Dalam rencana penyatuan UU Pemilu dan Pilkada masih ada perbedaan di antara fraksi-fraksi saat penyusunan RUU Pemilu. Hal itu mengakibatkan draf RUU tersebut belum bisa diharmonisasi Badan Legislasi DPR.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perbedaan pendapat yang tajam di antara fraksi-fraksi dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Pemilu mengakibatkan draf RUU tersebut belum dapat diharmonisasi Badan Legislasi DPR. Pimpinan Baleg harus berbicara terlebih dahulu dengan pimpinan Komisi II DPR selaku pengusul RUU guna membahas persoalan ini. Salah satu harapannya agar dapat tercapai kesepakatan internal di dalam komisi sebelum diharmonisasi di Baleg DPR.
Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Nasdem Willy Aditya mengatakan, pekan depan pihaknya mengundang pimpinan Komisi II untuk membicarakan draf RUU Pemilu. Menurut dia, perbedaan pendapat yang muncul dalam draf RUU Pemilu itu harus dibicarakan dengan mekanisme dialog antara Baleg DPR dan pimpinan Komisi II DPR. Sebab, di satu sisi Baleg DPR tidak memiliki kewenangan untuk merumuskan suatu norma di dalam tahapan harmonisasi, pembulatan, dan pemantapan konsepsi.
”Nanti kami akan undang pimpinan Komisi II DPR untuk membicarakan hal ini. Minggu depan, kami akan bicarakan kelanjutannya. Jadi, persoalan ini akan diselesaikan dengan baik sehingga tidak hanya enak bagi semua pihak, tetapi juga agar tidak ada yang merasa tersakiti. Jadi, kita akan duduk bersama,” ujar Willy yang juga Ketua Panitia Kerja Harmonisasi RUU Pemilu, Kamis (19/11/2020), di Jakarta.
Keputusan untuk membahas bersama pimpinan Komisi II DPR dilakukan setelah kajian Baleg DPR menyimpulkan draf RUU Pemilu itu belum sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Akibatnya, Baleg belum dapat melakukan harmonisasi terhadap draf RUU Pemilu.
Nanti kami akan undang pimpinan Komisi II DPR untuk membicarakan hal ini. Minggu depan, kami akan bicarakan kelanjutannya. Jadi, persoalan ini akan diselesaikan dengan baik sehingga tidak hanya enak bagi semua pihak, tetapi juga agar tidak ada yang merasa tersakiti. Jadi, kita akan duduk bersama.
Sesuai dengan UU No 12/2011, pasal didefinisikan sebagai satuan aturan peraturan perundang-undangan yang memuat satu norma dan dirumuskan dalam satu kalimat yang disusun secara singkat, jelas, serta lugas. Pada kenyataannya, dalam 741 pasal yang termaktub dalam draf RUU Pemilu, ada 177 pasal yang memuat alternatif atau opsi norma.
Selain tidak memenuhi aspek teknis, secara substantif draf RUU Pemilu itu juga tidak jelas karena ada pasal-pasal yang rumusan normanya lebih dari satu atau berupa rumusan alternatif. Pasal-pasal alternatif itu, antara lain, ditemui pada enam isu krusial, yakni keserentakan pemilu (Pasal 4, 5, dan 6), sistem pemilu (Pasal 201 dan 2016), besaran kursi daerah pemilihan (Pasal 2017 dan 2018), ambang batas pencalonan presiden/presidential threshold (Pasal 187), ambang batas penghitungan kursi/parliamentary threshold (Pasal 217), dan konversi suara hasil pemilu (Pasal 218).
Karena ada rumusan pada beberapa pasal yang di dalam satu pasalnya berisi norma yang berbeda-beda, tujuan dan rumusan dari pasal tersebut menjadi tidak jelas. Hal ini dipandang tidak sesuai dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang salah satu asasnya ialah kejelasan rumusan dan tujuan.
Contohnya, dalam pengaturan parliamentary threshold (PT), ada tiga alternatif. Alternatif pertama diajukan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang menginginkan PT ditetapkan berjenjang, yakni 5 persen untuk DPR RI, 4 persen untuk DPR provinsi, dan 3 persen untuk DPR kabupaten/kota. Adapun tiga parpol, yakni Gerindra, Nasdem, dan Partai Golkar, mengusulkan PT naik menjadi 7 persen.
Bedanya, untuk penghitungan tingkat provinsi dan kabupaten/kota, baik Nasdem dan Partai Golkar mengusulkan agar semua parpol diikutkan dalam penghitungan suara sehingga tidak ada ambang batas. Sementara itu, Gerindra mengusulkan ambang batas bagi DPR provinsi dan kabupaten/kota sama besarnya dengan tingkat nasional, yakni 7 persen.
