DPR Mendukung Revisi UU ITE Bisa Masuk Prolegnas 2021
Sejumlah fraksi di DPR mendukung revisi UU ITE. Revisi diharapkan bisa mengatasi pasal-pasal karet yang mengancam demokrasi. ICJR bahkan telah mengingatkan adanya pasal ”monster” di UU ITE saat revisi tahun 2016.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·7 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wacana revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE yang dilontarkan Presiden Joko Widodo didukung sejumlah fraksi di DPR. Revisi diharapkan bisa mengatasi pasal-pasal karet di undang-undang itu yang kerap digunakan untuk mengekang kebebasan berpendapat. Namun, sebelum itu, kajian mendalam harus dilakukan. Tak kalah penting, polisi harus selektif dalam menangani laporan pelanggaran UU ITE.
Diberitakan sebelumnya, Presiden meminta Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo dan jajarannya agar lebih selektif memproses laporan pelanggaran UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. Presiden pun meminta Kapolri membuat pedoman atas pelaksanaan pasal-pasal dalam UU ITE agar tidak multitafsir. Selain itu, Presiden membuka kemungkinan revisi UU ITE jika regulasi itu tak mampu memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Revisi terutama untuk menghapus pasal-pasal karet.
Menindaklanjuti pernyataan Presiden itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD melalui akun media sosialnya mengatakan, pemerintah akan mendiskusikan inisitaif untuk merevisi UU ITE.
”Dulu, pada 2007/2008 banyak yang usul dengan penuh semangat agar dibuat UU ITE. Jika sekarang UU tersebut dianggap tidak baik dan memuat pasal-pasal karet, mari kita buat resultante baru dengan merevisi UU tersebut. Bagaimana baiknyalah, ini kan demokrasi,” ujarnya.
Atas wacana revisi UU ITE itu, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Azis Syamsuddin mendukungnya.
”DPR menyambut baik rencana revisi tersebut. Diharapkan revisi ini juga tidak melepas niat baik awal hadirnya UU ITE. Saat ini, UU ITE selalu dijadikan alat untuk saling lapor-melapor terhadap pihak yang saling berseberangan karena permasalahan kecil di media sosial,” ujarnya melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas, Selasa (16/2/2021).
Lebih lanjut ia berharap revisi dapat lebih mempertimbangkan prinsip keadilan. Dengan demikian, tidak ada lagi pasal karet di dalamnya. Hal ini penting untuk tetap menjaga demokrasi dan kebebasan berpendapat.
”Kita sudah jenuh dengan pasal pencemaran nama baik dan penghinaan. Itu saja yang kerap kita dengar jika terjadi pelaporan mengatasnamakan UU ITE ribut di media sosial. Itu saja yang dipakai seseorang untuk melaporkan ke pihak kepolisian,” katanya.
Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Golkar yang juga anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR, Christina Aryani, pun mengapresiasi pernyataan Presiden itu. Presiden dinilai berhasil menangkap fakta riil yang terjadi di masyarakat, yakni penerapan pasal-pasal di dalam UU ITE yang berkembang liar, membuat resah, dan gusar, bahkan menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat.
”Tidak bisa dipungkiri banyak juga yang sudah menjadi korban. Pada sisi ini, kami mengapresiasi Presiden yang telah menangkap kegelisahan masyarakat ini. Di DPR sendiri, kami banyak mendapat masukan dari masyarakat terkait urgensi revisi pasal-pasal karet dalam UU ITE,” ujarnya.
Revisi UU ITE, ia melanjutkan, bisa jadi jalan keluar untuk mengatasi problem tersebut. Untuk itu, pemerintah bisa saja mengajukan revisi sebagai salah satu rancangan undang-undang (RUU) usulan pemerintah di Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Terlebih hingga kini, prolegnas belum disahkan sehingga pemerintah bisa memasukkannya dalam prolegnas.
Namun, sebelum itu ditempuh, Kapolri disarankan menerbitkan peraturan Kapolri atau surat edaran Kapolri terhadap pasal-pasal yang multitafsir seperti permintaan dari Presiden Jokowi. Jika kemudian peraturan itu sudah bisa mengeliminasi problem yang ada, revisi UU ITE tak dibutuhkan lagi.
Adapun Ketua Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) di DPR Saleh Partaonan Daulay lebih setuju jika pemerintah langsung menginisiasi revisi UU ITE.
”Biasanya, kalau pemerintah yang mengusulkan, birokrasi pelaksanaannya lebih mudah. Tidak berbelit. Apalagi, substansi perubahannya sudah jelas. Di DPR tentu tidak akan banyak dipersoalkan lagi,” ujarnya.
Tak hanya untuk mengatasi pasal-pasal yang multitafsir, Saleh mendorong agar revisi sekaligus untuk menyesuaikan regulasi yang ada dengan perkembangan teknologi informasi. ”Kalau mau direvisi, sekalian disesuaikan dengan perkembangan IT kontemporer. Termasuk perkembangan media-media sosial. Juga situasi pandemi di mana masyarakat banyak beraktivitas dengan internet. Namun, tetap hati-hati agar tidak ada pasal-pasal karet lain yang mudah menjerat seperti sebelumnya,” katanya.
