Pembahasan RUU Otonomi Khusus Papua Dikebut
Pembahasan RUU Otonomi Khusus Papua akan dikebut DPR. Pemerintah mengusulkan perubahan dalam UU Otsus yang ada saat ini. Perubahan itu terkait dengan besaran dana otsus dan pemekaran wilayah Papua.
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah keterbatasan alokasi waktu sidang, Dewan Perwakilan Rakyat akan mengebut pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Pembahasan RUU tersebut diharapkan tak hanya fokus pada penambahan anggaran otonomi khusus dan pemekaran wilayah Papua, tetapi juga memperhatikan kesejahteraan rakyat Papua dan perbaikan pelayanan publik.
Dalam rapat pemilihan dan penetapan pimpinan Panitia Khusus (Pansus) Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) Papua, di Kompleks Senayan, Jakarta, Selasa (30/3/2021), Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin menetapkan komposisi pimpinan pansus.
Pimpinan Pansus RUU Otsus Papua terdiri dari Komarudin Watubun sebagai ketua (Fraksi PDI-P), Agung Widyantoro sebagai wakil (Fraksi Golkar), Yan Parmenas sebagai wakil (Fraksi Gerindra), dan Marthen Douw sebagai wakil (Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa). Adapun, total anggota pansus berjumlah 30 orang.
Baca juga: Keistimewaan Papua Bisa Hilang
Komarudin Watubun mengatakan, pansus harus bekerja secara cepat karena masa pembahasan RUU Otsus Papua sangat terbatas. Sebagaimana diketahui, DPR akan memasuki masa reses pada 10 April hingga 5 Mei 2021.
Hingga akhir tahun, masa sidang DPR praktis hanya sekitar tujuh bulan. Di tengah keterbatasan waktu, RUU Otsus Papua harus segera disahkan sebelum akhir tahun ini. Sebab, perpanjangan anggaran otsus harus memiliki payung hukum.
”Kendala bagi kami sekarang ini, kan, kami dikejar waktu, sangat mepet. Untuk waktu mepet begini, kami bahas sebuah undang-undang yang ideal itu, kan, ya, bagaimana, ya. Apalagi, soal Papua ini, kan, sangat sensitif juga. Tetapi, kami harus kerjakan dengan maksimal dan hati-hati. Jangan sampai 20 tahun nanti berlalu, barang (RUU Otsus Papua) ini enggak ada ubah-ubahnya bagi kesejahteraan masyarakat Papua,” ujar Komarudin.
Setelah terpilih sebagai ketua pansus RUU Otsus Papua, Selasa siang tadi, Komarudin langsung menggelar rapat pimpinan untuk menyiapkan rancangan jadwal kegiatan. Rancangan jadwal kegiatan itu akan dibawa ke rapat internal pada Rabu (31/3) besok.
Komarudin menjelaskan, sebelum memasuki masa reses pada 10 April nanti, pansus harus sudah memanggil perwakilan pemerintah meliputi Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Keuangan (Menkeu), serta Menteri Hukum dan HAM (Menkumham). Mereka diundang untuk menyampaikan pandangan pemerintah terhadap RUU Otsus Papua.
Setelah itu, agenda dilanjutkan dengan pandangan fraksi-fraksi terhadap penjelasan pemerintah. Lalu, diakhiri dengan pengesahan jadwal acara pansus dan mekanisme pembahasan.
Sebelum memasuki masa reses pada 10 April nanti, pansus harus sudah memanggil perwakilan pemerintah meliputi Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Menteri Keuangan (Menkeu), serta Menteri Hukum dan HAM (Menkumham)
Kunjungan ke Papua
Seusai masa reses, Komarudin menyampaikan, pansus akan mulai kembali pembahasan RUU Otsus Papua dengan rapat dengar pendapat (RDP) dan rapat dengar pendapat umum (RDPU). Dalam RDPU, pansus akan mengundang sejumlah akademisi yang fokus meneliti persoalan di Papua, seperti dari Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
”Mereka pasti akan menjelaskan lebih detail dari aspek ilmiahnya, bisa dipertanggungjawabkan. Supaya itu menjadi gambaran, background untuk tim pansus,” ucap Komarudin.
Setelah mendapatkan masukan dari para akademisi tersebut, pansus juga akan melakukan kunjungan kerja ke Papua. Untuk daerah-daerah yang akan dikunjungi, itu akan dibahas lebih lanjut di dalam rapat nanti.
