Meramal Masa Depan Wadah Pegawai KPK
Sebagian dari 75 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi yang tak lolos tes wawasan kebangsaan merupakan para aktivis wadah pegawai. Karena itu muncul pertanyaan, apakah tes merupakan upaya memberangus wadah pegawai KPK?
Surat keputusan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Nomor 652 Tahun 2021 menjadi keputusan resmi lembaga untuk menindaklanjuti tidak lolosnya 75 pegawai dalam tes wawasan kebangsaan yang merupakan syarat alih status menjadi aparatur sipil negara. Melalui surat tertanggal 7 Mei 2021 tersebut, Ketua KPK Firli Bahuri meminta pegawai yang tak memenuhi syarat menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan langsung sembari menunggu keputusan lebih lanjut.
Sebagian pegawai KPK yang dibebastugaskan oleh pimpinan KPK itu merupakan pengurus inti serta mantan pengurus Wadah Pegawai (WP) KPK. Ketua WP saat ini, Yudi Purnomo, misalnya, masuk dalam daftar 75 pegawai yang dibebastugaskan. Ada juga nama-nama, seperti Harun Al-Rasyid yang merupakan Wakil Ketua WP KPK serta Farid Andhika (sekretaris jenderal), Praswad Nugraha (kepala bidang advokasi), dan Novariza (kepala bidang organisasi).
Di jajaran para mantan pengurus, ada nama Faisal Jabar yang merupakan Ketua WP KPK periode 2014-2016 dan Novel Baswedan yang pernah menjadi Ketua WP KPK tahun 2016-2018. Prestasi keduanya terbilang sangat gemilang.
Sebagai penyidik senior KPK, Novel, misalnya, telah mengungkap sejumlah kasus korupsi besar, seperti kasus Wisma Atlet, jual-beli perkara oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, serta korupsi simulator surat izin mengemudi. Ia juga dipercaya menjadi Ketua Satuan Tugas (Kasatgas) dalam perkara dugaan korupsi penetapan izin ekspor benih lobster (benur) yang menjerat mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Selain pengurus dan mantan pengurus WP KPK, ada juga nama-nama penyidik yang dikenal berintegritas yang dinyatakan tak memenuhi syarat dalam tes wasasan kebangsaan. Mereka di antaranya penyidik Ambarita Damanik, Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar-komisi dan Instansi (PJKAKI) Sujanarko, Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi Giri Suprapdiono, Kepala Bagian Perancangan dan Produk Hukum KPK Rasamala Aritonang, serta Deputi Bidang Koordinasi dan Supervisi Herry Muryanto.
Karena itulah muncul spekulasi, tes wawasan kebangsaan bertujuan menyingkirkan pegawai KPK yang dikenal memiliki integritas. ”Ini, kan, berarti tes wawasan kebangsaan malah menyingkirkan orang-orang berintegritas. Prestasi kerja mereka juga tidak diragukan lagi. Mereka semua ini senior, berpengalaman, dan terus bersuara kritis demi kebaikan KPK,” kata Ketua WP KPK Yudi Purnomo, Sabtu (15/5/2021).
Baca juga: 74 Guru Besar Minta Pembatalan Perintah Penyerahan Tugas 75 Pegawai KPK
Sebenarnya, sudah sejak lama, para pegawai sadar bahwa tes wawasan kebangsaan yang akan mereka jalani sebagai syarat menjadi ASN, tak lebih dari upaya pelemahan pemberantasan korupsi. Karena itulah pada awal Maret lalu, WP mengirimkan surat keberatan kepada pimpinan KPK.
”TWK berpotensi menjadi sarana legitimasi untuk menyingkirkan pegawai-pegawai yang menangani kasus strategis atau menempati posisi strategis,” demikian tertulis dalam surat bernomor 841 /WP/A/3/2021 yang dikirim WP KPK.
Namun, suara itu diabaikan begitu saja. Seluruh tahapan tes tetap dilangsungkan pada 18 Maret hingga 9 April. Saat hasilnya diumumkan, prediksi WP KPK tidak meleset. Sebanyak 75 pegawai KPK yang berintegritas dan berprestasi dinyatakan tidak memenuhi syarat dalam tes wawasan kebangsaan.
Kiprah WP
WP KPK dibentuk pada 2006, murni dari inisiatif para pegawai KPK, utamanya pegawai angkatan pertama atau yang masuk berdasarkan seleksi Indonesia Memanggil (IM) I, di mana Johan Budi SP termasuk di dalamnya.
