Supaya Tak Hanya Jadi Wacana, Revisi UU ITE Mulai Dikaji
Agar tak jadi wacana, jika memang revisi UU ITE itu dipandang perlu baik oleh pemerintah dan DPR, kajian atas perubahan pasal-pasal karet UU itu harus segera dimulai. Presiden sebelumnya beri sinyal revisi UU tersebut.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat tidak ada yang menolak wacana revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang sebelumnya dilontarkan oleh Presiden Joko Widodo. Namun, supaya tidak sekadar menjadi wacana, jika memang revisi itu dipandang perlu baik oleh pemerintah maupun DPR, kajian atas perubahan terhadap pasal-pasal karet di dalam UU itu harus dimulai saat ini. Di satu sisi, publik harus dilibatkan dan didengarkan dalam melakukan revisi UU ITE.
Dukungan terhadap wacana revisi UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dikemukakan oleh sembilan fraksi di DPR dalam keterangan mereka kepada pers. Pimpinan DPR pun merespons positif wacana revisi UU ITE. Wakil Ketua DPR Bidang Politik dan Keamanan Azis Syamsuddin menyampaikan, DPR menyambut baik rencana pemerintah yang ingin merevisi UU ITE karena banyaknya pasal karet dan tidak berkeadilan serta multitafsir.
”DPR menyambut baik rencana revisi tersebut, masyarakat diharapkan juga dapat menggunakan media sosial dengan bijak. Diharapkan revisi ini juga tidak melepas niat baik awal hadirnya UU ITE. Saat ini, UU ITE selalu dijadikan untuk saling lapor melapor terhadap pihak yang saling berseberangan karena permasalahan kecil di media sosial,” Kata Azis (Kompas, 17/2/2021).
Menurut Azis, UU ITE seharusnya dapat lebih mempertimbangkan prinsip keadilan sehingga tidak adalagi pasal karet yang mudah ditafsirkan dan saling melaporkan. Hal itu untuk tetap menjaga demokrasi yang tetap berjalan sesuai harapan dalam menyampaikan kebebasan berpendapat.
Namun, bila ditilik dalam lampiran laporan Panitia Kerja Penyusunan Prolegnas RUU Prioritas 2021 yang disampaikan oleh pimpinan Badan Legislasi (Baleg) DPR saat rapat kerja dengan Menteri Hukum dan HAM dan panitia perancang UU dari Dewan Perwakilan Daerah, 25 November 2020, revisi UU ITE itu telah masuk dalam daftar tunggu (long list) atau masuk ke dalam prolegnas prioritas lima tahunan. Pengusung dari revisi UU ITE itu tertulis DPR, bukan pemerintah.
Direktur Indonesian Parliamentary Center (IPC) Ahmad Hanafi mengatakan, karena masuk ke dalam long list, revisi UU ITE itu masih berpeluang untuk dimasukkan ke dalam prolegnas prioritas tahunan, apalagi sampai sekarang prolegnas itu belum disahkan di dalam Rapat Paripurna DPR.
Namun, harus jelas dulu RUU ini akan menjadi usulan pemerintah ataukah DPR, atau kedua-duanya. Selain itu, kalaupun tidak dapat dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas 2021, kajian dan pendalaman terhadap poin-poin yang akan diubah di dalam UU ITE itu harus mulai dilakukan dari sekarang.
Fraksi-fraksi di DPR tidak cukup mengatakan memberikan dukungan revisi UU ITE. Tetapi, jika mereka mendukung, apa tindak lanjutnya. Harus ada tindakan nyata dalam konteks pelibatan partisipasi publik.
”Fraksi-fraksi di DPR tidak cukup mengatakan memberikan dukungan revisi UU ITE. Tetapi, jika mereka mendukung, apa tindak lanjutnya. Harus ada tindakan nyata dalam konteks pelibatan partisipasi publik. Tidak hanya setuju di level pembuatan kebijakan sana, tetapi publik harus dilibatkan dalam memberikan masukan mengenai pasal-pasal karet itu,” katanya, Rabu (17/2/2021) di Jakarta.
