Tindak lanjuti instruksi Presiden untuk merevisi UU ITE, Menko Polhukam Mahfud MD membuat tim kajian UU yang akan dijalankan oleh dua tim. Selain tim yang membuat kriteria implementasi pasal, juga tim perevisi UU ITE.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI/EDNA C CAROLINE
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD, Jumat (19/2/2021) malam, di Jakarta, mengatakan, Kemenko Polhukam diberi tugas oleh Presiden Joko Widodo untuk membuat tim kajian Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ada dua tim yang akan bertugas menyusun panduan UU ITE dan tim kajian revisi UU ITE.
Tim pertama akan bertugas membuat kriteria implementasi pasal-pasal yang selama ini dianggap pasal karet dan diketuai oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Adapun tim kedua akan membahas rencana revisi UU ITE. Ini untuk menampung aspirasi masyarakat yang mendesak pemerintah merevisi UU ITE.
Masyarakat sipil menilai UU ITE banyak mengandung pasal karet, diskriminatif, dan membahayakan demokrasi. Presiden Jokowi pun juga berkehendak agar UU ITE direvisi. Kedua tim itu di bawah koordinasi Kemenko Polhukam.
”Tim revisi UU ITE akan mendiskusikan secara terbuka baik dari ahli, masyarakat sipil, masukan tentang UU ITE. Kami juga akan mendengarkan versi DPR, karena banyak juga yang menilai bahaya jika negara tidak punya UU ITE,” kata Mahfud.
Tim revisi UU ITE akan mendiskusikan secara terbuka baik dari ahli, masyarakat sipil, masukan tentang UU ITE. Kami juga akan mendengarkan versi DPR, karena banyak juga yang menilai bahaya jika negara tidak punya UU ITE.
Menurut Mahfud, terkait UU ITE ini, ada suara yang pro dan yang kontra. Anggota DPR, misalnya, ada yang menilai berbahaya jika negara tidak mempunyai UU ITE. Sebab, tidak ada lagi regulasi untuk mengatur penyebaran berita bohong, konten pornografi, ataupun ujaran kebencian melalui media sosial.
Relasi kekuasaan
Sementara itu, dari diskusi ”Kuasa Digital, Pembungkaman Kritik, dan Wacana Revisi UU ITE” yang diselenggarakan Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES ), terdapat relasi kekuasaan di balik pelaksanaan UU ITE. Dengan demikian, yang dibutuhkan adalah solusi yang menyeluruh bukan sekadar revisi UU ITE, apalagi interpretasi UU ITE oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Diskusi tersebut dihadiri oleh Herlambang Wiratraman dari Universitas Airlangga sebagai pengantar dan moderator; Saiful Mahdi, dosen Universitas Syah Kuala Aceh yang pernah menjadi korban UU ITE; Wijayanto dari LP3ES; Indriaswati D Saptaningrum dari ELSAM; dan Asfinawati, Ketua YLBHI.
Saiful Mahdi menilai, UU ITE adalah salah satu alat gebuk yang mungkin digunakan. Bangunan besar yang ada di belakangnya adalah struktur dan relasi kuasa di kampus. Oleh karena itu, ia berpendapat tidak bisa UU ITE direvisi secara parsial, tetapi ada relasi kekuasan yang harus diperbaiki. ”Relasi ini tidak hanya di ruang publik, tetapi juga di kampus,” kata Mahdi yang karena mengkritik atasannya di grup media sosial akhirnya dikriminalisasi dan dipidana tiga bulan penjara.
Herlambang mengatakan, penafsiran sebuah UU adalah praktik yang jamak. Penafsiran itu bisa dilakukan siapa saja, termasuk pelapor, yang dilaporkan, polisi, jaksa, hakim, ataupun masyarakat. Masalah dalam UU ITE adalah penafsirannya yang terlalu didominasi positivistik dalam arti hanya memenuhi unsur-unsur pasal tanpa mempertimbangkan konteks lain, seperti keadilan sosial, kritik atas kekuasan, demokrasi, dan tradisi kebebasan.
Ia mencontohkan, Pasal 27, 28, dan 29 UU ITE kualifikasinya sebenarnya cyber-enabled crime, kejahatan konvensional yang diekstensi menggunakan komputer. Namun, dalam praktiknya disamakan dengan cyber dependent crime—kejahatan yang muncul karena teknologi komputer. Ia mengatakan, jangan-jangan ketika yang dibicarakan adalah pihak mana yang berwenang, pihak mana yang menafsir, dan pihak mana yang mengontrol, semua dipegang oleh Kementerian Kominfo. ”Cara berpikir parsial. Harusnya evaluasi semua hukum yang ada terkait,” katanya.
Adapun Indri mengatakan, dalam proses penyusunan UU ITE, pihak-pihak yang dilibatkan adalah komunitas teknis dan media. Oleh karena itu, dalam revisi perlu melibatkan semua kalangan termasuk LSM. Ia mengingatkan, revisi UU ITE sangat rentan dipengaruhi kontestasi jangka pendek.
Proses penyusunan UU ITE, pihak-pihak yang dilibatkan adalah komunitas teknis dan media. Oleh karena itu, dalam revisi perlu melibatkan semua kalangan termasuk LSM.
Wijayanto mengingatakan, respons masyarakat di dunia maya terhadap pernyataan Presiden Joko Widodo yang minta dikritik relatif sinis.
Sementara Asfi menyoroti relasi kekuasaan yang merasa berhak menginterpreasi kebenaran. Ia mencontohkan, awalnya Kemenkominfo menyatakan clorokuin obat Covid-19 adalah hoaks. Namun, pernyataan itu dicabut setelah Presiden Jokowi menyatakan clorokuin obat Covid-19 walau ternyata belakangan kebenarannya diragukan.
Ia juga menyoroti bahwa Polri membuat interpretasi sendiri tentang ”ujaran kebencian” yang didefinisikan sebagai penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, dan menghasut. Padahal, menurut konvenan hak sipil dan politik, ujaran kebencian adalah ucapan penghinaan yang berdasarkan SARA.
”Pelaksanaan UU juga sangat diskriminatif. Untuk pihak-pihak yang dekat dengan kekuasaan, kalau melapor, langsung diproses. Kalau yang bukan, tidak kunjung diproses,” tuturnya.