Yudi menyampaikan, kehadiran WP KPK sebenarnya ingin sebatas menyuarakan kepentingan pegawai, sekaligus ingin menjadi mitra pimpinan KPK. Tak ada maksud lain karena pendirian WP KPK sejalan dengan Pasal 16 Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK.
Dalam Pasal 16 Ayat (1) disebutkan bahwa untuk menjamin hubungan kepegawaian yang serasi dan bertanggung jawab antarpegawai dan antara pegawai dengan komisi, pegawai dapat membentuk wadah pegawai komisi. Kemudian, di Pasal 16 Ayat (2) dilanjutkan bahwa wadah tersebut dibentuk guna menampung dan menyampaikan aspirasi kepada pimpinan komisi.
”Jadi, kehadiran kami sah secara hukum. Kami pun menyikapi secara kritis, dan menyampaikan dengan cara yang santun, serta mengoreksi jika ada yang salah. Jadi, WP ini untuk membela hak pegawai dan mengingatkan pimpinan sebenarnya,” kata Yudi.
Mantan Juru Bicara KPK, Johan Budi SP, menjadi ketua WP pertama, yang mengabdi pada tahun 2006 hingga 2010. Ia kemudian digantikan M Adlinsyah Nasution (dari Direktorat LHKPN) yang bertugas pada kepengurusan tahun 2010-2012. Dilanjutkan oleh Nanang Farid Syam (Direktorat PJKAKI) pada 2012-2014, Faisal Jabar (Direktorat Litbang) pada 2014-2016, Novel Baswedan (Direktorat Penindakan) periode 2016-2018, dan Yudi Purnomo (Direktorat Penindakan) 2018-2020.
Johan Budi mundur dari KPK pada 2015. Langkah ini kemudian diikuti oleh Adlinsyah dan Nanang Farid yang juga telah mengundurkan diri dari KPK pada 2020 lalu. Artinya, apabila Faisal, Novel, dan Yudi akhirnya terdepak dari KPK, maka tak ada lagi mantan Ketua WP yang tersisa di tubuh lembaga antirasuah tersebut.
Menilik jejak langkah WP sejak berdiri hingga belakangan ini, kiprahnya sudah tak terhitung lagi. Di saat-saat lonceng tanda bahaya berdentang, WP menjadi pelindung bagi KPK. Bersama dengan pimpinan KPK, WP menjadi tameng bagi serangan-serangan balik antikorupsi. Pada kesempatan lain, WP ”berhadap-hadapan” dengan pimpinan KPK saat mereka mengeluarkan kebijakan yang dinilai tidak sesuai dengan ketentuan.
Sebut saja ketika pimpinan KPK mengeluarkan Keputusan Nomor 1426 Tahun 2018 tentang Tata Cara Mutasi di Lingkungan KPK. Ketentuan itu mengatur bahwa proses mutasi, rotasi, dan promosi pegawai KPK dilaksanakan berdasarkan hasil rapat pimpinan KPK dan dilaksanakan berdasarkan kebutuhan organisasi. Ketentuan ini dinilai tak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Baca juga: Hentikan Prahara di Tubuh KPK
Dalam kasus tersebut, WP keberatan dengan substansi keputusan 1426 karena aturan tersebut mengizinkan proses mutasi pegawai KPK dilakukan hanya dengan rekomendasi atas dan mendapat persetujuan rapat pimpinan. Padahal, praktik mutasi yang telah berjalan di KPK hanya dapat dilakukan dengan mekanisme alih tugas atau sanksi pelanggaran berat. Selain karena dinilai tak sesuai dengan ketentuan, mutasi tersebut dianggap tidak mempertimbangkan kompetensi pegawai KPK dan berpotensi melemahkan KPK. Gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pun dilayangkan WP.
Meski kandas, putusan PTUN Jakarta juga secara implisit menandakan bahwa majelis hakim telah mengakui dan menerima legal standing atau kedudukan hukum WP KPK untuk mengajukan gugatan di pengadilan. Ketika itu, Ketua WP KPK Yudi Purnama berharap hal tersebut dapat membuat pimpinan KPK tidak lagi menerbitkan kebijakan yang sewenang-wenang tanpa proses yang akuntabel dan transparan.
Cerita WP KPK ”bersitegang” dengan atasan dalam upaya meluruskan kebijakan bukan pertama kali terjadi. Pada masa kepemimpinan Novel Baswedan, WP aktif memperjuangkan agar KPK dapat memiliki penyidik yang direkrut sendiri dan meminimalisasi penyidik dari kepolisian.