Jika memang RUU ini menjadi inisiatif pemerintah, karena telah diungkapkan secara terbuka oleh presiden, menurut Hanafi, DPR harus membuat peran imbangan. Sebab, berkaca dari beberapa UU yang awalnya adalah usulan pemerintah, seperti UU Cipta Kerja, minim partisipasi publik. Dalam hal ini, revisi UU ITE jangan mengulangi pola yang sama.
”DPR bisa menjadi pihak yang menyerap aspirasi masyarakat. DPR juga harus mendorong pemerintah untuk mematangkan konsepnya dengan pelibatan partisipasi publik, tidak hanya kelompok sektoral, atau partisipasi asimetris,” katanya.
Selama ini, beberapa kelompok masyarakat dan elemen masyarakat sipil telah banyak membuat kajian mengenai UU ITE dan pasal-pasal karet yang ada di dalamnya. Pihak-pihak ini dapat dimintai masukan terkait dengan revisi UU ITE.
Matangkan konsepsi
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Fajri Nursyamsi, mengatakan, jika memang pemerintah dan DPR telah setuju untuk melakukan revisi UU ITE, kajiannya harus dimulai dari sekarang sehingga revisi itu tidak sekadar menjadi wacana. Kalaupun terlalu berat untuk dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas 2021, karena prolegnas itu juga belum disahkan oleh DPR sampai saat ini, kajian lebih awal dapat menjadi upaya pematangan konsep.
”Jadikan tahun ini sebagai waktu untuk mematangkan konsepsi terhadap revisi UU ITE. Apa saja yang diusulkan dan dibuat untuk tahun depan. Isunya dimatangkan sekarang, daripada dipaksakan masuk ke perencanaan legislasi tahun ini yang sudah sangat terlambat. Yang jauh lebih penting ialah bagaimana agar isu ini transparan dan akuntabel di mata publik,” kata Fajri.
Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi mengatakan, belum dapat dipastikan apakah revisi UU ITE ini dapat masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2021 ataukah tidak. ”Harus ada rapat kerja (raker) dengan pemerintah dulu,” ucapnya.
Anggota Baleg dari Fraksi Golkar, Christina Aryani, mengatakan, pembuatan atau revisi UU membutuhkan waktu. Sementara saat ini, Prolegnas Prioritas 2021 sudah tinggal menunggu pengesahan di level paripurna. Oleh karena itu, menurut dia, revisi RUU ITE itu kemungkinan baru bisa masuk di Prolegnas Prioritas 2022.
Proses pembuatan atau revisi UU membutuhkan waktu. Sementara saat ini Prolegnas Prioritas 2021 sudah tinggal menunggu pengesahan di level paripurna.
”Kecuali ada raker lagi antara Baleg dan pemerintah (Menkumham) dan kemudian pemerintah yang mengajukan revisi RUU ini sebagai inisiatif pemerintah. Bisa menggantikan salah satu dari 8 RUU inisiatif pemerintah yang sempat diajukan sebelumnya atau menambah RUU usulan pemerintah,” katanya.
Christina mengatakan, dalam penyusunan legislasi, Baleg berusaha realistis. Jumlah RUU yang masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2021 harus sedapat mungkin memang bisa diselesaikan di tahun 2021. Keinginan ini sudah diakomodasi dalam Prolegnas Priroitas 2021 dan sudah dihitung kesanggupan tiap-tiap komisi maupun alat kelengkapan dewan (AKD) lainnya melakukan pembahasan.
”Jadi saya lihat yang paling memungkinkan saat ini ialah RUU itu menjadi usulan pemerintah untuk revisi Prolegnas Prioritas 2021 atau masuk Prolegnas Prioritas 2022 dengan usulan dari Baleg, komisi, atau anggota DPR,” ujar Christina.
Soal apakah pengusulan revisi UU ITE ini dilakukan pada 2021 ataukah 2022, menurut Hanafi, hal itu perlu mempertimbangkan kematangan konsepsi perubahan yang ditawarkan oleh pengusul.
”Tidak perlu buru-buru juga disahkan tahun ini. Dari beberapa evaluasi terhadap UU ITE ini kan ada beberapa irisan dengan KUHP, dan RUU KUHP sendiri belum selesai dibahas di DPR. Sebaiknya itu disinkronkan dulu antara revisi UU ITE dan RUU KUHP, termasuk dengan RUU Perlindungan Data Pribadi yang sedang berjalan pembahasannya,” tuturnya.