Surat Keputusan Bersama Belum Cukup, Elsam: Rombak Total UU ITE
Surat Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Kapolri, dan Jaksa Agung dinilai belum cukup untuk penanganan kasus-kasus pelanggaran UU ITE. Elsam mendorong agar UU ITE dirombak total.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA,KOMPAS — Pemerintah telah selesai menyusun draf Surat Keputusan Bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Kapolri, dan Jaksa Agung yang akan dijadikan pedoman bagi aparat penegak hukum untuk menangani kasus-kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE. Namun, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat menilai hal itu belum cukup. Mereka mendorong agar UU ITE dirombak total.
Ketua Tim Kajian UU ITE Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) Sugeng Purnomo dalam telekonferensi media, Jumat (21/5/2021), mengatakan, Kemenko Polhukam telah menggelar rapat bersama Kementerian Kominfo, Polri, dan Kejaksaan Agung untuk membahas Surat Keputusan Bersama (SKB) Penanganan Kasus UU ITE pada Kamis (20/5/2021).
Rapat membahas mengenai substansi ataupun lampiran SKB. Hasil kerja Subtim I Kajian UU ITE dijadikan dasar untuk membuat draf SKB.
Nantinya, SKB akan menjadi pedoman untuk penanganan kasus pelanggaran terhadap Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 36 UU Nomor 11 Tahun 2018 tentang ITE yang telah diubah melalui UU Nomor 16 Tahun 2019.
Pasal 27 UU ITE mengatur tentang pelanggaran kesusilaan, perjudian, pencemaran nama baik, serta pemerasan dan atau pengancaman. Pasal 28 mengatur tentang penyebaran berita bohong, dan ujaran kebencian dan permusuhan. Pasal 29 mengatur tentang ancaman kekerasan atau menakut-nakuti. Adapun Pasal 36 mengatur tentang perbuatan melawan hukum pada Pasal 27-34 yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain.
”Pedoman ini disusun agar ada pemahaman yang sama, tidak keliru di kalangan aparat penegak hukum. Agar lebih mengikat, dituangkan dalam SKB Menkominfo, Kapolri, dan Jaksa Agung,” kata Sugeng.
Menurut Sugeng, substansi dan lampiran SKB sudah selesai dan tidak ada koreksi lagi. Selanjutnya, akan dijadwalkan untuk penandatanganan SKB tersebut. Setelah ditandatangani, SKB akan disosialisasikan kepada aparat penegak hukum, yaitu kepolisian dan kejaksaan. Kemenko Polhukam akan memfasilitasi sosialisasi itu agar tidak ada lagi multitafsir dan penegakan hukum yang diskriminatif di lapangan.
Sugeng menambahkan, pada prinsipnya UU ITE diterapkan dengan prinsip penegakan hukum dilakukan sebagai upaya terakhir (ultimum remidium). Saat ini, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo juga kerap mengatakan penegakan hukum dengan prinsip keadilan restoratif. Dengan demikian diharapkan, meskipun sudah ada SKB tersebut, kepolisian dan kejaksaan diminta untuk mengedepankan aspek keadilan restoratif. Apabila kasus adalah pelanggaran ringan, diharapkan selesai dengan mediasi. Tanpa harus diproses hukum.
”Prinsip ultimum remidium itu harus diterapkan, tetapi domainnya ada di setiap aparat penegak hukum. Di kepolisian, misalnya, ada Peraturan Kapolri (Perkap) yang mengatur soal itu. Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 juga mengatur hal yang sama. Jadi, menurut saya, prinsip itu bisa dilaksanakan di lapangan,” kata Sugeng.
Revisi terbatas UU ITE
Sugeng juga mengatakan bahwa ada sedikit revisi dalam rekomendasi pemerintah untuk melakukan revisi terbatas UU ITE.
Sebelumnya, dalam konferensi pers pada 29 April 2021, Menko Polhukam Mahfud MD mengatakan, revisi terbatas akan dilakukan dengan menambah satu pasal penjelasan, yaitu Pasal 45C. Pasal tambahan baru itu akan menjelaskan definisi tindak pidana yang dimaksud secara lebih rinci, misalnya keonaran, berita bohong, dan sebagainya.
Namun, hasil rapat terakhir, revisi tidak hanya dilakukan dengan menambah satu pasal penjelasan. Pemerintah juga akan mereformulasi pasal yang mengatur tindak pidana konvensional yang diatur di Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, dan Pasal 36 UU ITE. Reformulasi pasal dilakukan salah satunya karena sumber dari norma tersebut, yakni pasal-pasal di Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), telah dibatalkan oleh MK karena dinilai inkonstitusional.
”Di KUHP itu, tindak pidana penghinaan dan fitnah, misalnya, diatur tersebar di sejumlah pasal. Sementara di UU ITE terbatas di Pasal 27, ini nantinya yang akan kita jabarkan apa itu penghinaan dan fitnah yang dimaksud,” kata Sugeng.
Pasal 36 UU ITE juga akan direvisi untuk mempertegas apa yang dimaksud dengan kerugian. Apakah sifatnya materiil, immaterial, itu akan diperjelas baik di pedoman implementasi maupun revisi UU ITE.
Dalam revisi UU ITE tersebut, Kemenkominfo dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) akan menjadi leading sector. Kemenkumham akan memproses usulan revisi itu agar masuk dalam perubahan prolegnas prioritas pada bulan Juni 2021.
”Pemerintah akan mencoba memasukkan bersama-sama dengan DPR dalam revisi prolegnas prioritas 2021. Ini sudah disepakati menjadi skala prioritas untuk diusulkan. Nanti tugasnya Kemenkumham untuk menyampaikan kepada DPR,” terang Sugeng.
Momentum rombak ulang
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar saat dihubungi, Minggu (23/5/2021), mengapresiasi apabila memang ada aturan khusus dalam SKB yang memastikan bahwa proses hukum pelanggaran atas sejumlah pasal yang dianggap karet di UU ITE dilakukan dalam konteks ultimum remidium. Hal itu bisa menjadi salah satu upaya agar tidak ada lagi multitafsir dalam penerapan UU ITE di lapangan.
Namun, persoalannya, menurut dia, persoalan dari pasal-pasal karet UU ITE ini terkait dengan rumusannya yang sejak awal bermasalah. Hal itu baru bisa diperbaiki apabila ada revisi total UU ITE. Karena itu, SKB dinilainya tidak bisa sepenuhnya dijadikan pegangan untuk memutus apakah perkara bisa diproses hukum atau tidak.
Dia berharap revisi UU ITE seharusnya bisa dilakukan secara total, tidak hanya terbatas pada Pasal 27, 28, 29, dan 36. Revisi UU ITE seharusnya dapat menjadi momentum membongkar ulang regulasi agar dapat lebih responsif dengan perkembangan dunia maya hari ini. Terkait, misalnya, dengan aturan moderasi konten, tata kelola konten, kejahatan siber, dan lain-lain.
”Indonesia mengalami penetrasi internet yang luar biasa pada 2010-2021 termasuk juga perkembangan platform digital. Di level legislasi, masalah-masalah itu belum terjawab. Seharusnya, pengalaman 10 tahun ini bisa menjadi pijakan untuk mereformulasi dan merekonstruksi UU ITE. Supaya mampu merespons masalah-masalah terkini dalam konteks perkembangan teknologi informasi dan internet,” kata Wahyudi.