Menakar Kebebasan Berpendapat di Tengah Pasal UU ITE
Surat edaran Kapolri terkait UU ITE dinilai mampu menyelesaikan sebagian permasalahan yang muncul akibat penggunaan pasal karet di dalam UU ITE. Namun, surat itu belum mampu menyelesaikan persoalan mendasar .
Internet telah menjadi bagian hidup manusia. Perbedaan antara yang maya dengan yang nyata semakin tipis. Apa yang dilakukan di dunia maya dapat serta merta memengaruhi dunia nyata.
Pada era demokrasi, internet memberikan banyak ruang transparansi, pengawasan, hingga partisipasi, termasuk untuk menyuarakan pendapat. Gagasan ataupun kritik dapat dengan mudah dapat disampaikan. Namun, di dunia maya pula berseliweran hoaks, fitnah, hasutan, hingga propaganda. Batas antara yang benar dengan yang palsu menjadi kabur.
Baru-baru ini, Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) kembali menjadi sorotan. Beberapa pasal dalam UU ITE dituding justru telah memberangus ruang gerak kebebasan berpendapat bagi masyarakat.
Padahal, sejak disahkan hingga sekarang, UU ITE pernah direvisi pada 2016. Namun, Perubahan atas UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE tersebut dinilai masih menyisakan masalah. Pengurangan sanksi pidana berupa denda ataupun masa tahanan bukan berarti menghilangkan celah kriminalisasi.
Baca juga: Momentum Merevisi UU ITE
Masih dalam Perubahan UU ITE tersebut, pemerintah berwenang untuk memutus akses atau memerintahkan penyelenggara sistem elektronik memutus akses terhadap informasi elektronik yang memiliki muatan melanggar hukum. Selain itu, pada Pasal 26 UU Perubahan UU ITE juga membolehkan seseorang menghapus pemberitaan negatif mengenai dirinya pada masa lalu sehingga dapat menjadi alat sensor berita publikasi.
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu berpandangan, terdapat beberapa pasal ”monster” dalam UU No 19/2016 tentang Perubahan atas UU No 11/2008 tentang ITE yang dinilai mengancam demokrasi. Pasal ”monster” itu, antara lain Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28 Ayat (2), karena putusan hakim didasari pada rumusan karet. Pasal 27 Ayat (1) mengatur tentang perbuatan yang dilarang dalam muatan informasi elektronik dengan muatan yang melanggar kesusilaan, sedangkan untuk Pasal 28 Ayat (2) adalah mengenai informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
UU ITE menjadi ancaman nyata dalam demokrasi. Dalam riset yang dilakukan oleh ICJR dan LBH Pers, pasal-pasal di dalam UU ITE sangat efektif digunakan untuk alat kriminalisasi.
ICJR menilai, UU ITE menjadi ancaman nyata dalam demokrasi. Dalam riset y.ang dilakukan oleh ICJR dan LBH Pers, pasal-pasal di dalam UU ITE sangat efektif digunakan untuk alat kriminalisasi. Korbannya mulai dari masyarakat biasa, aktivis, wartawan, sampai lawan politik.
Sementara Direktur SAFEnet Damar Juniarto menyebutkan, terdapat sembilan pasal bermasalah di UU ITE. Pasal-pasal itu terkait dengan adanya pasal ”karet” di Pasal 27-29 dalam Bab Kejahatan Siber. Kemudian terdapat sejumlah pasal yang rawan persoalan terkait penghapusan informasi, penghinaan dengan kerugian, kewenangan pemerintah melakukan pemutusan akses, serta ancaman pidana (Kompas, 17/2/2021).
Potensi masalah yang ditimbulkan UU ITE ditengarai telah ada sedari awal. Dalam artikelnya yang berjudul ”Mempertimbangkan Internet dalam Gerakan Demokrasi di Indonesia” (2016), Damar mengatakan, ketika UU ITE disusun pada 2008, dimasukkan tiga pasal mengenai defamasi, penodaan agama, dan ancaman daring (online). Pasal-pasal itu dianggap akan mengisi kekosongan regulasi untuk menjerat para pelaku kejahatan yang memakai teknologi informasi dalam kategori kejahatan siber.
Namun, hingga 2016, SAFEnet mencatat terdapat lebih dari 200 pelaporan ke polisi atas dasar tuduhan defamasi, penodaan agama, dan ancaman yang berbasiskan UU ITE. Saat itu ditengarai munculnya empat pola pemidanaan baru, yaitu aksi balas dendam, barter hukum, membungkam kritik. dan terapi kejut. Keempat pola itu sangat berbeda dari tujuan awal ketika UU ITE dibentuk.