Setidaknya hal tersebut terungkap di dalam sidang Panitia Khusus Hak Angket DPR saat Pansus menghadirkan Direktur Penyidikan KPK Brigadir Jenderal Aris Budiman sebagai pihak yang memberikan keterangan pada akhir Agustus 2017. Ketika itu, Pansus melayangkan panggilan kepada komisioner KPK tetapi para pemimpin KPK tidak bersedia hadir. Aris, pada saat itu, mengaku hadir tanpa izin dari pimpinan KPK.
Di hadapan Pansus, Aris mengisahkan tentang friksi di internal KPK, khususnya terkait penambahan penyidik. Aris mengusulkan perekrutan penyidik dengan latar belakang ajun komisaris polisi dan komisaris polisi kepada pimpinan KPK. Namun, usulan tersebut ditentang oleh kelompok Novel yang tidak setuju dengan kebijakan tersebut.
Puncak perselisihan dengan Novel (ketua WP saat itu) adalah ketika Aris akan mengangkat penyidik senior dari Polri sebagai kepala satuan tugas penyidikan. Keputusan itu langsung mendapat protes dari Novel. Aris juga menyebutkan bahwa Novel pernah mendapatkan surat peringatan, tetapi pada akhirnya surat peringatan itu belakangan dicabut. Bukan hanya itu, Aris juga menyampaikan bahwa Novel sebagai sosok yang powerfull di KPK dan bisa memengaruhi kebijakan yang diambil kebijakan pimpinan KPK.
Sementara itu, Faisal saat menjabat sebagai ketua WP KPK pada 2015 lalu, bersama ratusan pegawai lain, dengan lantang menolak putusan pimpinan KPK yang melimpahkan kasus Budi Gunawan kepada Kejaksaan Agung. Saat itu, Budi Gunawan yang merupakan calon tunggal Kapolri ditetapkan sebagai tersangka kasus rekening gendut.
Dalam upaya menjaga KPK tetap independen dan diisi pimpinan yang berintegritas, WP bahkan berperan aktif mengawal proses seleksi pimpinan KPK. WP membentuk tim pengawalan seleksi pimpinan KPK yang terdiri atas pegawai-pegawai KPK, kemudian berkoordinasi dengan koalisi masyarakat sipil, akademisi, dan pemangku kepentingan lain. Tugas tim adalah menghimpun usulan dari pegawai terkait kriteria pimpinan dan arah KPK. Selain itu juga melakukan pemeriksaan secara rinci tentang rekam jejak calon pimpinan KPK.
WP pun menolak upaya pelemahan KPK melalui revisi UU KPK yang beberapa kali diusulkan sejak tahun 2015. Dalam catatan Kompas, revisi UU KPK diusulkan masuk Prolegnas oleh 45 anggota DPR dari enam fraksi pada 2015. Keenam fraksi itu, Fraksi PDI-P, Nasdem, Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Hanura, dan Partai Kebangkitan Bangsa. Berkat kerja sama masyarakat sipil dan WP KPK, revisi UU KPK pun batal dibahas.
Kemudian pada 2016, revisi UU KPK kembali masuk prolegnas, tetapi batal dibahas. Setahun kemudian, pada 2017, 26 anggota DPR dari sembilan fraksi mengusulkan penggunaan hak angket untuk menyelidiki dugaan penyelewengan dalam penanganan kasus korupsi oleh KPK. Saat itu, salah seorang anggota DPR dari Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat, Miryam S Haryani, diperiksa KPK dalam perkara korupsi KTP-elektronik. Melalui Pansus Angket, DPR meminta KPK membuka rekaman pemeriksaan Miryam. Namun, KPK menolak membuka rekaman dengan alasan berpotensi menghambat pengungkapan kasus.
Baru pada September 2019, UU KPK berhasil direvisi oleh DPR bersama pemerintah. Penolakan serta keberatan dari berbagai elemen masyarakat tak dihiraukan hingga UU KPK baru disahkan dalam sidang paripurna DPR, 5 September 2019. Sebagian poin revisi mengadopsi hasil rekomendasi Pansus Hak Angket DPR 2017, seperti pembentukan lembaga pengawas KPK.
Sepanjang proses tersebut, WP KPK lantang menyuarakan aspirasinya, bersama-sama elemen bangsa lain menolak revisi UU KPK. Bahkan ketika revisi telah disetujui pemerintah dan DPR sebagai UU, pada 9 September 2019, WP bersama ratusan pegawai KPK melakukan aksi protes. Mereka berdiri berjajar membentuk rantai mengelilingi gedung Merah Putih KPK.
