Vonis terhadap Nurhadi Hanya Separuh dari Tuntutan Jaksa
Dari 12 tahun tuntutan jaksa, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis 6 tahun atau separuhnya terhadap Nurhadi, bekas Sekretaris MA. Ia terbukti menerima suap dan gratifikasi.
JAKARTA, KOMPAS — Bekas Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi dan menantunya, Rezky Herbiyono, divonis masing-masing enam tahun penjara. Putusan itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi. Atas putusan tersebut, jaksa menyatakan banding.
Selain menjatuhkan hukuman pidana penjara, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta juga menjatuhkan pidana denda Rp 500 juta subsider tiga bulan kurungan kepada Nurhadi dan menantunya.
Sebelumnya, jaksa penuntut umum KPK menuntut Nurhadi dengan pidana 12 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider enam bulan penjara. Jaksa menilai Nurhadi bersama menantunya terbukti melakukan tindak pidana korupsi suap dan gratifikasi selama 2014-2016.
Adapun jaksa menuntut menantu Nurhadi, Rezky Herbiyono, dengan pidana penjara 11 tahun dan denda Rp 1 miliar, subsider enam bulan penjara. Kedua terdakwa juga dituntut membayar pidana uang pengganti senilai kerugian negara, yaitu Rp 83,9 miliar subsider dua tahun penjara.
Putusan itu jauh lebih rendah dibandingkan dengan tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi. Atas putusan tersebut, jaksa menyatakan banding.
Vonis dibacakan oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (10/3/2021). Sidang dipimpin Ketua Majelis Hakim Saifudin Zuhri serta hakim anggota Duta Baskara dan Sukartono. Adapun terdakwa, yaitu Nurhadi dan Rezky Herbiyono, didampingi penasihat hukum mengikuti sidang dari Gedung KPK, Jakarta, secara telekonferensi.
”Mengadili, menyatakan terdakwa Nurhadi dan Rezky Herbiyono telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama, beberapa kali, secara terus-menerus sebagai perbuatan yang dilanjutkan,” ujar hakim Saifudin Zuhri.
Baca juga : Nurhadi dan Menantunya Didakwa Terima Suap dan Gratifikasi Rp 83 Miliar
Majelis hakim mengatakan, Nurhadi dan Rezky terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi, yaitu suap dan gratifikasi, dalam kurun waktu 2014-2016. Sebagai pejabat negara, Nurhadi terbukti telah menerima suap atau gratifikasi yang berakibat melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya.
Pemberian suap atau hadiah tersebut dilakukan karena berhubungan dengan kewenangannya saat menjabat sekretaris MA. Tindak pidana tersebut dilakukan bersama-sama dengan menantunya.
Majelis hakim berpendapat kedua terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal berlapis, yaitu Pasal 11 dan 12 B Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1, Pasal 64 Ayat (1), dan Pasal 65 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Hal-hal yang memberatkan terdakwa di antaranya tak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi, merusak citra MA dan badan peradilan di bawahnya, serta berbelit-belit selama persidangan.
Adapun hal yang meringankan, terdakwa belum pernah dihukum dan memiliki tanggungan. Khusus untuk terdakwa Nurhadi, majelis juga berpendapat bahwa dia telah berjasa dalam pengembangan MA.
Selisih uang yang diterima
Dalam sidang tuntutan, jaksa penuntut umum meyakini Nurhadi dan menantunya, Rezky, telah menerima suap dan gratifikasi Rp 83,9 miliar saat Nurhadi masih menjabat Sekretaris MA. Suap dan gratifikasi itu disebutkan untuk membantu pengurusan perkara di pengadilan.
Rinciannya, pada 2014 hingga 2016, Nurhadi dan Rezky menerima uang suap sejumlah Rp 45,7 miliar dari Direktur Utama PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto.
Namun, dalam perkembangannya di persidangan, uang yang diterima Nurhadi dan Rezky tersebut dikoreksi oleh hakim menjadi Rp 35,7 miliar. Sebab, setelah mengetahui bahwa peninjauan kembali PT MIT ditolak oleh MA pada 18 Juni 2015, Hiendra kemudian mengirimkan somasi agar uangnya dikembalikan.
