Rencana pemerintah merevisi Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik disambut positif publik. Selama ini penerapan undang-undang ini dinilai masih cenderung belum tepat sasaran dan lebih banyak merugikan.
Oleh
Susanti Agustina S/ Litbang Kompas
·5 menit baca
Dukungan publik terhadap wacana merevisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terlihat dari hasil jajak pendapat Kompas akhir Februari 2021. Sebanyak tiga perempat responden menyatakan UU ITE perlu direvisi. Namun, revisi tetap perlu lebih fokus pada pasal-pasal yang selama ini cenderung dianggap kontroversial, mengundang polemik, dan merugikan publik.
Ada sejumlah isu yang selama ini menjadi perbincangan publik terkait dengan revisi UU ITE. Di sejumlah pasal dalam undang-undang itu dinilai multitafsir layaknya pasal karet. Sebut saja, antara lain, soal ujaran kebencian atas dasar suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA), kesusilaan, dan penghinaan/pencemaran nama baik.
Pada isu kesusilaan, misalnya, pasal ini cenderung disikapi responden dengan sebagian besar sepakat untuk direvisi, bahkan jika diperlukan bisa dihapus karena pasal ini justru cenderung merugikan korban. Catatan Institute for Criminal Justice Reform menyebutkan, isu pornografi dan asusila, terutama pada Pasal 27 Ayat 1 dan Pasal 45 Ayat 1 UU ITE, cenderung menduplikasi Pasal 281-303 KUHP yang mengatur tindak pidana kesusilaan dengan jenis perbuatan berbeda-beda. Ketentuan ini dinilai mengakibatkan unsur pidana dalam delik jadi multitafsir.
Sementara untuk isu penghinaan dan pencemaran nama baik (Pasal 27 Ayat 3) dan penyebaran informasi yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan pada masyarakat berdasar SARA (Pasal 28 Ayat 2) cenderung disikapi terbelah oleh responden. Terkait dengan penghinaan dan pencemaran nama baik, 43,2 persen responden sepakat pasal ini cenderung digunakan untuk menangkap warga yang mengkritik pemerintah, polisi, atau lembaga negara sehingga harus dihapus. Namun, 43,6 persen responden justru merasa pasal ini tetap harus dipertahankan.
Hal serupa juga terjadi pada isu terkait ujaran kebencian. Sejumlah 50,1 persen responden menilai pasal ini kerap disalahgunakan untuk merepresi sehingga layak dihapus. Sikap ini berbeda dengan 40,2 persen responden lainnya yang justru menyatakan pasal ini tetap diperlukan saat ini.
Adapun hasil survei Microsoft dalam Digital Civility Index, yang diluncurkan 2021, menyebutkan, indeks kesopanan warganet di Indonesia kian rendah dengan skor 76. Hal ini menempatkan Indonesia pada peringkat ke-29 dari 32 negara yang disurvei.
Keterbelahan sikap responden juga terlihat terkait dengan Pasal 40 Ayat 2 yang mengatur kewenangan pemerintah mencegah penyebarluasan dan penggunaan informasi elektronik/dokumen elektronik yang isinya melanggar undang-undang. Dengan kewenangan ini, pemerintah berhak memutus akses terhadap konten-konten yang muatannya melanggar hukum.
Sebagian responden (39,5 persen) sepakat pasal ini harus dihapuskan karena membuka taksir kepentingan umum yang sepihak dari pemerintah. Sementara sebagian responden lainnya (47,9 persen) tetap mendukung pasal ini dipertahankan untuk menghindari maraknya hoaks, spam, perundungan daring, ataupun pelecehan secara digital.
Iklim demokrasi
Sikap sebagian besar responden yang setuju UU ITE direvisi ini sebenarnya menjadi angin segar bagi iklim demokrasi di Indonesia. Apalagi, Indeks Demokrasi Indonesia pada aspek kebebasan berpendapat tengah menjadi sorotan beberapa tahun terakhir. Upaya revisi UU ITE bisa mengirim sinyal pemerintah tetap menjamin kebebasan berpendapat warga.
Kebebasan berpendapat ini menjadi penting seiring dengan penggunaan media sosial yang masif. Digital Report 2021 dari Hootsuite dan We Are Social menyebutkan, pengguna internet di Indonesia pada awal 2021 diperkirakan mencapai 202,6 juta jiwa. Ada peningkatan 15,5 persen atau 27 juta jiwa dibandingkan dengan Januari 2020. Penetrasi internet di Indonesia, awal 2021, menurut laporan itu mencapai 73,7 persen.
Laporan ini juga menyebutkan bahwa aktivitas berinternet yang paling digemari pengguna internet Indonesia ialah berselancar di media sosial. Saat ini ada 170 juta orang Indonesia yang merupakan pengguna aktif media sosial. Rata-rata mereka menghabiskan waktu 3 jam 14 menit di platform jejaring sosial. Data ini terkonfirmasi jajak pendapat Kompas. Sebanyak 72,7 persen responden mengaku memiliki akun media sosial. Maka tidak heran jika kegaduhan di media sosial menjadi isu yang juga dikaitkan dengan kualitas demokrasi saat ini.
Wacana revisi UU ITE dilontarkan Presiden Joko Widodo karena melihat UU ITE banyak digunakan masyarakat untuk saling lapor ke Polri. Fenomena itu menunjukkan masih banyak masyarakat yang menganggap hukum belum memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Di sisi lain, beberapa pihak bahkan menilai kebebasan berpendapat saat ini kian dibatasi karena semakin banyak kasus penangkapan akibat komentar atau cuitan di ranah digital.
Data SAFEnet menunjukkan, kasus pidana terkait dengan UU ITE hingga 30 Oktober 2020 mencapai 324 kasus. Sebanyak 209 orang dijerat dengan Pasal 27 Ayat 3 tentang pencemaran nama baik, 76 orang dijerat dengan Pasal 28 Ayat 3 UU ITE tentang ujaran kebencian. Sebanyak 172 kasus yang dilaporkan itu berasal dari unggahan di Facebook.
Wacana merevisi UU ITE ditindaklanjuti Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dengan membentuk dua tim guna mengkaji aturan yang selama ini dianggap pasal karet, baik dari sisi implementasi maupun substansi.
Selain upaya pemerintah akan melakukan revisi UU ITE tahun ini, Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo juga menerbitkan Surat Edaran Nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif pada 19 Februari 2021. Dalam telegram itu, Kapolri memberikan sejumlah pedoman agar penanganan kasus yang berkaitan dengan UU ITE menerapkan penegakan hukum yang memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
Upaya Kapolri ini juga disambut positif responden dalam jajak pendapat ini. Telegram Kapolri ini dinilai bisa berjalan beriringan dengan upaya revisi UU ITE.
Sebagian besar responden dalam jajak pendapat menaruh harapan besar terhadap upaya revisi UU ITE ini. Mereka meyakini revisi ini akan membuat aturan terkait pasal-pasal yang dinilai multitafsir menjadi lebih mudah dipahami.
Revisi UU ITE juga diharapkan mampu membangun keseimbangan antara jaminan kebebasan berpendapat di ruang digital dengan tetap menjaga hak dan kewajiban sesama warga negara di mata hukum.