Informasi dan transaksi elektronik ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi bisa merekatkan hubungan. Di sisi lain, apabila disalahgunakan, informasi dan transaksi elektronik bisa meretakkan hubungan sosial.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Manifesto transformasi menyebut pandemi Covid-19 mempercepat transformasi teknologi informasi. Perubahan yang terjadi lima tahun seakan berubah dalam lima bulan.
Dalam konteks itu, dorongan atau niatan merevisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) kian menemukan momentumnya.
Selain perkembangan teknologi digital yang kian masif, setelah UU ITE disahkan pada 2008 dan kemudian direvisi pada 2016, banyak kalangan menilai ada sejumlah pasal dalam UU tersebut yang bersifat multitafsir sehingga dengan mudah disalahgunakan dan akhirnya dapat merusak demokrasi. Otoritarianisme di satu sisi, anarkisme di sisi lainnya.
Aktivis prodemokrasi mengkhawatirkan, jika UU ITE tidak direvisi, hal itu akan kian memberangus kebebasan sipil sebab memunculkan ketakutan menyampaikan kritik kepada pemerintah.
Laporan Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFENet), UU ITE telah menjerat 375 warganet sejak 2008 hingga awal 2021. Jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak terjerat pasal karet di UU ITE. Penegakan hukum UU ITE, dalam tataran pelaksanaan, menambah kompleksitas. Aparat penegak hukum dinilai cenderung pilih kasih, membela penguasa atau pemilik modal ketimbang rakyat jelata.
Pemerintah, pada sisi lain, mengkhawatirkan, apabila pengaturan informasi elektronik dilonggarkan, akan kian memecah belah persatuan bangsa. Orang lebih leluasa membuat konten tanpa etika. Bahkan, ada pihak yang memproduksi dan menyebarkan konten yang mengandung unsur kebencian berdasarkan suku, agama, ras, golongan, konten pornografi, dan terorisme secara sistematis menggunakan robot. Motifnya, bisa politik, bisa ekonomi.
Perkembangan transaksi yang menggunakan jaringan komputer atau media elektronik pun berkembang luar biasa cepat. Selain platformnya, model bisnis atau alat tukarnya pun kian beragam. Perkembangan yang sangat masif hingga ke pelosok-pelosok negeri, yang tidak diimbangi dengan literasi digital yang juga masif, membuat banyak pihak teperdaya.
Dalam pertemuan dengan pemimpin redaksi media massa, pekan lalu, Presiden Joko Widodo menyatakan dukungannya untuk merevisi UU ITE. Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia diminta membuka banyak masukan terlebih dahulu dari akademisi, pegiat media, dan juga pihak yang banyak berkecimpung di bidang ini agar revisi UU ini dapat memenuhi aspirasi publik sekaligus menjawab kebutuhan bangsa ke depan.
Informasi dan transaksi elektronik ibarat pisau bermata dua. Pada satu sisi bisa merekatkan hubungan tanpa dibatasi ruang, waktu, memperluas partisipasi, dan meningkatkan produktivitas. Pada sisi lain, apabila disalahgunakan, informasi dan transaksi elektronik bisa meretakkan hubungan sosial, membunuh karakter personal, pintu masuk berbagai kejahatan ekonomi, bahkan memorakporandakan negara. Kini, bola ada di tangan DPR untuk menjadwalkan pembahasan.