Pemberantasan korupsi masih membutuhkan pembuktian dan upaya nyata, baik dari pemerintah maupun KPK. Khusus bagi KPK, operasi tangkap tangan bukan satu-satunya indikator keberhasilan.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemberantasan korupsi masih membutuhkan pembuktian dan upaya nyata baik dari pemerintah maupun Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK. Penangkapan Bupati Banggai Laut, Sulawesi Tengah, belum dapat menjadi ukuran kembalinya kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi karena masih ada tugas dan fungsi KPK yang harus diakselerasi untuk meningkatkan upaya pemberantasan korupsi.
Dari hasil survei Global Corruption Barometer 2020 oleh Transparency International Indonesia (TII), tiga kesimpulannya menyebutkan, kinerja pemerintah dalam memberantas korupsi dianggap stagnan dan hanya 51 persen publik yang menilai kinerja KPK cukup baik dalam setahun terakhir.
Manajer Riset TII Wawan Suyatmiko mengatakan, hasil riset tersebut setidaknya menunjukkan persepsi publik tentang korupsi yang semakin meningkat di Indonesia. Di sisi lain, keseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi dipandang turun, seiring pula dengan kinerja KPK yang tidak membaik.
Hasil riset itu pun menggambarkan ada kesenjangan yang harus ditutupi, yakni antara pandangan masyarakat tentang korupsi yang makin marak dan ekspektasi masyarakat terhadap keseriusan pemerintah dan kinerja KPK dalam pemberantasan korupsi.
”Harus diakui, publik dalam setahun kepemimpinan Firli Bahuri tidak menunjukkan prestasi yang mencolok sehingga publik menilai tidak banyak terobosan yang dilakukan oleh KPK. Operasi tangkap tangan yang dilakukan oleh KPK beberapa waktu terakhir patut diapresiasi, tetapi hal itu tidak menunjukkan KPK menguat,” katanya saat dihubungi, Jumat (4/12/2020).
Penyelesaian kasus
Operasi tangkap tangan (OTT) tidak dapat semata-mata dipandang sebagai ukuran keberhasilan KPK. Sebab, masih banyak hal lain yang harus diselesaikan oleh KPK. Hal itu, di antaranya, mencakup penyelesaian kasus-kasus korupsi besar yang terhenti dan pengejaran buronan.
Untuk menjawab keraguan publik, KPK harus bekerja keras menuntaskan kasus-kasus besar atau melakukan pengembangan kasus, tidak semata-mata melakukan OTT.
Hal lain ialah tingkat keyakinan (conviction rate) dalam pembuktian di pengadilan di KPK dulu mencapai 100 persen. Namun, kini dalam beberapa kasus yang diajukan pengadilan, KPK dikalahkan. Contohnya, kasus Sofyan Basir, mantan Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN).
”KPK dapat juga mengoptimalkan peran supervisi dan koordinasi dengan penegak lain, seperti kejaksaan dan kepolisian. Ketika ada kasus besar, seperti Joko Tjandra, seharusnya itu menjadi bagian dari peran supervisi KPK. Bahkan, KPK dapat mengambil alih kasus tersebut,” katanya.
Selain KPK, pemerintah harus pula menunjukkan keseriusannya dalam pemberantasan korupsi, terutama dengan mengoptimalkan peran penegak hukum lain, seperti kepolisian dan kejaksaan. Sebab, selain KPK, kedua lembaga penegak hukum itu juga memiliki kewenangan untuk mengusut kasus korupsi.
”Beberapa rekomendasi dari United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) belum dijalankan oleh Indonesia, seperti pengaturan mengenai benturan kepentingan, dan jual beli pengaruh. Kasus-kasus itu sudah banyak terjadi, tetapi belum ada aturannya dalam UU Pemberantasan Tipikor (Tindak Pidana Korupsi). Oleh karena itu, perlu pemerintah melakukan revisi UU Tipikor,” kata Wawan.
Belum ada kejutan
Dihubungi terpisah, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Hibnu Nugroho, mengatakan, selama satu tahun kepemimpinan Firli Bahuri, KPK memang belum menunjukkan kejutan. Penangkapan terhadap sejumlah pejabat publik beberapa waktu terakhir dapat pula dipandang sebagai respons KPK terhadap persepsi publik yang menganggap KPK kini lemah. Akan tetapi, upaya itu saja belum cukup.
”KPK harus mulai memikirkan tindakan OTT yang berdampak pada terjadinya pencegahan korupsi. Upaya semacam itu lebih berarti. Misalnya, setelah menangkap tangan, lalu ada perbaikan sistem di kementerian atau di daerah tempat pejabat publik itu ditangkap. Harus ada keseimbangan antara pencegahan dan penindakan sehingga penindakan itu juga berdampak pada pencegahan korupsi di masa depan,” tuturnya.
Dari sisi pemerintah, menurut Hibnu, hasil kajian TII itu merupakan peringatan bagi pemerintah untuk juga memperbaiki tata kelola pemerintahannya.