Tes Wawasan Kebangsaan, Menyusup di Pengujung Pembahasan
Tak diatur di undang-undang atau peraturan pemerintah, syarat tes wawasan kebangsaan tiba-tiba muncul di ujung pembahasan rancangan peraturan KPK. Sempat ditolak pegawai KPK, tetapi Ketua KPK Firli Bahuri berkukuh.
Alih status pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi aparatur sipil negara atau ASN merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK. Namun, dalam undang-undang, tidak sedikit pun disebutkan bahwa pengalihan status tersebut harus melalui tes. Begitu pula dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2020 tentang Alih Status Pegawai KPK yang merupakan aturan turunan dari UU KPK.
Barulah pada Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengalihan Status Pegawai KPK menjadi ASN, tes wawasan kebangsaan (TWK) muncul menjadi salah satu syarat. Peraturan komisi (perkom) tersebut ditandatangani oleh Ketua KPK Firli Bahuri pada 27 Januari 2021.
Kehadiran syarat itu pun ditengarai baru muncul di ujung pembahasan rancangan perkom. Di sejumlah rapat di tahap awal pembahasan, syarat TWK tak pernah disinggung, apalagi dimunculkan peserta rapat.
Rapat perdana pada 27-28 Agustus 2020, misalnya. Rapat tersebut, antara lain, melibatkan Guru Besar Administrasi Negara Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Eko Prasojo dan dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Oce Madril. Ada pula perwakilan dari Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), Badan Kepegawaian Negara (BKN), serta Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB).
Baca juga: Anggota Dewan Pengawas KPK menilai Tes Wawasan Kebangsaan Bermasalah
I Gusti Ngurah Agung Yuliarta Endrawan, Asisten KASN Bidang Pengawasan Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Wilayah 1, yang turut hadir dalam rapat, menyampaikan, sama sekali tidak ada pembahasan mengenai TWK di rapat. Saat itu, pembahasan hanya seputar garis besar kebijakan ASN.
”Kami hanya mengingatkan bahwa di Pasal 25 UU ASN itu, kekuasaan tertinggi kebijakan dan manajemen ASN ada di Presiden,” kata Endrawan.
Begitu pula saat rapat selanjutnya, yang digelar pada 16-18 November 2020. Salah satu peserta rapat, Bambang Dayanto Sumarsono, ingat betul, tak ada usulan ataupun pembahasan soal TWK.
Bambang saat itu hadir sebagai narasumber karena posisinya sebagai Asisten Deputi Integritas dan Evaluasi Sistem Merit Kemenpan dan RB. Rapat di salah satu hotel di Jakarta itu dihadiri pula sejumlah deputi di KPK dan Kepala Biro Sumber Daya Manusia (SDM) KPK.
Pembahasan kala itu, menurut Bambang, lebih banyak seputar mekanisme alih status yang mudah dan tidak menyulitkan pegawai KPK. Lagi pula, UU KPK dan PP No 41/2020 hanya mengamanatkan soal alih status menjadi ASN dan untuk itu sama sekali tidak dibutuhkan tes apa pun.
”Karena, kan, sebetulnya pegawai-pegawai KPK itu sudah melalui seleksi yang ketat waktu masuk awal dulu. Dan nyatanya, kinerja mereka juga tidak jelek,” tambah Bambang.
Ketika perkom itu terbit, akhir Januari lalu, Bambang yang kini sudah pensiun dari Kemenpan dan RB melihat setidaknya ada dua perbedaan signifikan dibandingkan saat perkom masih berupa draf rancangan.
Pertama, adanya tambahan ketentuan di Pasal 5 Ayat (4) yang menyebutkan, selain menandatangani surat pernyataan, untuk memenuhi syarat setia dan taat pada Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan pemerintahan yang sah, dilaksanakan TWK oleh KPK bekerja sama dengan BKN.
Kemudian, tambahan ketentuan pada Pasal 23 yang mengatur soal pemberhentian pegawai KPK apabila tidak memenuhi syarat seperti diatur di Pasal 5. Padahal, mekanisme pemberhentian seperti itu, menurut Bambang, tidak diatur dalam PP No 11/2017 tentang Manajemen PNS.
”Penambahan ketentuan-ketentuan ini krusial karena lain dengan mekanisme PP No 11/2017. Saya sudah feeling (merasa), ini kok pembahasan alih status alot begini. Padahal, hal yang mudah, menurut saya,” ucapnya.
Inisiatif Firli
Dari dokumen yang diperoleh Kompas, barulah diketahui bahwa syarat TWK diduga baru muncul di penghujung pembahasan atau saat draf rancangan perkom sudah akan memasuki tahapan harmonisasi peraturan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Firli pun disebut-sebut memiliki andil agar TWK masuk dalam perkom alih status.
Ini terjadi sehari sebelum rapat harmonisasi di Kemenkumham, persisnya 25 Januari 2021. Firli disebut pertama kali mengusulkan TWK itu saat rapat pimpinan KPK. ”Pas rapim. (Penambahan ketentuan TWK) Itu ditegaskan oleh Pak Firli. Pak Firli menegaskan bahwa asesmen harus ada itu. Nanti BKN yang (berikan) asesmen,” ujar salah seorang pegawai KPK yang mengetahui peristiwa itu.
Setelah itu, Kepala Biro Hukum KPK disebutnya melaporkan rancangan perkom yang sudah berisi TWK kepada Kepala Bagian Perancangan dan Produk Hukum KPK. Namun, ketentuan itu ditolak karena tidak disebutkan dalam UU KPK ataupun PP No 41/2020. Tak hanya itu, ketentuan asesmen juga ditolak oleh tim penyusun draf perkom.
