Penanganan Kasus BLBI Jangan Terpaku pada Jalur Perdata
Jalur perdata yang ditempuh dalam kasus BLBI hendaknya tak mengesampingkan penegakan hukum pidana. Hasil audit BPK jelas menyebutkan adanya penyalahgunaan dana BLBI.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
Keputusan pemerintah menempuh mekanisme perdata dalam kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia atau BLBI memantik kekhawatiran. Para pelaku penyimpangan dana BLBI, yang menurut audit Badan Pemeriksa Keuangan atau BPK pada 2000 berpotensi merugikan negara hingga Rp 138,4 triliun, akan lepas begitu saja dari jerat hukuman. Aparat penegak hukum pun diminta tak menyerah dan tetap mengusut kemungkinan adanya pidana dalam kasus tersebut.
Selang lima hari setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan pemberhentian penyidikan perkara kasus BLBI yang melibatkan Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Sjamsul Nursalim, Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Hak Tagih Negara Dana BLBI dibentuk dengan payung hukum Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2021.
Pemberhentian penyidikan oleh KPK dilakukan setelah Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan peninjauan kembali (PK) dari KPK pada 2020 terkait putusan MA yang membebaskan Syafruddin Arsyad Temenggung. Syafruddin yang pada 2004 menjabat Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) mengeluarkan surat pembebasan dari tuntutan hukum (release and discharge) dalam bentuk Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim. MA dalam putusannya menilai tak ada pelanggaran pidana yang dilakukan Syafruddin.
Berbekal putusan MA itu pula yang jadi dasar lain pemerintah membentuk satgas. Tugas utama dari satgas itu adalah memburu dan menyita aset-aset yang dijaminkan para debitor BLBI pada 1998 karena mereka tak kunjung melunasi utangnya. Jalur penyelesaian secara perdata pun ditempuh setelah jalur pidana kandas.
"Oleh karena itu, (utang perdatanya), ya, kita tagih. Mereka sudah belasan tahun berutang pada negara,” kata Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dalam acara Satu Meja The Forum bertajuk ”Memburu Duit BLBI” yang dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, Rabu (14/4/2021) malam.
Selain Mahfud MD, hadir pula sebagai pembicara anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Arsul Sani, Koordinator Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo, dan Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Yenti Garnasih.
Meski demikian, Mahfud menampik, upaya terbaru pemerintah itu sebagai bentuk perubahan paradigma penanganan kasus BLBI dari ranah pidana korupsi ke perdata.
Menurut dia, sejak awal kasus BLBI adalah persoalan perdata. Penerbitan SKL oleh BPPN saat itu diduga merupakan tindakan pidana. Namun, dalam perkembangannya, MA memutuskan tak ada pidana dalam penerbitan SKL.
Oleh karena itu, penyelesaian secara perdata dinilainya sudah sejalan dengan putusan MA.
Berdasarkan perhitungan terakhir dari Kementerian Keuangan, seluruh aset yang dijaminkan oleh debitor BLBI dan jadi target buruan pemerintah mencapai Rp 110.454.809.645.467. Aset tersebut, antara lain, berupa uang, saham, dan properti.
Meskipun menempuh mekanisme perdata, Mahfud mengatakan, tak tertutup kemungkinan nantinya ditemukan kasus pidana baru. Misalnya, apabila aset yang dijaminkan kepada negara palsu, debitor dapat dijerat pasal penipuan. ”Tetapi, bukan lagi karena SKL,” tambahnya.
Jalan terjal
Namun, penjelasan dari pemerintah tersebut belum bisa memuaskan banyak kalangan.
Menurut Arsul Sani, upaya pemulihan aset dengan jalur perdata akan terjal dan berliku. Salah satunya karena banyak aset telah beralih kepemilikan dan tak sedikit yang berada di luar negeri. Selain itu, Indonesia juga belum memiliki UU Perampasan Aset. Proses perdata pun berpotensi memakan waktu dan energi karena bisa timbul saling menggugat.
