Pimpinan KPK Didesak Cabut SK 652 Terkait Penonaktifan 75 Pegawai KPK
Koalisi Guru Besar Antikorupsi mengirim surat kepada Presiden Jokowi, meminta kisruh tes wawasan kebangsaan pegawai KPK segera diakhiri. Masyarakat sipil juga mendesak pimpinan KPK mencabut SK penonaktifkan 75 pegawai.
Oleh
susana rita
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi didesak untuk segera mencabut Surat Keputusan Nomor 652 Tahun 2021 terkait pembebastugasan 75 pegawai yang dinyatakan tidak memenuhi syarat dalam tes wawasan kebangsaan. Selanjutnya, ke-75 pegawai KPK tersebut harus dilantik bersama pegawai KPK lain menjadi aparatur sipil negara pada 1 Juni mendatang.
Pasalnya, tes wawasan kebangsaan (TWK) dan pelaksanaannya dianggap bermasalah, baik secara konstitusi karena melanggar hak asasi manusia, tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maupun secara ketatanegaraan karena tak memiliki dasar hukum. Hasil TWK karenanya tak dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan.
Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Aan Eko Widiarto, Senin (24/5/2021), saat membacakan kesimpulan dan rekomendasi diskusi ”Solusi Alih Status Pegawai KPK” yang diselenggarakan secara daring mengatakan, pimpinan KPK harus mengikuti arahan Presiden Joko Widodo dengan cara mencabut SK penonaktifkan 75 pegawai KPK.
Pimpinan KPK juga perlu merehabilitasi nama ke-75 pegawai yang tidak lolos TWK. Sebab, setelah dinyatakan tidak memenuhi syarat menjadi ASN karena persoalan TWK, mereka mendapatkan stigma sebagai orang radikal, tidak setia pada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Pimpinan KPK diminta untuk mengikuti arahan Presiden Joko Widodo yang disampaikan melalui pidato beberapa waktu lalu. Disebutkan bahwa pegawai KPK tidak dapat serta-merta dinonaktifkan karena dinyatakan tidak memenuhi syarat dalam TWK.
Menurut Aan, solusi yang ditawarkan Presiden sebagai sesuatu yang masuk akal. Namun, apabila pimpinan KPK tidak segera mengikuti hal tersebut, upaya hukum dapat dilakukan. ”Pegawai yang dinyatakan TMS (tidak memenuhi syarat) dapat melakukan upaya hukum jika pimpinan KPK bersikukuh tak menjalankan saran mencabut surat keputusan penonaktifkan,” ujarnya.
Diskusi yang dibuka dan ditutup oleh Aan itu menghadirkan narasumber, antara lain, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, dua pegawai KPK yang termasuk dalam 75 orang yang dinyatakan tak lolos TWK, yaitu Nova Risa dan Othman Sitompul, serta pakar psikologi Universitas Brawijaya, Ali Mashuri.
TWK bermasalah
Bivitri Susanti mengungkapkan, ada tiga mitos yang harus dibongkar terkait dengan persoalan alih status pegawai KPK. Mitos pertama, keluhan 75 pegawai KPK cuma keluhan orang gagal tes. Mitos kedua, TWK berdiri sendiri dan tidak berhubungan dengan UU No 19/2019 tentang KPK. Mitos ketiga, tidak ada permasalahan hukum dengan TWK.
Menurut dia, ketiga mitos tersebut tidak benar. TWK diadakan sebagai akibat dari revisi UU KPK walaupun dalam UU tersebut tidak diatur mengenai pelaksanaan TWK. Hasil TWK juga bermasalah karena menjadi dasar diterbitkannya SK No 652 terkait penonjoban 75 pegawai KPK.
”Nonjob ini tidak ada dasar hukumnya. Ke-75 orang tersebut diimbau mengembalikan pekerjaan kepada atasannya. Tujuannya untuk menghalangi penanganan kasus-kasus besar. Kita tahu beberapa orang (dari 75 orang itu) sedang menangani kasus. Ini jelas-jelas obstruction of justice,” ujarnya.
Tujuan lain adanya SK penonaktifan, menurut Bivitri, adalah supaya ke-75 orang tersebut mengajukan pengunduran diri atau resign. ”Kalau bekerja, tetapi tidak dikasih kerjaan sama atasannya, itu tanda bahwa kita pelan-pelan diminta untuk resign. Padahal, kalau mau dipecat, ya pecat saja. Tetapi, ini dibuat tidak ada kerjaan apa-apa,” ujarnya.