Rantai itu sebagai simbol bahwa KPK tak boleh dimasuki oleh orang tak berintegritas. Dalam aksi ini, WP menolak sejumlah poin yang dinilai akan melemahkan komisi antikorupsi seperti perubahan status pegawai KPK menjadi ASN. Mereka juga menolak keberadaan Dewan Pengawas KPK, keharusan izin penyadapan dari Dewas, serta diperbolehkannya KPK menghentikan penyidikan dan penuntutan.
Masa depan WP
Tidak lolosnya para pimpinan serta mantan pimpinan WP dalam proses alih status kepegawaian menjadi ASN pun kemudian menimbulkan tanda tanya, terutama tentang bagaimana nasib organisasi pegawai ini ke depan. Apakah masih bisa tetap hidup atau melebur ke dalam satu organisasi besar ASN, dalam hal ini pegawai negeri sipil, yaitu Korps Pegawai RI (Korpri)?. Atau, jika masih bisa bertahan, apakah WP dapat berkiprah seperti sebelumnya?
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XVII/2019 terkait uji materi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, khususnya pengujian Pasal 24 dan Pasal 45A Ayat (3) Huruf a, secara tegas memberi jawaban atas hal tersebut. Disebutkan, berkenaan dengan status sebagai pegawai ASN bagi pegawai KPK sama sekali tidak menghilangkan kesempatan bagi mereka untuk berserikat dan berkumpul sepanjang dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan dimaksudkan untuk semata-mata mencapai tujuan KPK dalam desain pemberantasan korupsi. Artinya, MK menjamin tidak ada larangan untuk berserikat dan berorganisasi.
Baca juga: Pemberhentian Pegawai KPK Bukan Solusi
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Feri Amsari mengamini hal tersebut. WP, dalam konteks status pegawai KPK sebagai ASN, dapat menjadi jembatan bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). WP dapat menjadi penghubung dengan tujuan spesifik seperti menjaga nilai-nilai integritas kepegawaian.
Hal senada diungkapkan Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono. Meskipun ada Korpri, ASN dapat berhimpun di wadah organisasi lain seperti asosiasi profesi atau pun forum silaturahmi untuk kepentingan tertentu. Ini bukan hal baru di kalangan PNS/ASN. Di kalangan penegak hukum, ia menyebutkan adanya Persatuan Jaksa Indonesia (PJI) dan Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI).
Namun, apakah nantinya WP akan memiliki peran yang kuat dan solid seperti WP sebelumnya? Feri Amsari tidak terlampau optimistis. Sebab dalam kondisi seperti saat ini, ketika pengurus inti WP dan mantan-mantan pengurus WP dinyatakan tak lolos tes wawasan kebangsaan, berarti pimpinan KPK tidak membuka ruang demokrasi yang sama dengan sebelumnya. Padahal, sudah ada tradisi kelembagaan dimana peran WP diakui dan hal itu memperlihatkan hasil yang positif bagi institusi/KPK
Ia berharap pimpinan KPK saat ini sebaiknya tidak menutup ruang demokrasi. Dalam konsep demokrasi, proses penyelenggaraan demokrasi dapat berjalan baik jika pembuat kebijakan membuka ruang untuk pegawainya untuk mengambil peran yang signifikan.
Apalagi, menurut Feri, selama ini WP KPK telah menjadi pelapis bagi KPK dan berhasil menjadi jembatan antara masyarakat sipil dengan pimpinan KPK. Kenyataan itulah yang membuat banyak kalangan, termasuk anggota DPR dan penegak hukum lain, menyadari bahwa mereka yang aktif dalam serikat pegawai perlu disingkirkan.
Terkait apakah WP ke depan masih dapat memengaruhi kebijakan pimpinan, Bayu mengungkapkan, keberadaan WP sebenarnya tidak ada dalam alur pengambilan kebijakan baik dalam pencegahan, penindakan, atau pelaksanaan wewenang KPK lainnya. Namun, jika mengacu pada asas pemerintahan yang baik, pegawai dapat saja berperan dalam pengambilan kebijakan lembaga. Hal itu sangat tergantung pada kultur masing-masing organisasi.
”Kalau memang selama ini sudah baik dengan melibatkan partisipasi semacam itu, dipertahankan saja. Itu sesuatu hal yang baik,” ujarnya.
Hal yang pasti, kini, nasib WP terancam setelah sejumlah pengurus intinya dinyatakan tidak memenuhi syarat dalam tes wawasan kebangsaan. Tetapi bagi Yudi, hal itu bukanlah akhir dari WP KPK. WP KPK harus terus eksis agar keselarasan hubungan antara anggota dan komisi sebagai institusi terus meningkat. (ANA/BOW)