Pimpinan KPK Bertanggung Jawab atas Pemberhentian Pegawai
KSP Moeldoko menegaskan, KPK sebagai pengguna dan pengambil keputusan akhir atas status 75 pegawainya bertanggung jawab penuh atas semua implikasi yang ditimbulkan dari keputusan itu.
JAKARTA, KOMPAS — Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai pengambil keputusan akhir atas status 75 pegawai komisi itu yang dinyatakan tak lolos tes wawasan kebangsaan disebut bertanggung jawab penuh atas semua implikasi yang timbul dari keputusan terkait para pegawai tersebut. Namun, berbagai elemen masyarakat masih berharap Presiden Joko Widodo mengambil sikap, membatalkan keputusan pemberhentian 51 pegawai KPK.
Terkait persoalan ini, pekan depan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia akan memanggil Ketua KPK Firli Bahuri.
Pada Selasa (25/5/2021), KPK, Badan Kepegawaian Negara (BKN), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi membahas nasib 75 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan (TWK). Diumumkan, 51 pegawai akan diberhentikan, sedangkan 24 pegawai lagi akan dibina.
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dalam keterangan tertulis, Kamis (27/5/2021), mengatakan, Presiden telah menyampaikan arahannya atas polemik alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN). Intinya, pegawai KPK yang tidak lulus tes TWK tidak serta-merta diberhentikan dan ada peluang untuk perbaikan melalui pendidikan kedinasan, individual, maupun organisasi.
Dia menyebut tidak benar terjadi pengabaian arahan Presiden. Untuk menjalankan arahan Presiden, Moeldoko menyebut Menpan dan RB Tjahjo Kumolo, Menkumham Yasonna Laoly, BKN, dan Lembaga Administrasi Negara telah berkoordinasi dengan pimpinan KPK dan telah menyampaikan arahan Presiden dengan memberikan opsi pembinaan sebagai solusi. Kemenpan dan RB juga mengusulkan dilakukan individual development plan untuk pegawai KPK yang tak lulus TWK.
”Bahwa pimpinan KPK kemudian mengambil kebijakan lain tersendiri. Hal tersebut merupakan kewenangan dan keputusan lembaga pengguna, dalam hal ini KPK. Pemerintah memiliki kewenangan tertentu, tetapi tidak seluruhnya terhadap proses pembinaan internal di KPK,” katanya.
Moeldoko menegaskan, KPK sebagai pengguna dan pengambil keputusan akhir atas status 75 pegawainya bertanggung jawab penuh atas semua implikasi yang ditimbulkan dari keputusan itu.
”Perkom ini yang mengeluarkan pimpinan KPK. Dan ternyata problematikanya banyak. Itu yang kita laporkan,” kata Novel Baswedan, penyidik senior KPK, seusai memberikan data tambahan kelengkapan aduan dan dokumen lain yang diperlukan untuk pemeriksaan di kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Data tambahan tersebut diberikan Novel bersama Ketua Wadah Pegawai KPK Yudi Purnomo Harahap, Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-komisi dan Instansi KPK Sujanarko, dan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati.
Asfinawati menyampaikan, pihaknya menyerahkan dokumen setebal 546 halaman. Data tersebut menunjukkan TWK terhadap pegawai KPK adalah diskriminatif. Sebab, hasilnya sudah ditentukan sebelum tes dimulai.
Yudi mengatakan, dokumen tersebut terkait keterangan tertulis atau testimoni dari beberapa pegawai KPK, baik yang memenuhi syarat maupun tidak memenuhi syarat, mengenai kejanggalan yang terjadi saat wawancara ataupun tes tertulis ketika TWK.
Ia berharap, Komnas HAM lebih cepat untuk menginvestigasi. Sebab, pihaknya telah memberikan beberapa keterangan tambahan terkait dengan siapa di pihak KPK yang harus diperiksa dan dokumen apa yang harus didapatkan dari pihak KPK.
Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, mengatakan, pihaknya dalam proses pendalaman berbagai keterangan dan informasi. Ada beberapa keterangan yang karakternya potensial menjadi sesuatu yang baru. ”Ini akan potensial menjadi temuan baru dalam melihat bagaimana kasus dan peristiwa ini berlangsung,” kata Anam tanpa mau menjelaskan isi keterangan tersebut.
Menurut Anam, tim yang sudah dibentuk akan mendalami semua informasi yang diperoleh. Ia mengatakan, Komnas HAM juga akan memanggil Ketua KPK Firli Bahuri pada pekan depan.
”Kami sedang mendalami fakta. Dari fakta akan kelihatan apa kasusnya, bagaimana konstruksi peristiwanya, dan siapa yang tanggung jawab,” kata Anam.
Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengelak bahwa KPK sendirian mengambil keputusan terkait persoalan TWK ini. Ia menegaskan, KPK bukan mau lepas tangan dengan persoalan TWK. Namun, KPK tidak punya alat untuk menilai. Karena itu, KPK bekerja sama dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN) untuk memastikan obyektivitas.
Ghufron mengatakan, Presiden telah memberikan arahan dan KPK telah berdiskusi dengan para pembantu Presiden. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Badan Kepegawaian Negara, serta Lembaga Administrasi Negara adalah organ-organ kepresidenan.
Pengajar Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang P Wiratraman, saat dihubungi menuturkan, Presiden Jokowi berperan besar untuk menyelesaikan polemik terkait KPK. Apalagi, seiring perubahan UU No 19/2019, KPK telah berubah dari lembaga independen menjadi lembaga eksekutif. Maka, komitmen Presiden Jokowi untuk mengambil alih kekisruhan di KPK sangat dinanti.
”Tidak ada pelanggaran hukum kalau Jokowi mengambil alih dan memutuskan membatalkan apa yang dilakukan ketua KPK,” ujar Herlambang.
Uji materi
Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia Boyamin Saiman akan mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi agar pertimbangan putusan MK menjadi lebih kuat dan mengikat. Adapun pertimbangan putusan MK menyatakan proses peralihan pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan pegawai KPK.
”Kalau dulu hanya berupa pertimbangan, nantinya akan menjadi putusan akhir dari produk MK,” kata Boyamin.
Menurut Boyamin, uji materi ini akan diajukan pekan depan. MAKI juga akan meminta KPK, BKN, serta Kemenpan dan RB tidak memberhentikan 51 pegawai KPK sebelum ada putusan MK. Ia juga meminta 75 pegawai KPK yang tidak lulus TWK menjalankan tugas dan wewenangnya secara penuh sebagaimana sebelumnya.