Komarudin menyebut, kunjungan kerja dilakukan secara langsung agar pansus dapat menerima masukan langsung dari para tokoh masyarakat adat di Papua, para kepala daerah, dan para akademisi di universitas ternama di Papua, seperti Universitas Cenderawasih, Jayapura.
”Kalau mereka, kami langsung datangi ke rumah. Jangan kita panggil-panggil (ke Jakarta), kasian orang wilayah (Papua), habis tenaga dan waktu untuk pulang-pergi. Lagi pula, ini kita bicara dengan orang adat, harus secara langsung dan dari hati. Jadi kita bekerja, jangan sampai meninggalkan adat istiadat ketimuran,” katanya.
Dalam RUU Otsus Papua, pemerintah mengajukan dua pasal untuk dibahas. Pertama, pasal tentang besaran dana otsus. Kedua, pasal tentang pemekaran wilayah Papua
Setelah kunjungan ke Papua dilakukan, fraksi-fraksi akan menyusun daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU Otsus Papua. Pansus pun akan kembali menggelar rapat kerja dengan Mendagri, Menkeu, dan Menkumham, dengan agenda pembahasan DIM RUU dan pembentukan panitia kerja.
”Saya itu maunya (RUU Otsus Papua) cepat selesai, 1-2 bulan sudah harus selesai. Tetapi, karena ini lembaga politik, kita juga harus menghargai kesibukan anggota, dan ada sembilan (fraksi) kepala, bukan satu kepala saja. Saya hanya berharap, teman-teman semua partai politik di DPR dapat melihat masalah Papua ini lebih serius sehingga penanganannya juga harus lebih serius,” tutur Komarudin.
Baca juga: Perkuat Representasi Orang Papua
Merevisi dua pasal
Dalam RUU Otsus Papua, pemerintah mengajukan dua pasal untuk dibahas. Pertama, pasal tentang besaran dana otsus. Kedua, pasal tentang pemekaran wilayah Papua.
Terkait besaran dana, dana otsus untuk Papua dan Papua Barat yang diusulkan pemerintah dalam naik dari 2 persen menjadi 2,25 persen dari dana alokasi umum (DAU).
Komaurdin menilai pemerintah tidak cukup hanya dengan menaikkan dana otsus, tetapi juga harus perketat dengan regulasi, evaluasi, dan pengawasannya. Hal itu penting agar tidak mengulangi kesalahan yang terjadi selama ini.
”Banyak atau sedikit dana otsus bergantung manajemen pengelolaannya. DAU selama 20 tahun ini belum dirasakan masyarakat dengan baik. Penyebabnya, tidak ada regulasi yang baik mengatur secara rinci dan tidak ada evaluasi yang benar,” tutur Komarudin.
Sedangkan, terkait pemekaran wilayah Papua, pemerintah merasa perlu melakukan revisi agar ada ruang bagi pemerintah memekarkan wilayah berdasarkan atas usulan dari rakyat. Menurut Komarudin, usulan ini masuk akal karena selama hampir 10 tahun lalu rakyat Papua mengusulkan pemekaran Papua Selatan dan tak kunjung terjadi karena mentok di Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan Majelis Rakyat Papua (MRP).
“Artinya, (pemekaran) ini bukan berarti pemerintah ikut campur. Tetapi, (Papua) ini, kan, wilayah Republik Indonesia, itu juga pasti jadi tugas pemerintah. Tetapi, tidak bisa karena regulasinya membatasi sekarang. Pemerintah mengusulkan agar ada ruang regulasi supaya kewenangan pemerintah pusat juga bisa melakukan (pemekaran) itu atas usul rakyat,” tutur Komarudin.
Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin mengharapkan tim pansus dapat segera bekerja dan menyelesaikan tugas sesuai amanat yang diberikan dari setiap fraksinya. Dengan begitu, ke depan, tim dapat memberikan sumbangsih terhadap berbagai penyelesaian yang masuk dalam DIM.
"Poinnya adalah apakah dana otsus dihentikan atau dilanjutkan. Selain itu, perdebatan mengenai pemekaran provinsi, kabupaten dan kota, pembangunan, serta peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat Papua dan dapat segera selesai pada tahun 2021,” ujarnya.
Kesejahteraan rakyat Papua
Sementara itu, saat dihubungi secara terpisah, anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, mengatakan, dua poin utama di dalam draf RUU Otsus Papua yang diajukan pemerintah ialah penambahan dana Otsus Papua dan pemekaran wilayah. Ujung yang diharapkan dari kedua hal itu ialah kesejahteraan dan akses pada pelayanan publik.