”Saya dikasih tahu, ’Pak, ini harus dimasukin asesmennya.’ Saya bilang, ’Enggak bisa asesmen. Itu, kan, enggak ada payung hukumnya. Tim penyusunnya juga bilang enggak bisa.’ Terus dijawab, ’Tetapi, ini sudah diminta pimpinan, bagaimana dong?’ Ya, sudah, kami tolak terus, tetapi jalan terus,” ujar pegawai KPK tersebut.
Baca juga: Pimpinan KPK Didesak Cabut SK Penonaktifan 75 Pegawai KPK
Saat rapat keesokan harinya dengan agenda harmonisasi di Kemenkumham, Firli dan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron disebut telah membawa rancangan perkom dengan tambahan ketentuan TWK tersebut. Namun, yang janggal, rapat itu tidak dihadiri oleh Kepala Biro SDM, Kepala Biro Hukum, dan Sekretaris Jenderal KPK selaku pejabat pembina kepegawaian (PPK) di KPK.
Padahal, berdasarkan Pasal 3 Ayat (2) Huruf c PP tentang Manajemen PNS dan Pasal 5 Ayat (1) Huruf a PP tentang Pengalihan Pegawai KPK Menjadi ASN, Sekjen KPK merupakan pejabat yang memiliki kewenangan penuh terkait dengan manajemen kepegawaian.
Kemudian seperti diketahui, selang sehari setelah rapat itu atau pada 27 Januari 2021, perkom ditetapkan dengan tanda tangan Firli di atasnya.
Selanjutnya, sebanyak 1.349 pegawai KPK mengikuti TWK pada Maret-April lalu. TWK dilakukan sejumlah lembaga yang dilibatkan oleh BKN, di antaranya Dinas Psikologi TNI AD, Badan Intelijen Negara, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, dan Badan Intelijen Strategis TNI. Hasilnya, sebanyak 1.274 pegawai dinyatakan memenuhi syarat, sedangkan 75 pegawai lainnya dinyatakan tidak memenuhi syarat.
Kritik lantas bermunculan dari sejumlah kalangan atas proses dan hasil TWK. Selain materi TWK yang dinilai janggal, mereka yang dinyatakan tidak lolos tes adalah pegawai KPK yang selama ini dikenal berintegritas dan menonjol prestasinya di KPK. Spekulasi pun beredar bahwa TWK adalah bagian dari pelemahan KPK.
Kolektif kolegial
Kompas sudah mencoba meminta penjelasan dari Firli mengenai alasannya mengusulkan TWK, tetapi tak direspons. Namun, dalam jumpa pers, Kamis (20/5/2021), Firli menekankan, aturan yang dibuat untuk pengalihan status pegawai KPK mengikuti amanat UU KPK.
Adapun Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, keputusan apa pun yang diambil oleh pimpinan KPK sudah melalui pembahasan di tingkat pimpinan, bahkan dengan jajaran pejabat struktural KPK.
”Hal ini kami lakukan sebagai perwujudan kepemimpinan kolektif kolegial. Semua keputusan yang diambil adalah keputusan bersama, bukan keputusan individu salah seorang (unsur) pimpinan KPK,” ujarnya.
Begitu pula semua produk kebijakan yang dikeluarkan oleh kelembagaan KPK, seperti peraturan komisi, peraturan pimpinan, surat keputusan, surat edaran, dan semua surat lain yang ditandatangani oleh Ketua KPK. ”Kami pastikan sudah dibahas dan disetujui oleh empat (unsur) pimpinan lainnya,” katanya.
Arahan Presiden
Ketika polemik kepegawaian KPK semakin meruncing, Presiden Joko Widodo akhirnya angkat bicara, 17 Mei lalu. Presiden menegaskan, hasil TWK tidak bisa serta-merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak lolos tes. Hasil tes cukup menjadi bahan perbaikan bagi institusi ataupun individu di KPK. Salah satunya, menurut Presiden, bisa melalui pendidikan kedinasan.
Untuk menindaklanjuti arahan Presiden ini, KPK bersama Kemenpan dan RB serta BKN menurut rencana akan menggelar rapat pada Selasa (25/5). Kepala BKN Bima Haria Wibisana mengatakan, rapat akan digelar di BKN.
”Kekisruhan internal KPK mesti segera diakhiri. Polemik tak berujung semacam ini berpotensi memengaruhi citra Indonesia, khususnya dalam konteks Indeks Persepsi Korupsi. Segenap masyarakat berharap besar pemberantasan korupsi di KPK dapat berjalan sebagaimana mestinya, tanpa gangguan kekisruhan internal lembaganya,” demikian ditulis oleh Koalisi Guru Besar Antikorupsi dalam surat tertanggal 24 Mei 2021 yang dilayangkan kepada Presiden Jokowi.
Baca juga: Presiden: Hasil TWK Tak Boleh Jadi Dasar Pemberhentian KPK
Koalisi tersebut terdiri atas 73 guru besar lintas universitas, di antaranya Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, dan Guru Besar Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto.
Yang tak kalah penting, menurut Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto, penting bagi pimpinan KPK, Kemenpan dan RB, serta BKN dalam rapat hari ini untuk mengikuti sepenuhnya arahan dari Presiden. Sebagai langkah awal, cabut keputusan pimpinan KPK yang membebastugaskan 75 pegawai yang tak lolos tes.