Selain itu, revisi harus diarahkan pada pengaturan pengelolaan teknologi informasi, bukan ditekankan pada upaya pemidanaan. Berkenaan dengan aturan pidana, sebaiknya diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). ”Kalau persoalan penipuan, penghinaan, penghasutan, adu domba, penyebaran data yang tidak benar, dan lain-lain, cukup diatur di KUHP. Dengan begitu, implementasi UU ITE lebih mudah. Tidak ada tumpang-tindih,” ujarnya.
Wakil Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sukamta pun mendukung wacana revisi UU ITE. Ia berharap revisi segera dilakukan, bukan hanya omong kosong.
Ia menilai tujuan dari lahirnya UU ITE sebenarnya mulia, yakni untuk memberi kepastian hukum bagi para pelaku ekonomi dan bisnis di dunia maya. Namun, dalam perkembangannya, implementasinya lebih kental nuansa hukum pencemaran nama baiknya daripada soal transaksi ekonomi-bisnisnya. Sebagai contoh, Pasal 27 Ayat (3) UU ITE yang mengatur soal pencemaran nama baik justru jadi pasal karet yang dijadikan alat untuk mengkriminalisasi masyarakat.
”Banyak orang dilaporkan, ditangkap, dan ditahan karena menyampaikan pendapatnya di internet,” ujarnya.
Profesionalitas Polri
Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi juga sepakat jika UU ITE direvisi. Namun, yang tak kalah penting, polisi harus selektif dalam menangani pelaporan pelanggaran UU ITE. Jangan terus terjadi UU ITE digunakan untuk menjerat orang atau kelompok yang kritis. Sikap polisi yang selektif itu dinilainya menjadi bagian dari profesionalitas Polri sebagaimana dijanjikan Listyo Sigit Prabowo ketika menjalani uji kepatutan dan kelayakan menjadi Kapolri di Komisi III DPR, Januari lalu.
”Jangan sampai UU ITE digunakan menjerat orang atau kelompok kritis dengan mengada-ada. Namun, jika memang sudah memenuhi unsur, ya, tetap bisa digunakan. Artinya, harus dipilah benar mana yang bisa dijerat UU ITE dan mana yang tidak bisa dijerat dengan UU ITE,” ucapnya.
Wakil Ketua Fraksi NasDem Willy Aditya mengatakan hal senada.
”Selektif memilih kasus ini adalah langkah awal praktis untuk merevisi UU ITE yang juga disampaikan Presiden. Artinya, sumber daya kita perlu difokuskan untuk mengawal proses revisi UU ITE, khususnya terhadap pasal-pasal karet dan tumpang-tindih (over criminalization). Situasi perkembangan terbaru dunia digital kita di Indonesia akan semakin sehat dengan adanya revisi UU ITE dan selesainya pembahasan RUU PDP,” ungkapnya.
Kaji mendalam
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Trimedya Panjaitan, mengingatkan agar revisi terlebih dulu didahului kajian yang mendalam. Ini terutama pada pasal-pasal yang dianggap pasal karet. Jangan sampai revisi dilakukan serba cepat dan hasilnya justru tidak mampu menangani persoalan-persoalan ujaran kebencian di media sosial.
”UU ITE dulu dibuat keras seperti itu karena UU yang ada dulu dinilai lemah atau tidak mampu menangani persoalan-persoalan ujaran kebencian di media sosial. Jadi, kalau UU ini mau direvisi, harus dibuat kajian yang mendalam pasal mana yang diubah,” ujarnya.
Sebelum kajian mendalam tuntas, akan lebih baik jika Kapolri mengikuti permintaan dari Presiden agar lebih selektif dalam menangani pelaporan pelanggaran UU ITE. ”Ada orang yang mengkritik lalu diproses. Mungkin itu sebenarnya yang harus diperbaiki dan makanya disampaikan kepada Kapolri untuk lebih selektif,” tuturnya.
Pasal ”monster”
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu mengatakan, saat UU ITE direvisi tahun 2016 yang kemudian lahir UU No 19/2016, ICJR telah mengingatkan adanya sejumlah pasal ”monster” di dalam regulasi tersebut.
”Sejak revisi dilakukan pada 2016, kami sudah ingatkan adanya masalah dalam UU ITE. Pasal ”monster” pengancam demokrasinya sekarang pun tambah banyak karena putusan hakim didasari pada rumusan yang karet, seperti diatur di dalam Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28 Ayat (2) UU ITE,” katanya.
ICJR menilai, UU ITE menjadi ancaman nyata dalam demokrasi. Dalam riset yang dilakukan oleh ICJR dan LBH Pers, pasal-pasal di dalam UU ITE itu sangat efektif digunakan untuk alat kriminalisasi. Korbannya banyak, mulai dari masyarakat biasa, aktivis, wartawan, sampai lawan politik.
”Tergantung siapa yang pegang kuasa lebih. Ini berbahaya sekali dan kita menerima getahnya bertahun-tahun. Jadi, kesimpulannya jangan ulangi kecerobohan di 2008 dan 2016. ICJR mendorong agar pasal-pasal karet UU ITE dirombak total,” katanya.