Dua poin utama di dalam draf RUU Otsus Papua yang diajukan pemerintah ialah penambahan dana Otsus Papua dan pemekaran wilayah. Ujung yang diharapkan dari kedua hal itu ialah kesejahteraan dan akses pada pelayanan publik
Oleh karena itu, agar dua tujuan itu dapat tercapai, perlu dibuat desain detail di dalam RUU Otsus Papua. Desain yang dibuat ialah tentang bagaimana transfer dana itu dilakukan, serta upaya apa yang bisa dirancang untuk memastikan pemekaran wilayah itu dapat memperbaiki pelayanan publik.
”Tidak cukup dari sisi input saja, misalnya dengan mengirim dana otsus yang lebih besar ke Papua, tetapi tidak ada upaya untuk memastikan akuntabilitas penggunaan dana itu. Selain itu, perlu juga diukur kemanfaatan dana itu bagi tiga sektor utama yang disasar oleh kebijakan otsus Papua, yaitu pendidikan, kesehatan, dan ekonomi,” kata Robert.
Dari aspek pelayanan publik, agar dana otsus yang besar itu dapat lebih optimal digunakan untuk kepentingan rakyat, sebaiknya pemerintah dan DPR mempertimbangkan transfer dana dilakukan dengan basis kinerja. Artinya, sepanjang kinerja pemerintah daerah (pemda) melayani publik telah dilakukan dengan baik, maka transfer dana itu dapat dilakukan. Namun, jika pelayanan publik di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi sebagaimana fokus otsus tidak dilakukan dengan baik, transfer dana itu sebaiknya tidak dilakukan.
”Rakyat kan sederhana melihat otsus ini, sejauh mana mereka merasakan kesejahteraan, dan akses pada keadilan. Keadilan, menurut saya, salah satunya dapat dicapai dengan akses pada pelayanan publik yang baik. Pemerintah dan DPR harus memikirkan aspek ini sehingga pembahasan RUU Otsus Papua tidak hanya tentang transfer dana dan pemekaran wilayah, tetapi bagaimana kebijakan itu membawa kesejahteraan bagi rakyat Papua,” ujar Robert.
Pemerintah daerah di satu sisi harus melakukan perbaikan dalam penggunaan dana otsus itu, sehingga sesuai dengan tata laksana pemerintahan yang baik. Ombudsman RI akan mengawasi dengan seksama penggunaan dana itu, sebab itu bagian dari pengawalan dan pengawasan pelayanan publik yang dilakukan oleh Ombudsman RI.
Lebih jauh, Robert mengingatkan, maladministrasi atau penyelahgunaan kewenangan dalam tata kelola pemerintahan merupakan pintu masuk bagi terjadinya korupsi. Pemda Papua dan Papua Barat harus mencermati hal ini sehingga tidak terjadi korupsi anggaran yang merugikan tujuan dari sasaran Otsus Papua.
Kapasitas dan integritas menjadi syarat utama dalam pengelolaan dana otsus. Demikian pula dalam pemekaran wilayah, menurut Robert, harus pula menimbang kapasitas dan integritas birokrasi, serta sumber daya manusia di wilayah yang akan dimekarkan. Pemerintah dan DPR pun diharapkan memastikan pemekaran wilayah itu mampu meningkatkan pelayanan publik di Papua dan Papua Barat.
Ketua Pansus Papua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Filep Wamafma menambahkan, draf RUU Otsus Papua yang ada saat ini belum melibatkan secara komprehensif suara dari masyarakat Papua. Upaya penyerapan aspirasi dari bawah belum dilakukan secara maksimal oleh pemerintah. Oleh karena itu, sebaiknya di dalam pembahasan, hal itu juga harus menjadi catatan penting.
”Elemen masyarakat Papua harus dilibatkan di dalam pembahasan, bahkan seharusnya sejak dari penyusunan draf RUU Otsus Papua itu oleh pemerintah. Jangan sampai isi draf RUU Otsus Papua itu malah mengabaikan suara dari Majelis Rakyat Papua dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua,” katanya.
Baca juga: DPD Minta Evaluasi Otonomi Khusus Papua
Filep mengingatkan, pembahasan RUU Otsus Papua itu juga harus melibatkan DPD. Sebab, sebagai perwakilan daerah, DPD berkepentingan dalam pembahasan RUU Otsus Papua tersebut.