Pemenuhan Prolegnas Dikejar Waktu
DPR dan pemerintah dikejar waktu menuntaskan kerja legislasi 2021 karena rapat kerja Prolegnas Prioritas 2021 harus diulang untuk mencabut RUU Pemilu. Meski dicabut, RUU Pemilu masih masuk daftar tunggu.

JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah kini dikejar waktu menuntaskan kerja-kerja legislasi 2021 lantaran rapat kerja Program Legislasi Nasional Prioritas 2021 harus diulang untuk mencabut Rancangan Undang-Undang Pemilu. Praktis hanya tersisa sembilan bulan, atau maksimal empat kali masa sidang lagi, untuk menuntaskan 33 RUU yang akan disepakati.
Badan Legislasi DPR serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia kembali menggelar rapat kerja Prolegnas Prioritas 2021, Selasa (9/3/2021) di Jakarta, untuk mencabut RUU Pemilu dari daftar prolegnas prioritas tahunan. RUU itu digantikan dengan revisi UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang diusulkan pemerintah. Sekalipun RUU Pemilu telah ditarik dari daftar prolegnas prioritas tahunan, revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 itu tetap masuk daftar tunggu dalam Prolegnas Prioritas 2020-2024.
Dengan penggantian RUU Pemilu dengan RUU KUP, daftar regulasi yang masuk Prolegnas Prioritas 2021 masih berjumlah 33 RUU, sebagaimana yang juga telah disepakati sebelumnya dalam rapat kerja dengan pemerintah, November 2020. Namun, ada sedikit perubahan inisiatif pengusulan dari 33 RUU tersebut. Sebelumnya, RUU Larangan Minuman Beralkohol merupakan usulan perorangan anggota DPR, kini RUU itu diambil alih menjadi usulan Baleg DPR.
Terkait dengan penarikan RUU Pemilu dari daftar prolegnas prioritas tahunan, mayoritas fraksi di Baleg DPR dalam pandangan mini fraksi tidak keberatan dengan hal itu. Hanya Fraksi Demokrat yang menginginkan agar pembahasan RUU Pemilu diteruskan. Adapun Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang sebelumnya menginginkan RUU Pemilu diteruskan, kini menyatakan menghormati putusan pimpinan Komisi II DPR yang menarik RUU Pemilu dari daftar prolegnas prioritas tahunan.
Baca juga : Tiga RUU Didorong Keluar dari Prolegnas Prioritas
Beberapa fraksi juga mengemukakan catatan terhadap sejumlah RUU. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), misalnya, keberatan dengan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan RUU Larangan Minuman Beralkohol. Fraksi Partai Golkar keberatan dengan RUU PRT, RUU Larangan Minuman Beralkohol, dan memberi catatan terhadap RUU Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) agar benar-benar membahas kelembagaan BPIP saja, bukan soal ideologi.
Kami mengapresiasi pendapat dari fraksi-fraksi. Kalau boleh, ini bisa kita sepakati agar bisa dimulai pembahasan UU. Saya juga membaca dan menyimak pernyataan Ketua DPR yang meminta agar produktivitas (legislasi) dapat ditingkatkan.
Fraksi PKS, Demokrat, dan Partai Amanat Nasional (PAN) juga memberi catatan atas RUU Ibu Kota Negara, yakni agar pemindahan ibu kota ditunda, atau benar-benar mempertimbangkan kondisi keuangan negara yang terbatas di masa pandemi Covid-19.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly berharap, dengan telah disepakatinya 33 RUU dalam Prolegnas Prioritas 2021, hal itu dapat segera disahkan sehingga kerja-kerja legislasi dapat segera dilakukan. ”Kami mengapresiasi pendapat dari fraksi-fraksi. Kalau boleh, ini bisa kita sepakati agar bisa dimulai pembahasan UU. Saya juga membaca dan menyimak pernyataan Ketua DPR yang meminta agar produktivitas (legislasi) dapat ditingkatkan,” katanya.
Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, dalam kesempatan paripurna terdekat, Prolegnas Prioritas 2021 akan disahkan sehingga pembahasan UU yang sempat terhenti dapat dilakukan.
Praktis, dengan belum disahkannya Prolegnas Prioritas 2021, sejumlah RUU yang menjadi konsen dan kebutuhan hukum publik tidak dapat dibahas. Idealnya, prolegnas prioritas tahunan itu disahkan pada akhir tahun sebelumnya sehingga ada cukup waktu guna membahas RUU prioritas pada tahun berikutnya. Namun, pada kenyataannya, rapat kerja dengan pemerintah harus diulang karena ada tarik-menarik kepentingan terkait dengan sejumlah RUU, termasuk RUU Pemilu, sehingga pengesahan prolegnas belum juga dapat dilakukan hingga Maret ini.

Komisi I DPR menggelar rapat bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (25/2/2020), dengan agenda membahas RUU tentang Perlindungan Data Pribadi. RUU Perlindungan Data Pribadi masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2020. RUU ini ditujukan untuk menjamin hak warga negara atas perlindungan pribadi dan menumbuhkan kesadaran masyarakat serta menjamin pengakuan dan kehormatan atas pentingnya perlindungan data pribadi.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengatakan, 33 RUU yang masuk dalam prolegnas prioritas tahunan itu kecil kemungkinan semuanya dapat dituntaskan dengan sisa waktu yang tersedia. Sebab, saat ini tersisa hanya sembilan bulan atau sekitar empat kali masa sidang lagi pada tahun ini.
”Biasanya DPR kesulitan untuk menyelesaikan satu RUU dalam tiga kali masa sidang. Oleh karena itu, untuk menyelesaikan seperempat saja dari target 33 RUU, itu sudah berat sekali beban DPR. Harapan agar DPR lebih produktif pun tampaknya tidak akan terpenuhi dan hasilnya akan sama saja dengan legislasi 2020. Apalagi, ini ada persoalan pandemi yang memberi keterbatasan dalam waktu pembahasan dan rapat,” katanya.
Lucius menambahkan, keterlambatan pengesahan prolegnas prioritas tahunan menjadi pemicu potensi buruknya kinerja legislasi DPR 2021. Seharusnya, terkait dengan sejumlah RUU yang masih problematik, setiap fraksi tidak mementingkan ego sehingga tarik-menarik kepentingan itu tidak sampai menyandera pembahasan RUU lain yang penting dan mendesak.
Penyelesaian target legislasi, menurut Lucius, merupakan salah satu indikator melihat kinerja dan produktivitas DPR. Sebab, dari pembahasan legislasi itu dapat tecermin kebutuhan hukum bangsa yang dapat dipenuhi oleh DPR dan pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Sayang, karena pengesahan Prolegnas Prioritas 2021 terlambat dilakukan, satu masa sidang terbuang percuma.
Masuk daftar tunggu
Sementara itu, sekalipun telah ditarik dari prolegnas prioritas tahunan, potensi untuk merevisi UU Pemilu masih terbuka karena RUU tersebut masih masuk daftar tunggu di dalam Prolegnas Prioritas 2020-2024. Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Nasdem Willy Aditya mengatakan, RUU Pemilu tidak ditarik dari daftar tunggu. Oleh karena itu, sewaktu-waktu jika diperlukan dan disetujui dalam evaluasi prolegnas, bisa saja RUU Pemilu dijadikan prioritas tahunan. Hanya saja, RUU itu tidak lagi menjadi prioritas tahun 2021.
”Kemungkinan untuk melakukan revisi UU Pemilu tetap ada. Tinggal siapa nanti yang akan mengusulkan dan bagaimana materi muatannya. Kalau mau lebih jelas, tentu Komisi II sendiri yang akan menjadi pengusul sebagai kelanjutan dari usulan mereka sebelumnya,” kata Willy.

