Anggota Dewan Pengawas KPK Menilai Tes Wawasan Kebangsaan Bermasalah
Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi, Syamsuddin Haris, menilai, tes wawasan kebangsaan bagi pegawai KPK bermasalah. Karena itu, tidak bisa dijadikan sebagai dasar pemberhentian pegawai.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO/SUSANA RITA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi tidak dilibatkan dalam proses pengalihan status pegawai komisi menjadi aparatur sipil negara, termasuk dalam skema tes wawasan kebangsaan sebagai syarat pengalihan status tersebut.
”Dewas (Dewan Pengawas) tiba-tiba diundang membuka hasil tes yang diterima dari Kemenpan RB (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi),” ujar anggota Dewas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Syamsuddin Haris, melalui pesan singkat, Minggu (9/5/2021), menanggapi soal polemik tidak lolosnya 75 pegawai KPK dalam tes wawasan kebangsaan.
Ia berpendapat, tes wawasan kebangsaan bagi pegawai KPK bermasalah sehingga tidak bisa dijadikan sebagai dasar pemberhentian pegawai. Namun, ia tak menjelaskan lebih lanjut mengapa tes itu dinilainya bermasalah.
Untuk diketahui, saat pimpinan KPK menggelar jumpa pers mengumumkan ada 75 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan pada Rabu (5/5), turut hadir anggota Dewan Pengawas KPK, Indriyanto Seno Adji.
Masih terkait dengan pengalihan pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN), pada Sabtu (8/5/2021) beredar potongan surat keputusan pimpinan KPK yang intinya menyebutkan, semua pegawai yang tidak memenuhi syarat diperintahkan untuk menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan langsung atau nonaktif.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri, Minggu, menyatakan akan mengecek keabsahan potongan surat tanpa tanggal dan cap kedinasan yang beredar tersebut.
Ia pun menyayangkan beredarnya potongan surat itu sembari mengingatkan agar publik berpedoman pada informasi resmi dari KPK.
”Secara kelembagaan, saat ini KPK sedang berupaya menyelesaikan semua tahapan pengalihan pegawai KPK menjadi ASN dengan cermat agar bisa tepat waktu sesuai rencana,” kata Ali.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mengingatkan, jika kabar penonaktifan itu benar, penanganan kasus-kasus korupsi yang mendapat sorotan publik berpotensi terganjal. Sebab, ada di antara 75 pegawai yang tidak memenuhi syarat menjadi ASN sedang menangani perkara besar, mulai dari kasus korupsi KTP elektronik, bantuan sosial, hingga suap izin ekspor benih lobster.
Secara terpisah, pengajar Hukum Administrasi Negara Universitas Bengkulu, Beni Kurnia Illahi, melihat ada ketidakjelasan dalam Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2020, terutama menyangkut pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan. Di dalamnya, menurut dia, tidak memuat implikasi jika pegawai tidak lolos tes.
Karena itu, pengalihan status kepegawaian KPK tersebut harus mengacu pada ketentuan pengadaan dan manajemen ASN di Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. Salah satu prinsip di dalam manajemen ASN adalah tidak boleh diskriminatif, harus ada kepastian hukum dan berkeadilan.
”Kalau pimpinan KPK melakukan tindakan sepihak seperti (pemberhentian) itu, kan sama saja bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014,” ujarnya.
Lebih lanjut dia mengatakan, jika memang langkah pemberhentian yang diambil pimpinan KPK terhadap 75 pegawai KPK yang tak lolos tes wawasan kebangsaan, ada dua langkah yang dapat diambil. Pertama, mengajukan uji materi Peraturan KPK Nomor 1 Tahun 2021 ke Mahkamah Agung. Sebab, substansi peraturan KPK tersebut bertentangan dengan UU ASN dan UU Administrasi Pemerintahan.
”Karena, tindakan yang dikeluarkan oleh pimpinan KPK adalah tindakan sewenang-wenang. Yang namanya alih status itu, kan, sebenarnya formalistik belaka. Jika ada pihak-pihak yang dirugikan (dalam alih status tersebut), bertentangan dengan prinsip-prinsip manajemen ASN,” ujarnya.
Selain itu, mereka yang diberhentikan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Mereka juga dapat mengajukan permohonan penundaan SK pemberhentian yang dikeluarkan oleh pimpinan KPK hingga kasus tersebut diputuskan.
”Salah satu aspek kenapa surat keputusan itu perlu ditunda adalah karena ada potensi konflik sosial jika penundaan tidak dilakukan. Konflik sosial yang terjadi adalah pegawai-pegawai KPK yang melakukan tugas pemberantasan korupsi menjadi terhambat karena harus menghadapi gugatan ini dulu. Penundaan itu wajar dilakukan oleh PTUN,” ujarnya.