Pelayanan Publik Menjadi Tolok Ukur Keberhasilan Otonomi Khusus
Perbaikan pelayanan publik perlu menjadi tolok ukur melihat pemanfaatan dana otsus Papua. Sebab, sektor utama yang diamanatkan UU Otsus, yakni pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat, terkait dengan pelayanan publik.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Akuntabilitas penggunaan dana otonomi khusus, antara lain, tecermin dari kualitas pelayanan publik yang terlihat di wilayah Papua dan Papua Barat. Oleh karena itu, selain memperbaiki tata kelola pengelolaan dan pertanggungjawaban dana otsus Papua, hal lain yang perlu diperkuat adalah pengawasan kualitas pelayanan publik.
Di sisi lain, dalam revisi UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua, pemerintah berusaha membenahi mekanisme pencairan dana dengan membagi pencairannya dengan block grand dan specific grand. Pembagian ini dimaksudkan untuk mengontrol penggunaan dana itu agar benar-benar dimanfaatkan untuk program pembangunan pada tiga sektor yang diamanatkan UU, yakni pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat.
Dalam revisi UU Otsus, anggaran 2,25 persen dari dana alokasi umum (DAU) nasional itu dibagi menjadi dua bagian. Sebanyak 1 persen dicairkan sebagai block grand atau dikucurkan secara gelondongan kepada pemda. Sisanya, 1,25 persen, berupa specific grand atau dicairkan berbasis program dan pengajuan proposal yang menyasar pada tiga sektor itu. Khusus untuk specific grand, pengucuran dana akan dilakukan dengan persetujuan pemerintah.
Anggota Ombudsman RI, Robert Endi Jaweng, Senin (12/4/2021) di Jakarta, mengatakan, dari sudut pandang lembaganya, peningkatan pelayanan publik ialah tolok ukur penting untuk melihat sejauh mana triliunan dana otsus Papua itu dimanfaatkan. Sebab, tiga sektor utama yang diamanatkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua, yaitu pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat, semua berkaitan erat dengan pelayanan publik.
Demikian pula halnya dengan dua poin utama yang diusulkan untuk diubah dalam revisi UU Otsus Papua, yakni penambahan dana otsus Papua dan pemekaran wilayah yang merupakan sisi masukan (input). Namun, tujuan sebenarnya dari dua upaya itu ialah peningkatan kesejahteraan rakyat melalui pelayanan publik.
”Sisi input melalui penambahan anggaran lewat dana otsus Papua dan pemekaran wilayah itu semua harus diuji, yakni di mana negara yang diwakili oleh birokrasi hadir. Di mata masyarakat, negara hadir paling nyata melalui pelayanan publik,” ujarnya.
Oleh karena itu, untuk melihat sejauh mana dana otsus tersebut dimanfaatkan, salah satunya melalui penilaian kualitas pelayanan publik terhadap rakyat Papua. Ombudsman RI, lanjut Robert, sesuai dengan kewenangannya akan mengawasi pelayanan publik itu.
Di sisi lain, selain bergantung pada lembaga negara eksternal yang berperan sebagai pengawas ataupun penegak hukum untuk menindak dugaan kebocoran dana dan korupsi, konstruksi revisi UU Otsus Papua harus pula sejak awal mengatur mekanisme pengelolaan dan pertanggungjawaban dana otsus.
”Sayang sekali kalau revisi UU Otsus Papua ini hanya fokus pada sisi input-nya, yakni penambahan dana dan pemekaran wilayah. Sebab, kedua hal itu akan lebih banyak menyasar kepentingan elite dan birokrasi. Seharusnya yang juga menjadi perhatian ialah sejauh mana pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat benar-benar terlayani dengan baik,” tuturnya.
Oleh karena itu, menurut Robert, untuk memastikan pelayanan publik di tiga bidang tersebut berjalan dengan baik berbasis pemanfaatan dana otsus Papua, seyogianya pencairan dana otsus berbasis kinerja.
Artinya, jika pemerintah menilai pelayanan publik di ketiga bidang itu oleh pemerintah daerah meningkat, anggaran dapat diturunkan secara bertahap. Sebaliknya, jika ditemui pelayanan pemda tidak membaik, dana dapat dihentikan sementara sampai ada perbaikan kualitas layanan.
Sementara itu, revisi terbatas dalam draf RUU Otsus Papua yang diajukan pemerintah meliputi dua pasal, yakni Pasal 34 tentang dana otsus Papua yang naik dari 2 persen menjadi 2,25 persen dari dana alokasi umum (DAU) nasional serta Pasal 76 tentang pemekaran wilayah. Pemerintah merencanakan pemekaran wilayah Papua, dari kini dua provinsi menjadi lima provinsi.