Para pakar dan akademisi di bidang hukum dan teknologi informasi, (dari kiri ke kanan) Agus Sudibyo, Edmon Makarim, Sinta Dewi Rosadi, Nonot Harsono, dan Sih Yuliana Wahyuningtyas, menjadi pembicara dalam rapat dengar pendapat umum bersama Komisi I DPR untuk membahas RUU Pelindungan Data Pribadi di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (1/7/2020). Hal yang dibahas dalam rapat tersebut di antaranya prinsip dan konsep perlindungan data pribadi, politik hukum perlindungan data pribadi, membangun kepercayaan pengguna teknologi, serta prinsip perlindungan data pribadi dalam perspektif internasional. RUU PDP merupakan RUU inisiatif pemerintah dan masuk dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2020.
Kemungkinan untuk melakukan revisi UU Pemilu tetap ada. Tinggal siapa nanti yang akan mengusulkan dan bagaimana materi muatannya. Kalau mau lebih jelas, tentu Komisi II sendiri yang akan menjadi pengusul sebagai kelanjutan dari usulan mereka sebelumnya.
Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia Aditya Perdana mengatakan, sekalipun masih tercantum dalam prolegnas jangka panjang, tetap tidak ada kepastian kapan revisi UU Pemilu dapat dilakukan. Saat ini, dengan telah ditariknya RUU Pemilu dari prioritas tahunan, tugas Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu kian berat. KPU kini harus membuat rancangan regulasi yang detail dan sistematis berbasis kajian mendalam serta berbagai simulasi untuk mengantisipasi berbagai kendala yang bakal muncul ketika pemilu presiden, pemilu legislatif, dan pemilu kepala daerah diselenggarakan pada tahun yang sama, 2024.
Baca juga : RUU Prioritas pada Prolegnas 2021 Lanjutkan Sisa Usulan Tahun Ini
”Kajian itu harus dibuat secara detail, dan kemungkinannya ialah didorong untuk masuk ke peraturan KPU (PKPU). Oleh karena itu, tentu KPU harus berkonsultasi dulu dengan DPR dan pemerintah soal hal ini. Di sisi lain, ketika membuat kajian, KPU juga idealnya melibatkan kalangan masyarakat sipil dan media serta pemerhati pemilu,” kata Aditya.
Sebelumnya, anggota KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, mengatakan, tidak semua pengaturan tahapan pemilu dan pilkada serentak nasional 2024 dapat dilakukan dengan pembuatan PKPU. KPU sedang melakukan kajian mendalam tentang tahapan apa saja yang dapat diatur dengan PKPU dan kegiatan mana yang tetap memerlukan revisi terbatas terhadap UU Pemilu atau pembuatan peraturan pemerintah pengganti UU (perppu).
”Kami masih akan mematangkan poin-poin apa saja yang memerlukan dukungan regulasi yang kuat dari pemerintah maupun DPR. Mulai Senin ini, kami meminta masukan dari semua ketua KPU di Indonesia untuk mendiskusikan soal potensi tahapan-tahapan apa saja yang bisa disederhanakan dan dimodifikasi. Kami juga secara terperinci akan melihat detail-detail tahapan mana saja di dalam pasal dan ayat mana di dalam UU yang memerlukan dukungan regulasi, apakah itu melalui PKPU, revisi terbatas UU, atau perppu,” paparnya.

Pengendara melintasi mural Komisi Pemilihan Umum untuk mengampanyekan antigolput dalam pemilu di Jalan KH Hasyim Ashari, Tangerang, Banten, Minggu (7/6/2020). Sejumlah kalangan menilai puluhan juta suara pemilih berpotensi hangus apabila RUU Pemilu disahkan terkait aturan ambang batas parlemen. Pada Pemilu 2019, lebih dari 13 juta suara sah rakyat terbuang karena adanya aturan ambang batas parlemen sebesar 4 persen. Jumlah tersebut akan bertambah jika RUU Pemilu disahkan sebab ambang batas parlemen akan dinaikkan menjadi 7 persen.