hukum wadah pegawai (WP-KPK). Pertama, mereka melaporkan pimpinan KPK secara etik kepada Dewan Pengawas KPK. Kedua, mereka melaporkan dugaan maladministrasi kepada Ombudsman RI. Ketiga, melaporkan TWK yang dianggap melanggar HAM tersebut kepada Komnas HAM.
Terbaru, WP-KPK juga mengirimkan surat kepada Kapolri agar mengevaluasi kinerja Firli Bahuri yang berstatus sebagai polisi aktif karena membangkang arahan Presiden dan beberapa kali melakukan pelanggaran etik. Koalisi berharap Kapolri dapat menindak Firli seperti saat dirinya melanggar etik saat menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK. Menurut dia, Kapolri berwenang memberhentikan atau bahkan menarik kembali Firli dari KPK dengan pembangkangan dan pelanggaran etik yang dilakukan olehnya.
”Kami masih menunggu hasil investigasi Ombudsman, Komnas HAM, Dewas KPK, dan juga Kapolri terkait dengan laporan kami itu,” kata Isnur.
Sebanyak 51 pegawai KPK yang diberhentikan saat ini sedang melakukan konsolidasi internal. WP juga menunggu proses hukum pengaduan ke sejumlah institusi, seperti Ombudsman RI, Komnas HAM, dan Kapolri.
Isnur menerangkan, langkah hukum lain sebenarnya juga telah dipikirkan, seperti menguji materi peraturan KPK yang dijadikan sebagai dasar hukum pelaksanaan TWK ke Mahkamah Agung (MA). Namun, sejauh ini, koalisi sangat berharap Presiden Jokowi akan memaksimalkan kewenangannya untuk turun tangan dalam kisruh pemberhentian 51 pegawai KPK. Presiden dinilai memiliki kewenangan yang besar untuk mengintervensi polemik tersebut.
Ketua Wadah Pegawai (WP) KPK Yudi Purnomo mengatakan, sebanyak 51 pegawai KPK yang diberhentikan saat ini sedang melakukan konsolidasi internal. WP juga menunggu proses hukum pengaduan ke sejumlah institusi, seperti Ombudsman RI, Komnas HAM, dan Kapolri.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan, jika memang ada aturan yang dilanggar oleh pimpinan KPK, para pegawai yang diberhentikan karena tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK) dapat membela diri sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Apalagi, pelaksanaan TWK sendiri sangat kontroversial karena dianggap diskriminatif dan melanggar prinsip HAM.