KPK Telusuri TPPU Kasus Suap Pengurusan Perkara Eddy Sindoro
KPK mengembangkan penyidikan penerimaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang dalam kasus pengurusan perkara di Mahkamah Agung tahun 2012-2016 yang melibatkan Eddy Sindoro.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
KOMPAS/SHARON PATRICIA
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK mengembangkan penyidikan penerimaan gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang atau TPPU dalam kasus pengurusan perkara di Mahkamah Agung tahun 2012-2016. KPK telah melakukan penyidikan terkait kasus pengurusan perkara dari Eddy Sindoro.
Pelaksana Tugas Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri, Jumat (16/4/2021), mengatakan, KPK telah menemukan adanya bukti permulaan yang cukup dari fakta-fakta penyidikan dan persidangan.
”Saat ini KPK telah menaikkan status penyidikan tindak pidana korupsi berupa dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait pengurusan perkara dari ES (Eddy Sindoro) dan kawan-kawan. Kemudian, telah dilakukan penyidikan dalam dugaan penerimaan gratifikasi dan TPPU,” kata Ali.
Ia menuturkan, penerapan TPPU ini dilakukan karena ada dugaan terjadi perubahan bentuk dan penyamaran dari dugaan hasil tindak pidana korupsi kepada pembelian aset-aset bernilai ekonomis seperti properti maupun aset lainnya. Saat ini, KPK belum bisa menginformasikan pihak yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus TPPU ini.
Terdakwa pengacara Lucas mengikuti persidangan lanjutan dengan agenda pembacaan putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (20/3/2019).
Adapun Eddy Sindoro selaku Komisaris PT Paramount Enterprise merupakan penyuap bekas panitia pengganti Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Edy Nasution. Ia telah divonis 4 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Eddy Sindoro terbukti memberikan uang Rp 150 juta dan 50.000 dollar AS kepada Edy Nasution.
Dari kasus Edy, KPK berhasil mengembangkan dan menetapkan tersangka pada bekas Sekretaris Mahkamah Agung periode 2011-2016 Nurhadi pada Desember 2019. Dalam persidangan, Nurhadi mengakui dirinya pernah memerintahkan Edy Nasution mengirimkan berkas perkara Eddy Sindoro ke MA.
Nurhadi juga mengaku sudah lama mengenal Eddy Sindoro sehingga cukup sering bertemu. Ia mengakui, dalam salah satu pertemuan, Eddy Sindoro menyinggung soal sengketa perdata PT Kymco, tetapi ia mengaku tak menanggapinya.
Sebelumnya, KPK telah menyita lahan kebun sawit milik Nurhadi di Sumatera Utara. Selain itu, aset-aset milik Nurhadi lainnya juga telah disita, di antaranya tanah dan vila di kawasan Bogor, Jawa Barat, serta sepeda motor besar dan mobil mewah yang tersimpan di vila tersebut.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi tiba di Gedung KPK, Jakarta, Senin (29/3/2021).
Secara terpisah, kuasa hukum Nurhadi, Maqdir Ismail, mengaku belum berbicara dengan Nurhadi. Sebab, dirinya belum mendapatkan informasi tentang masalah tersebut.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, mempertanyakan mengapa KPK tidak mengumumkan tersangka dalam kasus TPPU ini. Padahal, KPK sudah memastikan kasus ini masuk pada penyidikan.
Menurut Kurnia, penyelidikan di KPK gradasinya lebih tinggi daripada di Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penyelidikan di KPK sudah mencari bukti permulaan yang cukup. Karena itu, ketika mereka sudah menaikkan ke tingkat penyidikan, seharusnya sudah ada penetapan tersangka.
Ia berharap KPK tidak hanya menyidik TPPU aktif, tetapi juga TPPU pasif. Adapun TPPU aktif adalah tersangka yang melakukan pencucian uang tersebut, sedangkan TPPU pasif adalah penerimanya. ”Penyidik dituntut cermat dalam melihat aliran dana hasil kejahatan itu digunakan untuk apa saja,” kata Kurnia.
Ia menjelaskan, TPPU menggunakan pendekatan yang baru, yakni tak hanya menghukum pelaku (follow the suspect), tetapi upaya mencari hasil tindak pidana tersebut (follow the money).
Dalam TPPU, terdapat mekanisme pembalikan beban pembuktian. Terdakwa akan membuktikan sebaliknya bahwa uang itu bukan diperoleh dari hasil kejahatan. Kalau tidak bisa membuktikan, harta itu dapat dirampas oleh negara.
Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, mengatakan, TPPU sangat penting untuk mengejar hasil tindak pidana sehingga akan dapat dilakukan pengembalian hasil kejahatan secara optimal. Menurut Zaenur, setiap perkara yang ditangani KPK seharusnya ditindaklanjuti dengan TPPU.