”Pakai jalur pidana saja kita kesandung-sandung, apalagi pakai perdata,” kata Arsul.
Arsul justru berharap, pasca-keputusan KPK memberhentikan penyidikan kasus BLBI dengan terdakwa Sjamsul dan Itjih, Kejaksaan Agung bisa menganalisis ulang ada tidaknya unsur pidana dalam kasus BLBI lainnya.
Terlebih putusan MA yang menyatakan bahwa kasus BLBI tidak ada unsur pidananya, hanya untuk terdakwa Syafruddin. Potensi penyelidikan dan penyidikan masih bisa dibuka apabila aparat penegak hukum, seperti KPK dan Kejaksaan Agung, jeli dalam melihat perkara tersebut.
Apalagi, dari hasil audit BPK pada 2000 ditemukan adanya penyimpangan, kelemahan sistem, serta kelalaian dalam mekanisme penyaluran dan penggunaan BLBI yang merugikan negara. Dari total dana BLBI yang dikucurkan Rp 144,5 triliun, BPK menemukan ada potensi kerugian negara Rp 138,4 triliun atau 95,7 persen.
”Silakan jalur perdata ditempuh untuk menyelamatkan aset negara, tetapi jangan sampai menghilangkan perspektif pidananya sama sekali,” katanya.
Komitmen rendah
Adnan Topan Husodo bahkan berpendapat, sejak awal penanganan kasus BLBI terhambat komplikasi dari penegakan hukum. Aparat penegak hukum dinilai tidak kuat komitmen dan integritasnya terhadap isu antikorupsi.
Dia bahkan menduga, keputusan penyelesaian perdata itu berkaitan dengan relasi dekat antara debitor BLBI dan elite pemerintahan. Adnan juga pesimistis dengan masa tugas satgas yang hanya 2,5 tahun, aset senilai Rp 110 triliun sudah bisa dipulihkan dan ditagih oleh pemerintah.
”Saya melihat satgas ini seperti upaya untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada negara. Padahal, upaya penegakan hukum yang dilakukan KPK selama ini tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting bagi pemerintah. Buktinya, ada skema revisi UU KPK yang justru melemahkan KPK. Termasuk dengan memberikan kewenangan pemberhentian penyidikan perkara korupsi yang akhirnya menghentikan penuntasan kasus korupsi BLBI,” ujar Adnan.
Sementara itu, Yenti Garnasih mengatakan, hasil audit BPK pada 2000 seharusnya menjadi dasar untuk penyelesaian kasus BLBI. Sebab, di audit BPK itu jelas disebutkan ada penyelewengan atau penyalahgunaan dana BLBI. Temuan BPK ini seharusnya jadi pijakan bagi aparat penegak hukum untuk menganalisis ulang potensi pelanggaran pidana dalam kasus tersebut.
”Aneh kalau Pak Menko (Polhukam) mengatakan bahwa kasus ini sejak awal perdata. Ini, kan, dulu dana talangan yang diberikan kepada bank yang gagal bayar karena ada rush (penarikan uang secara besar-besaran oleh masyarakat). BPK sudah jelas mengatakan itu ada penyelewengan, penyelewengan adalah tindak pidana korupsi,” kata Yenti.
Ia kembali menekankan, hasil audit BPK tersebut seharusnya menjadi pijakan agar pemerintah tak menyederhanakan persoalan BLBI menjadi urusan perdata semata.
Pemerintah dilihatnya terkesan ingin menggeneralisasi seluruh utang perdata BLBI sebagai perkara perdata. Satgas seharusnya juga menganalisis ulang perkara untuk melihat lebih jeli, mana yang masuk dalam ranah pidana dan mana yang masuk ranah perdata.
”Tidak sesederhana mengembalikan aset negara, tetapi benar-benar menggali substansi persoalannya,” tutur Yenti.