Mekanisme pencairan diperbaiki
Peneliti Tim Pemantau Otsus Papua DPR, Riris Katharina, mengatakan, berdasarkan hasil kajiannya tahun 2009-2017, persoalan transfer dana otsus Papua memang kompleks. Pemerintah bukan tidak menyadari adanya lubang dalam mekanisme pelaporan dan pertanggungjawaban dana otsus.
Buktinya, tahun 2018, Kementerian Keuangan, setelah menyadari adanya tata kelola pencairan dana otsus yang kurang baik, lalu mulai mengubah mekanisme transfer dana ke daerah. Salah satu upayanya ketika itu dengan mencairkan dana otsus melalui tiga tahap.
”Dulu pencairannya diubah berdasarkan waktu, yakni Maret, lalu Juni, dan September. Dengan aturan baru, pemprov sudah harus menyampaikan juga laporan audit di tiap kabupaten/kota, dan berjenjang sampai ke provinsi, lalu dilaporkan kepada Kemenkeu. Inti audit untuk mengetahui perkembangan penggunaan dana setiap tahapan,” kata Riris.
Namun, pencairan bertahap ini juga memiliki celah karena untuk pencairan berikutnya harus menunggu audit selesai dilakukan. Sementara audit yang selama ini dilakukan dengan cara manual, yakni mendatangi lokasi pembangunan, rupanya memakan waktu lama.
Jika pencairan tahap pertama pada bulan Maret, maka sebelum Juni yang merupakan waktu pencairan tahap kedua dilakukan, audit itu harus selesai. Problemnya, dengan mekanisme audit manual yang dilakukan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), hasil audit tidak bisa selesai berbarengan dari 42 kabupaten/kota di Papua dan Papua Barat.
Demikian pula untuk audit bulan Juni, yang harus selesai sebelum September untuk pencairan tahap ketiga. Akibatnya, keterlambatan pencairan itu terakumulasi dan memicu penumpukan anggaran di tahap ketiga. Akibatnya, ada sisa anggaran yang tidak terserap pada akhir tahun itu.
Sisa dana itu tidak dikembalikan ke pusat, tetapi pada praktiknya dimasukkan oleh pemda sebagai penerimaan dalam kas daerah. ”Karena masuk sebagai penerimaan daerah, menjadi sulit diidentifikasi dana otsus itu apakah betul dipakai untuk pembangunan tiga sektor utama, yakni pendidikan, kesehatan, dan ekonomi rakyat. Jangan-jangan dana otsus itu juga terpakai untuk kegiatan lain,” ucapnya.
Pembagian pencairan dana otsus menjadi block grand dan specific grand, sebagaimana diusulkan dalam revisi UU Otsus Papua, menurut Riris, dapat pula menjadi solusi. Namun, upaya itu tetap harus disertai pengawasan berjenjang, dari provinsi hingga Kemendagri. Di sisi lain, mekanisme audit penggunaan dana harus mulai menggunakan teknologi sehingga tidak lagi bergantung pada mekanisme manual yang berpotensi memicu keterlambatan pencairan dana.
Serap aspirasi
Ketua Panitia Khusus RUU Otsus Papua DPR Komarudin Watubun mengatakan, mekanisme pencairan dana otsus yang dibagi menjadi block grand dan specific grand yang berbasis program diharapkan bisa mengurangi potensi kebocoran dana. Sebab, dengan pengajuan proposal program pembangunan, pemerintah dapat mengontrol pembangunan apa saja yang akan dilakukan oleh daerah dengan dana otsus.
”Kalau uang diberikan secara gelondongan semua, nanti tidak ada mekanisme yang jelas dan akhirnya saling lempar tanggung jawab,” katanya.
Meski demikian, terkait draf RUU Otsus Papua itu, pansus akan menyerap aspirasi sebanyak-banyaknya dari berbagai pihak terkait. Komarudin mengatakan, sekalipun draf RUU itu harus tuntas tahun ini, pansus akan berupaya menyerap masukan untuk membuat RUU Otsus Papua benar-benar dapat diterima semua pihak, terutama perwakilan rakyat Papua.
”Masukan berbagai pihak akan menjadi bahan bagi kami untuk menyusun daftar inventarisasi masalah fraksi-fraksi dan akan dibahas bersama pemerintah,” ucapnya.