”Jika semula pasal-pasal ini dimaksudkan untuk menangkap para penjahat siber, kini malah lebih sering dipakai untuk mengkriminalisasikan warga yang memanfaatkan internet dan media sosial untuk menyampaikan keluhan, opini, isi pikirannya, berpolemik, hingga menyampaikan kritik kepada pimpinan daerah,” kata Damar.
Hingga 2016, SAFEnet mencatat terdapat lebih dari 200 pelaporan ke polisi atas dasar tuduhan defamasi, penodaan agama, dan ancaman yang berbasiskan UU ITE.
Kajian SAFEnet menunjukkan, sejak 2008 hingga awal 2021, terdapat 375 kasus yang menjerat warganet terkait UU ITE. Laporan SAFEnet menyimpulkan bahwa jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak dikriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal karet yang multitafsir.
Baca juga: Pemerintah Bentuk Tim Khusus Kaji Revisi UU ITE
Sementara itu, laporan yang dihimpun koalisi masyarakat sipil menunjukkan, sejak 2016 hingga Februari 2020, untuk kasus-kasus yang dijerat dengan Pasal 27, 28, dan 29 UU ITE menunjukkan tingkat penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8 persen (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan mencapai 88 persen (676 perkara) (Kompas.id, 16/2/2021).
Kasus terkait UU ITE
Undang-Undang ITE telah membuka ruang bagi setiap individu atau pihak untuk saling melapor kepada aparat penegak hukum. Beberapa kasus terkini, di antaranya pelaporan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan kepada Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri oleh DPP Pemuda, Pelajar,dan Mahasiswa Mitra Kamtibmas (PPMK).
Undang-Undang ITE telah membuka ruang bagi setiap individu atau pihak untuk saling melaporkan kepada aparat penegak hukum.
Novel dilaporkan dengan tuduhan provokasi dan hoaks di media sosial, yakni kicauannya di Twittermengenai kabar meninggalnya Soni Eranata atau dikenal dengan Ustad Maaher At-Thuwailibi di Rutan Bareskrim Polri. Sementara mendiang Soni juga menjadi tersangka dalam perkara terkait UU ITE karena diduga menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan melalui akun Twitter-nya.
Perkara lainnya adalah Permadi Arya atau Abu Janda yang dilaporkan ke Bareskrim oleh Bidang Hukum DPP Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) atas cuitannya di Twitter yang dinilai menyinggung agama. Selain itu, Permadi juga dilaporkan KNPI atas cuitannya yang dinilai bernada SARA terhadap mantan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Natalius Pigai.
Masih terkait Natalius Pigai, Ambroncius Nababan juga dilaporkan Dewan Adat Papua kepada aparat karena diduga menuliskan kata-kata bernada rasis di akun Facebook-nya. Di sisi lain, Natalius dilaporkan PPMK ke Bareskrim atas pernyataannya di media sosial yang dinilai berpotensi merusak kebinekaan.
Pada Oktober tahun lalu, polisi menangkap delapan orang yang diduga menyebarkan informasi yang memuat rasa kebencian dan permusuhan terkait demonstrasi Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Mereka disangkakan Pasal 45A Ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tentang setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA.
Jika ditarik sedikit ke belakang, masih teringat jelas penangkapan terhadap aktivis Ravio Patra yang diduga mengirimkan pesan hoaks berisi anjuran menjarah pada 30 April melalui nomor Whatsapp-nya. Ravio akhirnya dilepaskan karena akun Whatsapp-nya telah mengalami peretasan.
Momentum
Instruksi Presiden Joko Widodo kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia agar lebih selektif menyikapi laporan pelanggaran UU ITE menjadi momentum pembenahan. Instruksi tersebut diberikan saat rapat pimpinan TNI-Polri di Istana Negara, Jakarta, 15 Februari lalu.
Hal itu seolah menjadi puncak dari kegundahan sebagian besar masyarakat yang merasa terwakili dengan pertanyaan Wakil Presiden RI Periode 2004-2009 dan periode 2014-2019, Jusuf Kalla, tentang ”bagaimana caranya mengkritik pemerintah tanpa dipanggil polisi”. Hal itu disampaikan Kalla menanggapi pernyataan Presiden yang meminta masyarakat agar lebih aktif mengkritik pemerintah.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, Politik, dan Keamanan Mahfud MD, melalui akun Twitter-nya @mohmahfudmd mengatakan, pertanyaan Jusuf Kalla tersebut harus dipahami sebagai pertanyaan biasa yang dihadapi pemerintah sejak dulu, termasuk ketika Jusuf Kalla masih menjabat sebagai Wapres RI. Menurut Mahfud, sejak dulu jika ada orang mengkritik, sering ada pihak yang melaporkan ke polisi dan polisi pun wajib merespons.
