Pengawasan terhadap pengelolaan dana otonomi khusus sudah dilakukan berlapis-lapis. Namun, praktik korupsi dan penyalahgunaan dana tersebut masih rentan terjadi. Upaya pencegahan korupsi yang lebih serius perlu dilakukan
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dana otonomi khusus yang diberikan ke beberapa daerah seperti Aceh dan Papua rawan dikorupsi karena kurangnya transparansi. Dana tersebut juga dinilai tidak dikelola dengan baik dan penyalurannya tidak tepat sasaran.
Anggota Tim Peneliti Anti-Corruption Summit (ACS) dari Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Aceh, Zahlul Pasha mengatakan, dari beberapa penelitian, dana otonomi khusus (otsus) di Papua dan Papua Barat disebut sebagai dana kompensasi atas konflik yang terjadi sangat lama di sana. Sejumlah riset menunjukkan, dana otonomi khusus di Papua dan Papua Barat tidak dikelola dengan baik. Dana tersebut tidak disalurkan dengan tepat sasaran.
“Begitu juga di Aceh. Dana otonomi khusus seringkali digunakan dalam bidang ekonomi. (Namun), seringkali gagal menyejahterakan masyarakat. Juga digunakan untuk proyek-proyek yang tidak strategis,” kata Zahlul dalam diskusi ACS 2020 bertajuk “Memantau Keuangan Daerah: Dana Otsus untuk Siapa?”, Kamis (19/11/2020).
Sejumlah riset menunjukkan, dana otonomi khusus di Papua dan Papua Barat tidak dikelola dengan baik. Dana tersebut tidak disalurkan dengan tepat sasaran
Hadir juga sebagai pembicara, yakni Kepala Satgas 1 Unit Koordinasi Wilayah Kedeputian Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Maruli Tua dan perwakilan Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Kuswanto. Kegiatan ini dimoderatori oleh Dosen Fakultas Ekonomi, Magister Manajemen, dan Magister Teknik Industri Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta Suwarsono Muhammad.
Zahlul mengatakan, dana otsus di Aceh justru digunakan untuk proyek skala kecil. Pemerintah Aceh menganggarkannya untuk proyek tanpa tender. Akibatnya, proyek tersebut justru dibagi-bagikan kepada rekan dari pemerintah.
Dana otsus seringkali juga digunakan untuk proyek yang populis. Jika gubernur akan maju kembali ke Pilkada, maka ia akan menggunakan dana tersebut untuk kampanye. “Yang populer di Aceh itu ada program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) yang dipopulerkan Gubernur Irwandi Yusuf yang ditangkap KPK karena korupsi dana otonomi khusus,” kata Zahlul.
Ia mengungkapkan, JKA dianggap sebagai gebrakan paling populer yang dilakukan Irwandi. Namun, JKA tidak dikelola secara transparan. Semua orang di Aceh hanya datang ke rumah sakit dan menunjukkan KTP warga Aceh. Mereka langsung mendapatkan jaminan.
Begitu juga ketika Gubernur Zaini Abdullah memerintah. Zahlul mengatakan, Zaini menggunakan dana otsus untuk membangun proyek otonomi khusus seperti jalan layang yang seharusnya dapat menggunakan dana dari APBN.
Dalam bidang politik, dana otonomi khusus digunakan untuk proyek yang tidak strategis dan populis. Apalagi, politik di Aceh masih didominasi oleh mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka yang menempati posisi strategis di parlemen dan eksekutif. Menurut Zahlul, mereka menggunakan dana otsus secara tidak transparan, sehingga menyebabkan korupsi merajalela.
Maruli Tua mengakui, beberapa oknum masih melakukan korupsi terhadap dana otsus. Padahal, pengawasan sudah dilakukan berlapis-lapis seperti pengawasan internal melalui inspektorat daerah di kabupaten, kota, dan provinsi. Selain itu, ada pengawasan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) perwakilan, Inspektorat Jenderal Kementerian Dalam Negeri, dan diaudit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) setiap tahun.
“KPK sesuai tupoksinya melakukan pencegahan, koordinasi, monitor, dan supervisi. Itu kami lakukan disamping penindakan, tetapi bagaimana tindak lanjutnya? Papua dan Papua Barat memang harus ada penguatan (karena) ada oknum-oknum yang belum mau berubah,” kata Maruli.
Inspektorat dan penegak hukum juga sudah menindak kepala daerah dan pejabat yang melakukan korupsi terhadap dana otsus untuk memberikan efek jera, tetapi korupsi terus berulang
Ia mengungkapkan, KPK juga mendorong penggunaan e-planning dan e-budgeting yang sudah digunakan oleh Papua pada 2017. Inspektorat dan penegak hukum juga sudah menindak kepala daerah dan pejabat yang melakukan korupsi terhadap dana otsus untuk memberikan efek jera, tetapi korupsi terus berulang. Karena itu, dibutuhkan upaya pencegahan yang serius.
Kuswanto menjelaskan, dana otsus diberikan kepada daerah yang ditetapkan sebagai daerah khusus sesuai dengan Pasal 18A dan 18B UUD 1945. Setiap daerah tidak bisa serta-merta ditetapkan sebagai daerah khusus dan istimewa. Sebab, dalam penetapannya ada fungsi rekognisi.
Ia mengatakan, Aceh dan Papua ditetapkan sebagai daerah khusus karena pernah terjadi konflik. Saat terjadi konflik tersebut terdapat proses perundingan. Salah satunya, ditetapkan daerah khusus karena memiliki kewenangan dalam mengelola urusan di daerah tersebut yang berbeda dengan daerah lain.
Pengawasan dana otsus telah dilakukan pemerintah pusat melalui BPK dan BPKP. “KPK juga akan selalu dilibatkan dalam pengawasan. KPK lebih concern pada APBD secara keseluruhan. KPK yang mendorong penerapan e-planning dan e-budgeting sampai diluncurkan pada 2019 dan akan diterapkan secara penuh pada 2021,” kata Kuswanto.