Kapolri: Selesaikan dengan Mekanisme Keadilan Restoratif
Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo meminta agar kasus-kasus pelanggaran UU ITE, khususnya yang terkait pencemaran nama baik, fitnah atau penghinaan, dapat diselesaikan dengan mekanisme keadilan restoratif.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar/Dian Dewi Purnamasari/Edna C Pattisina
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kepala Kepolisian Negara RI atau Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo meminta jajarannya agar kasus-kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE, khususnya yang terkait pencemaran nama baik, fitnah atau penghinaan, diselesaikan dengan mekanisme keadilan restoratif atau penyelesaian di luar pengadilan melalui proses mediasi. Tak hanya itu, Kapolri meminta para terlapor tidak ditahan.
Melalui surat telegram kepada seluruh kepala kepolisian daerah (kapolda), tertanggal 22 Februari 2021, Kapolri meminta para kapolda untuk memedomani penanganan tindak pidana kejahatan siber khususnya ujaran kebencian seperti tertera di dalam surat tersebut.
Lebih khusus yang berkaitan pencemaran nama baik, fitnah, atau penghinaan, diminta memedomani Pasal 27 Ayat 3 UU ITE, Pasal 207, 310, dan 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Namun, untuk ini, Kapolri meminta penanganan dapat diselesaikan dengan mekanisme keadilan restoratif. Selain itu, tidak dilakukan penahanan terhadap para terlapor.
Kapolri juga memerintahkan dilakukan gelar perkara secara virtual kepada Kepala Badan Reserse Kriminal Polri atau Direktur Tindak Pidana Siber dalam setiap tahap penyidikan dan penetapan tersangka.
Adapun untuk tindak pidana yang berpotensi memecah belah bangsa, seperti disintegrasi dan intoleransi, dibagi menjadi dua.
Pertama, tindak pidana yang mengandung unsur suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) agar memedomani Pasal 28 Ayat 2 UU ITE, Pasal 156 dan Pasal 156a KUHP, serta Pasal 4 UU No 40/2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Kedua, untuk tindak pidana penyebaran berita bohong yang menimbulkan keonaran agar memedomani Pasal 14 Ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
”Surat Telegram ini bersifat petunjuk dan arahan sekaligus perintah untuk dipedomani dan dilaksanakan,” demikian bunyi surat telegram tersebut.
Kepala Divisi Humas Mabes Polri Inspektur Jenderal Argo Yuwono membenarkan perintah Kapolri melalui telegram itu.
Revisi UU ITE
Sementara itu, menyikapi tim kajian UU ITE bentukan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Ketua Lembaga Riset Keamanan dan Komunikasi CISSRec Pratama Persada berharap, hasil kajian nantinya tidak mengingkari kehendak publik yang meminta agar sejumlah pasal karet di UU ITE direvisi.
Apalagi problem selama ini dinilainya memang terdapat pada sejumlah pasal di UU ITE yang multitafsir.
Oleh karena itu, dalam tempo dua bulan, tim kajian UU ITE itu hendaknya dapat menghasilkan naskah akademik dan draf revisi UU ITE. Pasal yang harus direvisi di antaranya, Pasal 27 Ayat (3) UU ITE yang mengatur tentang penghinaan dan pencemaran nama baik, dan pasal 28 ayat (2) tentang ujaran kebencian.
Tak sebatas itu, secara simultan seharusnya pemerintah mendorong agar revisi UU ITE masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2021. Pemerintah seharusnya dapat memanfaatkan belum disahkannya prolegnas tersebut.
Adapun susunan tim kajian UU ITE yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat dinilai mengonfirmasi turunnya indeks demokrasi. Niat pemerintah untuk merevisi UU ITE dipertanyakan.
”Jadi, revisi UU ITE itu untuk melindungi masyarakat atau melindungi elite dari kritik masyarakat yang jadi dasar demokrasi dan HAM,” kata Airlangga Pribadi, dosen FISIP Universitas Airlangga.
Airlangga mengatakan, saat ini tengah terjadi tren depostisme baru. Depotisme baru adalah kemampuan negara melemahkan hak-hak kewargaan rakyat dengan mekanisme yang demokratis melalui intervensi di ruang privat, misalnya persekusi. ”Problem UU ITE harus dilihat dalam konteks ini,” kata Airlangga.
Airlangga mengatakan, ketika tim kajian UU ITE tidak melibatkan pihak yang kritis atau pihak yang independen, bisa dibayangkan akan menjadi seperti apa demokrasi ke depan. Di sisi lain, penguasa membangun kesepakatan sosial dengan para pendukungnya di mana esensi persoalan dapat dibelokkan, dan diganti dengan sentimen-sentimen semata. ”Dalam kondisi pelemahan demokrasi, tidak adanya keterlibatan publik itu menegaskan ada masalah dalam demokrasi,” tandas Airlangga.
Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto.
Menurut dia, dengan tidak adanya pihak yang independen di dalam tim, bisa dibayangkan bagaimana nanti rekomendasinya. Ia menyesalkan tidak ada juga Komnas HAM dan Komnas Perempuan di dalam tim kajian UU ITE, yang mengetahui banyaknya pasal-pasal bermasalah di UU ITE.
Seperti diberitakan sebelumnya, Ketua Tim Pelaksana Kajian UU ITE dijabat oleh Deputi Bidang Koordinasi Hukum dan HAM Kemenko Polhukam Sugeng Purnomo. Sementara, Ketua Tim I yang menyusun kriteria penerapan UU ITE adalah Henri Subiakto, staf ahli Kementerian Kominfo, dan Ketua Tim II yang mengkaji revisi UU ITE adalah Widodo Ekatjahjana, Direktur Jenderal Perundang-undangan Kemenkumham. Jumlah anggota dan sekretaris adalah 25 orang, seluruhnya berasal dari kementerian dan lembaga negara.