Sementara itu, dalam perspektif psikologi, Ali Mudhori mengatakan, TWK kurang kredibel secara ilmiah sehingga keputusan yang diambil berdasarkan tes tersebut kurang meyakinkan akurasinya.
Menurut dia, kredibilitas ilmiah TWK diragukan karena sejumlah hal. Pertama, kurangnya transparansi dan akuntabilitas ilmiah (tidak ada informasi mengenai validitas, reliabilitas, norma, dan seterusnya). Kedua, validitas concurrent belum jelas. Ini terjadi karena kemampuan afektif potensial menyubordinasi kemampuan aktual yang diketahui dari portofolio pegawai yang bersangkutan.
Ketiga, validitas konstruk belum jelas. Menurut dia, hal ini terlihat dari sejauh mana konsep wawasan kebangsaan tersebut berbeda atau sama dengan konsep-konsep lain yang bersinggungan seperti patriotisme, glorifikasi nasional, dan narsisme kolektif. Keempat, measurement invariance tidak meyakinkan, misalnya sejumlah item mengandung bias SARA dan jender. Kelima, stigmatisasi sebagai kelompok radikal.
Nova Risa mengungkap tentang adanya dugaan pelanggaran HAM dalam TWK. Seperti diketahui, ada tiga tahapan TWK, yaitu indeks moderasi bernegara, tes tertulis, dan tes wawancara. Dalam tes wawancara, substansi pertanyaan yang diajukan, selain isunya seksis yang mengandung pelecehan terhadap perempuan, juga mengandung pelanggaran HAM, khususnya terkait kebebasan berpikir dan beragama.
”Ada pertanyaan yang terkait dengan agama, bagaimana pendapat tentang transfusi darah dengan non-Muslim atau tentang berdirinya gereja di Bekasi. Jawaban saya relatif aman, kesimpulannya saya ini liberal. Yang pasti, kami enggak tahu alasannya kenapa TMS, tidak ada info dari organisasi,” ujarnya.
Sehubungan dengan masalah-masalah terkait TWK tersebut, Nova Risa dan Othman juga minta agar SK no 652 tentang penonaktifan segera dicabut. ”Apalagi SK ini tidak memiliki landasan hukum. UU No 19/2019 dan UU ASN tidak mengatur tentang penonaktifan sehingga dasarnya apa?” katanya.
Othman pun meminta pimpinan KPK merehabilitasi nama 75 pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat menjadi ASN karena permasalahan TWK. Dengan adanya SK 652, artinya ada penghukuman, ada stigmatisasi bahwa ke-75 orang tersebut tidak setia dan tidak taat kepada Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
”Karena ada penghukuman, berarti ada stigmatisasi. Kami minta rehabilitasi,” ujarnya.
Surati Presiden
Sebanyak 73 guru besar yang tergabung dalam Koalisi Guru Besar Antikorupsi menyurati Presiden Joko Widodo dan meminta persoalan kisruh TWK segera diakhiri. Mereka juga meminta agar tindak lanjut dari pidato Presiden berjalan dengan baik, perlu dilakukan pengawasan sekaligus pengusutan atas permasalahan penyelenggaraan TWK.
Mereka juga mengungkapkan, sebagian besar pegawai KPK yang disebut tidak memenuhi syarat merupakan penyelidik dan penyidik perkara dugaan korupsi, mulai dari suap pengadaan bantuan sosial di Kementerian Sosial, suap ekspor benih lobster di Kementerian Kelautan dan Perikanan, hingga pengadaan KTP elektronik. Sebagai konsekuensi logis dari permasalahan TWK ini, penanganan perkara tersebut kemungkinan besar akan terhambat.
”Dengan berbagai permasalahan TWK, khususnya pada dampak penanganan perkara, besar kemungkinan ada sejumlah pihak yang merancang dan memiliki keinginan untuk mengintervensi proses penindakan. Sebab, salah satu poin dari perintah pimpinan KPK terhadap pegawai yang dikategorikan TMS adalah menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasannya. Jika itu benar, hal tersebut berpotensi melanggar hukum (Pasal 21 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi/obstruction of justice),” demikian ditulis dalam surat tertanggal 24 Mei tersebut.
Koalisi Guru Besar Antikorupsi tersebut terdiri atas 73 guru besar lintas universitas, di antaranya Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, dan Guru Besar Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto.
Ralat: Telah dilakukan pembetulan pada artikel. Semula tertulis "74 guru besar yang tergabung dalam Koalisi Guru Besar Antikorupsi menyurati Presiden Joko Widodo dan meminta persoalan kisruh TWK segera diakhiri". Jumlah yang benar ada 73 guru besar