Laporan ke polisi dilakukan oleh warga negara terhadap warga negara. ”Jadi pernyataan Pak JK adalah ekspresi dilema kita,” kata Mahfud.
Pasca-instruksi dari Presiden tersebut, Polri segera mengambil langkah. Pada 19 Februari, Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo menerbitkan Surat Edaran Kapolri Nomor 2 Tahun 2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif. Surat Edaran Kapolri tersebut diikuti Surat Telegram mengenai Penanganan Tindak Pidana Kejahatan Siber pada 22 Februari 2021.
Beberapa poin penting dari SE Kapolri terkait penerapan UU ITE tersebut adalah agar mengedepankan upaya preemtif dan preventif melalui polisi dunia maya (virtual police) dan peringatan dalam dunia maya (virtual alert) untuk mencegah masyarakat melakukan tindak pidana siber. Penyidik juga diminta dapat membedakan antara kritik, masukan, hoaks, dan pencemaran nama baik sebelum menentukan langkah yang akan diambil.
Selain itu, laporan kepada penyidik tidak dapat diwakilkan oleh pihak lain. Penyidik juga diminta agar memfasilitasi ruang mediasi seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa. Terhadap perkara yang ditangani, penyidik diminta mengkaji secara komprehensif dan melibatkan Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri untuk mengambil keputusan secara kolektif kolegial.
Laporan kepada penyidik tidak dapat diwakilkan oleh pihak lain. Penyidik juga diminta agar memfasilitasi ruang mediasi seluas-luasnya kepada para pihak yang bersengketa.
Penyidik diminta agar hukum pidana menjadi upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimum remidium) dan mengedepankan keadilan restoratif. Terhadap korban yang ingin perkaranya diajukan ke pengadilan sementara tersangka telah sadar dan meminta maaf, penyidik diminta untuk tetap memberikan ruang mediasi dan tidak menahan tersangka.
Baca juga: Penerapan Pedoman Kapolri soal Penanganan Kasus UU ITE Perlu Konsistensi
Listyo mengatakan, SE Kapolri tersebut akan segera dilaksanakan setelah diterbitkan. Selain itu, diperlukan sosialisasi, baik kepada jajaran kepolisian maupun masyarakat, agar memiliki pemahaman yang sama terkait hal itu.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Rusdi Hartono menambahkan, kasus yang sedang ditangani dan akan polisi terkait dengen UU ITE akan berpegang pada SE Kapolri tersebut. Jika kasus masih berproses di penyidik, akan segera dilakukan mediasi antara pihak-pihak yang bersengketa.
”Jika hal-hal yang menyangkut personal tadi hanya penghinaan, pencemaran nama baik, tentunya ke depannya polisi akan mengedepankan cara-cara mediasi, restorative justice,” kata Rusdi.
Pedoman Kapolri yang tertuang dalam SE Kapolri dapat mengurangi sebagian masalah terkait UU ITE, terutama terkait dengan penegakan hukum sebagai upaya terakhir.
Secara terpisah, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati berpandangan, pedoman Kapolri yang tertuang dalam SE Kapolri dapat mengurangi sebagian masalah terkait UU ITE, terutama terkait dengan penegakan hukum sebagai upaya terakhir. Demikian pula sebagian persoalan yang ditimbulkan oleh UU ITE akan hilang.
Terkait dengan hal itu, yang diperlukan adalah konsistensi dari aparat penegak hukum di lapangan. Sebab, sebelum SE Kapolri No2/2021 terbit, pernah diterbitkan pula Surat Edaran Kapolri Nomor 6 Tahun 2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech) yang juga mengedepankan mediasi. Namun, pada kenyataannya, penyidik tetap memproses hukum pihak yang dianggap melakukan ujaran kebencian.
Menurut Asfinawati, SE Kapolri No 2/2021 tersebut juga tidak bisa menyelesaikan hal-hal mendasar, yakni terkait perbuatan penghinaan mesti dihukum penjara atau sebenarnya dapat dihukum dengan hukuman lain. Jika memang dihukup pidana, tetapi hukumannya bukan penjara, melainkan denda atau meminta maaf secara publik.
”Penghinaan tidak sama dengan kritik. Demikian pula kalau kritik untuk kepentingan publik itu bukan termasuk pencemaran nama baik. Kalau PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) menyarankan agar penghinaan masuk ke perdata, bukan pidana,” kata Asfinawati.
Aksi saling lapor terkait dengan unggahan di internet kemungkinan masih akan terjadi. Tentu diharapkan penanganannya tidak melulu berakhir di penjara. Namun, selama aturan itu masih ada, setiap orang mesti selalu ingat bahwa ”jarimu adalah harimaumu”.