Segera Tindaklanjuti Arahan Presiden Terkait 75 Pegawai KPK
Tak kunjung ditindaklanjutinya arahan Presiden Joko Widodo terkait 75 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan berisiko menguatkan kecurigaan publik bahwa KPK dilemahkan.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO/PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Desakan kepada tiga instansi untuk segera menindaklanjuti arahan Presiden Joko Widodo terkait 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan semakin kuat.
Lambatnya proses akan semakin lama menggantung status para pegawai sehingga berimbas pada penanganan kasus-kasus korupsi. Tak hanya itu, hal tersebut juga berisiko semakin memperkuat kecurigaan publik pada proses pengalihan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara.
Seperti diberitakan sebelumnya, tiga instansi, yaitu KPK, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB), serta Badan Kepegawaian Negara (BKN), diminta Presiden Joko Widodo untuk menindaklanjuti arahannya terkait 75 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan. Ada setidaknya dua poin utama, yakni hasil tes tidak bisa dijadikan dasar untuk pemberhentian pegawai KPK. Kemudian, hasil tes cukup dijadikan sebagai bahan perbaikan institusi ataupun individu di KPK. Bentuknya melalui pendidikan kedinasan.
Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Robert Endi Jaweng, saat dihubungi, Rabu (19/5/2021), mengatakan, Kemenpan dan RB dan BKN merupakan bagian dari instansi pemerintah yang harus patuh mengikuti arahan Presiden. Begitu pula KPK, yang setelah lahirnya Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK menjadi bagian dari rumpun kekuasaan eksekutif.
”Pesan dari Presiden itu harus dibaca sebagai komando atau perintah dari pemimpin tertinggi eksekutif, termasuk terhadap pimpinan KPK. Jangan dilihat sebagai pernyataan normatif atau imbauan. Harus dipatuhi dan segera ditindaklanjuti. Namun, perlu diingat, ya, pesan Presiden itu dalam kerangka tata kelola organisasi, bukan penegakan hukum, karena untuk ini, KPK tidak bisa diintervensi,” ujarnya.
Ia melanjutkan, arahan Presiden penting untuk segera ditindaklanjuti supaya ada kejelasan status atas 75 pegawai KPK. Saat ini, status mereka tak jelas karena sekalipun masih sebagai pegawai KPK, di sisi lain mereka masih dibebastugaskan sebagai implikasi dari keputusan pimpinan KPK. ”Mereka butuh kejelasan status. Jangan dibebastugaskan tanpa ketidakpastian,” ujarnya.
Selain itu, penting bagi KPK, Kemenpan dan RB, serta BKN untuk membaca kuatnya kecurigaan publik yang selama ini beredar. Dalam kondisi itu, instansi-instansi tersebut harus segera menindaklanjuti arahan Presiden, termasuk memberikan kepastian status kepada 75 pegawai KPK.
Jika tidak, kecurigaan publik akan semakin memuncak. Kondisi ini tidak baik bagi KPK ataupun instansi-instansi pemerintah yang diminta Presiden untuk menindaklanjuti arahannya.
Kalangan masyarakat sipil, sejumlah akademisi, dan tokoh masyarakat selama ini mencurigai proses pengalihan status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN) seperti diamanatkan UU KPK, khususnya soal tes wawasan kebangsaan, sebagai upaya melemahkan KPK. Ini karena selain materi tes yang dinilai janggal, hasil tes menggugurkan pegawai-pegawai KPK yang sudah terbukti integritas dan komitmennya dalam memberantas korupsi.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, pun mendorong tiga instansi yang diminta Presiden menindaklanjuti arahannya untuk segera mengambil jalan keluar. ”Instansi-instansi ini perlu secara serius dan atentif bekerja mencari solusinya,” katanya.
Arahan Presiden bahwa hasil tes tak bisa jadi dasar pemberhentian, menurut dia, sudah selaras dengan semangat pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah, ketika melahirkan UU No 19/2019. Pembentuk undang-undang ingin pegawai KPK otomatis menjadi ASN atau dengan kata lain alih status pegawai KPK jadi ASN bukan untuk mengurangi pegawai KPK.
Jadi, ketika dalam prosesnya ada yang dianggap tidak memenuhi syarat, jalan keluarnya harus diberi kesempatan supaya memenuhi syarat dan bisa menjadi ASN. Karena mereka tak lolos tes wawasan kebangsaan, Arsul mengusulkan agar Lembaga Ketahanan Nasional turut dimintai pemikiran guna mencari solusi yang tepat.
Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-Komisi dan Instansi KPK Sujanarko, seusai melaporkan dugaan malaadministrasi oleh kelima pemimpin KPK dalam pelaksanaan tes wawasan kebangsaan ke ORI, Rabu, menyampaikan, negara dirugikan jika status pembebastugasan 75 pegawai KPK berlarut-larut.
Pasalnya, 75 pegawai KPK, termasuk dirinya, tetap menerima gaji. Dengan kata lain, keputusan pimpinan KPK pada 7 Mei lalu yang membebastugaskan mereka dinilai merugikan keuangan negara dan bentuk malaadministrasi.
Selain itu, keputusan pimpinan KPK itu dinilai merugikan publik. Salah satunya karena di antara pegawai yang dibebastugaskan adalah penyidik dan penyelidik sehingga otomatis berimbas pada tidak optimalnya penanganan kasus-kasus korupsi oleh KPK. ”Jadi, kira-kira, semakin cepat penyelesaian ini, akan semakin baik,” ucap Sujanarko.
Apalagi, Presiden Jokowi juga telah memberi pernyataan dengan sangat lugas, jelas, dan tidak multitafsir. ”Kepala Negara, kan, sudah memberikan pernyataan, sudah memutuskan, mau apa lagi yang digoreng-goreng? Mau apa lagi yang dimasak-masak? Apakah mau melawan Presiden?” katanya.
Atas laporan dari 75 pegawai KPK tersebut, Ketua ORI M Najih berjanji mendalaminya.
Adapun Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menegaskan, semua produk kebijakan yang dikeluarkan kelembagaan KPK sudah dibahas dan disetujui oleh empat unsur pimpinan lain. Sebelum keputusan diambil, pimpinan KPK pun selalu membahasnya dengan jajaran pejabat struktural KPK. Ini disebut wujud dari kepemimpinan kolektif kolegial.
Mengenai tindak lanjut dari arahan Presiden, baik pimpinan KPK, Menpan dan RB Tjahjo Kumolo, maupun Kepala BKN Bima Haria Wibisana, belum bersedia berkomentar. Tjahjo sebelumnya mengatakan masih harus berkoordinasi dengan Ketua KPK Firli Bahuri dan Kepala BKN.