Pimpinan KPK Diduga Lakukan "Obstruction of Justice" Tersamar
Pasca tes wawasan kebangsaan, yang tak loloskan 75 pegawainya, pimpinan KPK diduga melakukan penghambatan proses hukum tersamar terhadap kejelasan nasib pegawainya yang sebelumnya dinyatakan tak penuhi syarat jadi ASN.
Oleh
Susana Rita
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi diduga menunda kejelasan nasib 75 pegawai yang semula dinyatakan tidak memenuhi syarat menjadi aparatur sipil negara karena tidak lolos tes wawasan kebangsaan atau TWK. Pimpinan KPK diduga melakukan obstruction of justice atau menghambat upaya penegakan hukum secara tersamar dengan tidak segera menyelesaikan alih status kepegawaian tersebut.
“Memang tidak secara langsung, directly, mengganggu proses penanganan kasus. Tapi dengan kebijakan, segala langkah administratif, manajerial dan prosedural yang dimiliki oleh pengambil kebijakan saat ini maka dapat dibaca bahwa itu disguise obstruction of justice (penyamaran penghambatan proses hukum) yang harus kita waspadai,” ujar Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Sigit Riyanto, Minggu (23/5/2021) dalam diskusi “Menakar Ujung Polemik Tes Wawasan Kebangsaan Pasca Pidato Presiden Joko Widodo” secara daring.
Selain Sigit, hadir sebagai narasumber antara lain Komisioner KPK periode 2015-2019 Saut Situmorang, Ketua Yasayan LBHI Asfinawati, Marzuki Wahid dari Lapesdam NU, dan Alisa Wahid dari Jaringan Gusdurian.
Sigit Riyanto mengungkapkan, bila berpijak pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK, alih status pegawai KPK menjadi ASN merupakan amanat dari regulasi tersebut. Tidak ada aturan lain, sehingga pegawai yang menjadi bagian dari KPK, bekerja di KPK, membangun reputasi di KPK secara individual dan institusional, tinggal dialihstatuskan. Apalagi Presiden Joko Widodo sebagai pemimpin tertinggi pemerintah termasuk pemimpin tertinggi ASN telah menyatakan bahwa tes TWK tidak serta merta menjadi dasar menggagalnya alih status. Presiden Jokowi sebelumnya juga menyitir putusan MK bahwa alih status tidak boleh merugikan pegawai.
“Maka ada pertanyaan yang muncul, pertama, bagaimana itikad untuk melaksanakan hukum dalam hal ini UU Nomor 19 Tahun 2019 dan UU lain yang berkaitan dengan status ASN. Kedua, ketika bicara kompetensi, portofolio, dan track record para pegawai tersebut, maka ada pikiran ini adalah obstruction of justice. Ada upaya menghambat penegakan hukum, khususnya pemberantasan korupsi tetapi dengan cara disguise tersebut, yaitu dengan menghentikan proses dan menyingkirakan mereka dari awal (melalui TWK-red),” ujarnya.
“Dapat dibaca bahwa itu disguise obstruction of justice (penyamaran penghambatan proses hukum) yang harus kita waspadai” (Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Sigit Riyanto)
Hal senada diungkapkan oleh Saut Situmorang. Bicara mengenai portofolio ke-75 pegawai tersebut, Saut mengaku sangat mengetahuinya satu per satu. Ia juga mengetahui betul kasus-kasus yang ditangani oleh Sebagian dari 75 pegawai yang dinyatakan tidak lolos TWK tersebut. Ia pun mengajak masyarakat sipil untuk terus mengawal proses alih status tersebut hingga putusan akhir keluar.
“Kalaupun nanti akhirnya diiterima (menjadi ASN-red), tetapi ngurusi pekerjaan yang bukan urusan mereka, sengaja dibuat tidak perform, kemudian akhirnya keluar. Dari sisi itu, negara akan rugi. Sebab, negara ini butuh tough guy, yang punya integritas,” ujar Saut.
Keduanya mempersoalkan TWK yang dinilai sulit diterima oleh nalar yang sehat. Sigit mempertanyakan urgensi, makna, dan relevansi TWK dengan kompetensi kerja, rekam jejak, dan kinerja pegawai. Selain itu, ia juga mempertanyakan pelaksanaan dan kredibilitas pelaksaan tes.
“TWK itu sendiri dari segi legalitas, landasan moral, dan pertimbangan etika, ada persoalan yang sangat mengkhawatirkan. Apalagi kemudian dikaitkan dengan dugaan bahwa TWK sebagai dalih untuk melakukan penyingkiran ke mereka (75 pegawai) yang tidak sejalan dengan kepentingan tertentu,” ujar Sigit yang khawatir praktik tersebut merupakan jelmaan apa yang dulu dilakukan Orde Baru dengan kebijakan litsus atau screening.
Tak sesuai psikometrik
Alissa Wahid juga mempertanyakan TWK yang digunakan dalam proses alih status KPK. Sebagai seorang psikolog, menurut dia, TWK tidak memenuhi kaidah psikometrik dan tidak dapat diandalkan.
“TWK kalau tidak diperbaiki dan akan digunakan di tempat lain, mau ngukur apa. Kalau pertanyaannya jika pacaran ngapain, apa hubungannya dengan wawasan kebangsaan. Kenapa tidak menikah, apakah karena tidak punya hasrat, apa hubungannya dengan wawasan kebangsaan. Lalu kalaupun ditanya setuju tidak dengan revisi UU KPK, kemudian dijawab tidak setuju, apa itu juga dilihat sebagai ukuran tidak memiliki wawasan kebangsaan,” ujarnya.
“Saya psikolog, belajar psikometrik, saya tahu persis gimanabattery of test utntuk melakukan asesmen terhadap sebuah jabatan dan seseorang calon pengisi jabatan tersebut. TWK jelas-jelas tidak sesuai kadiah psikometrik.” (Alisa Wahid dari Jaringan Gusdurian)
Ia menambahkan, “Saya psikolog, belajar psikometrik, saya tahu persis gimanabattery of test utntuk melakukan asesmen terhadap sebuah jabatan dan seseorang calon pengisi jabatan tersebut. TWK jelas-jelas tidak sesuai kadiah psikometrik dan bagaimana kemudian timbul kesimpulan tidak lolos TWK. Itu benar-benar pertanyaan.”
Sebelumnya diberitakan, hasil penilaian tes wawasan kebangsaan terhadap 1.349 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi telah diserahkan Badan Kepegawaian Negara kepada KPK. Tes ini bagian dari pengalihan pegawai KPK menjadi PNS. Sejumlah pegawai KPK telah menerima kabar, setidaknya ada 75 pegawai KPK tidak lolos tes. Mereka di antaranya adalah penyidik sejumlah perkara korupsi dan pengurus Wadah Pegawai KPK.
Pengalihan pegawai ini juga menjadi bagian dari uji materi Undang-Undang 19 Tahun 2019 tentang KPK hasil revisi, di Mahkamah Konstitusi. (Kompas.id, 5 Mei 2021)