Namun, ternyata uang telah dipakai Rezky untuk membeli lahan sawit di Padang Lawas, Sumut. Alih-alih mengembalikan uang, Rezky kemudian menyerahkan total 21 sertifikat kebun sawit kepada Hiendra. Oleh Hiendra, uang kemudian diagunkan untuk utang Rp 10 miliar.
Dengan fakta persidangan tersebut, majelis hakim kemudian mengoreksi uang suap dari Hiendra kepada Nurhadi dan Rezky dari Rp 45,7 miliar menjadi senilai Rp 35,7 miliar.
Uang diduga diberikan untuk membantu pengurusan perkara antara PT MIT dan PT Kawasan Berikat Nusantara (KBN) terkait gugatan perjanjian sewa depo kontainer milik PT KBN. Uang tersebut juga diberikan untuk memuluskan gugatan perdata antara Hiendra dan Azhar Umar.
Baca juga : Hiendra Soenjoto Didakwa Suap Eks Sekretaris MA Nurhadi Rp 45,7 Miliar
Selain itu, pada 2014 hingga 2017, Nurhadi dan Rezky disebut menerima gratifikasi Rp 37,287 miliar dari pihak yang memiliki perkara di lingkungan pengadilan tingkat pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Di antaranya dari Handoko Sutjitro, Renny Susetyo Wardani, Donny Gunawan, Freddy Setiawan, dan Riadi Waluyo.
Majelis hakim juga mengoreksi besaran gratifikasi yang diterima Nurhadi dan Rezky dalam perkara di lingkungan tingkat pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali tersebut. Menurut majelis hakim, uang yang diterima keduanya hanya senilai Rp 13,7 miliar. Uang berasal dari Handoko Sutjitro, Renny Susetyo Wardani, Donny Gunawan, dan Riadi Waluyo. Adapun uang dari Freddy Setiawan menurut majelis hakim tidak pernah diterima oleh kedua terdakwa.
Majelis hakim juga tidak sependapat dengan penuntut umum terhadap tuntutan pidana uang pengganti senilai Rp 83 miliar. Majelis berpendapat, fakta persidangan mengungkap bahwa uang yang diterima Rezky adalah uang pribadi dari pemberi suap dan gratifikasi. Uang tersebut dianggap tidak menimbulkan kerugian negara. Oleh karena itu, majelis hakim tidak menjatuhkan pidana uang pengganti sebagaimana tuntutan jaksa.
”Dalam perkara ini tidak ada kerugian negara sehingga majelis hakim berpendirian kepada para terdakwa tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebagaimana penuntut umum dalam tuntutan pidananya,” kata hakim Sukartono.
Jaksa ajukan banding
Terkait dengan putusan tersebut, terdakwa Nurhadi dan Rezky Herbiyono menyatakan pikir-pikir. Adapun jaksa penuntut umum KPK langsung menyatakan banding.
Jaksa Wawan Yunarwanto mengaku kecewa terhadap putusan majelis hakim. Putusan pidana yang dijatuhkan oleh majelis hakim kurang dari dua pertiga tuntutan jaksa. Selain itu, nominal uang suap dan gratifikasi yang dituntut jaksa juga banyak dikoreksi oleh hakim.
Dalam dakwaan pertama, jaksa menyatakan uang suap dan gratifikasi yang diterima terdakwa senilai Rp 45 miliar. Sementara itu, yang terbukti di persidangan hanya Rp 35 miliar. Dalam dakwaan kedua, total suap dan gratifikasi yang diterima terdakwa juga tidak semuanya terbukti. Dari total Rp 35,7 miliar, yang terbukti hanya Rp 13,7 miliar.
”Terkait dengan putusan ini, pasal yang dijatuhkan majelis hakim sudah sama dengan tuntutan jaksa. Namun, ada hal-hal yang berbeda, terutama mengenai nilai yang diterima oleh terdakwa. Di situ ada pengurangan. Hakim juga tidak mengabulkan pidana uang pengganti. Itu yang menjadi alasan kami langsung banding,” kata Wawan.