Alternatif lain diajukan Partai Keadilan Sejahtera, yaitu PT 5 persen yang berlaku baik nasional maupun provinsi dan kabupaten/kota. Partai Kebangkitan Bangsa juga mengusulkan PT 5 persen, tetapi ketentuan yang sama tidak perlu ada untuk provinsi dan kabupaten/kota. Sementara itu, Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sama-sama mengusulkan PT tetap 4 persen dan hanya berlaku untuk DPR RI.
Tiga opsi
Munculnya draf RUU Pemilu dengan beberapa alternatif norma pasal ini, menurut anggota Baleg dari Fraksi Partai Golkar, Firman Subagyo, dapat diselesaikan dengan tiga opsi. Opsi pertama, mengembalikan draf itu kepada Komisi II DPR sehingga dapat diputuskan oleh internal Komisi II varian mana yang dipilih. Kedua, Baleg DPR dapat meneruskan harmonisasi RUU Pemilu, tetapi inisiasi pengusulan berganti dari Komisi II DPR menjadi Baleg DPR. Opsi kedua ini berpotensi memicu ketegangan hubungan antara Baleg DPR dan Komisi II yang sejak awal menginisiasi RUU Pemilu. Ketiga, penyusunan draf RUU Pemilu itu diserahkan kepada pemerintah sehingga DPR tinggal mengajukan daftar inventarisasi masalah (DIM) dan membahasnya.
Sebagai catatan, jika RUU Pemilu kali ini dapat lolos menjadi RUU inisiatif DPR, ini akan menjadi RUU Pemilu pertama yang diusung DPR. Sebab, biasanya penyusunan RUU Pemilu, termasuk UU No 7/2017 tentang Pemilu, adalah usulan dari pemerintah.
Menurut anggota Fraksi PDI-P, Sturman Panjaitan, jika draf RUU Pemilu itu dikembalikan kepada Komisi II DPR, hasilnya akan kembali buntu, sebab sulit diambil suara bulat mengenai enam isu krusial yang berkaitan dengan kepentingan setiap parpol.
Anggota Komisi II DPR yang juga anggota Baleg dari Fraksi PPP, Syamsurizal, mengatakan, sebaiknya pasal-pasal krusial di mana terjadi perbedaan pendapat fraksi dapat diselesaikan dengan dialog antara pimpinan Baleg dan Komisi II DPR. ”Karena masing-masing bertahan dengan keinginan fraksi. Maka, untuk pasal-pasal yang substantif sebaiknya kita berkumpul, mengembalikan ini ke pimpinan Baleg dan pimpinan Komisi II untuk membicarakan jalan keluarnya,” ujarnya.
Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa, yang juga ikut di dalam rapat, menyampaikan, pihaknya menyerahkan mekanisme harmonisasi kepada Baleg. Ia lebih setuju jika Baleg meneruskan pembahasan harmonisasi itu dengan mengambil satu varian atau alternatif yang tersedia dalam RUU Pemilu itu. Alasannya, ini untuk menuntaskan penyusunan draf inisiasi DPR dan selanjutnya dapat dikembalikan ke Komisi II untuk diajukan ke paripurna.
Dihubungi sebelumnya, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tandjung mengatakan, penyusunan opsi-opsi pasal dalam RUU Pemilu memang dilakukan sejak awal, karena tidak mudah membulatkan pendapat dari sembilan fraksi yang masing-masing berkepentingan dengan aturan pemilu tersebut. Namun, mengenai nasib harmonisasi RUU Pemilu di Baleg, senada dengan Saan, Doli mendorong Baleg meneruskan harmonisasi sehingga draf dapat terus berproses menjadi inisiatif DPR.
”Itu, kan, drafnya belum final, sebab nanti setelah ada DIM dengan pemerintah masih ada pembahasan lagi, sehingga perubahan dan sikap fraksi itu masih terbuka,” ujarnya.
Itu, kan, drafnya belum final, sebab nanti setelah ada DIM dengan pemerintah masih ada pembahasan lagi, sehingga perubahan dan sikap fraksi itu masih terbuka.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi PDI-P Arif Wibowo menegaskan, Baleg di dalam harmonisasi tidak berwenang merumuskan satu norma. Sesuai dengan aturan UU No 12/2011 serta UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD, tugas Baleg dalam harmonisasi ialah memastikan suatu RUU itu sesuai konstitusi dan tidak tumpang tindih dengan UU lainnya. ”Menyangkut sikap fraksi-fraksi yang berbeda-beda, bukan menjadi kewenangan Baleg untuk mengerucutkannya menjadi satu norma tunggal,” ujar Arif.
Adapun Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi PPP Arwani Thomafi mengatakan, penyusunan RUU Pemilu dengan alternatif itu pernah dilakukan sebelumnya. Namun, ia tidak masalah jika jalan keluar mengenai proses harmonisasi RUU itu berusaha dicari dalam pembicaraan antara pimpinan Baleg dan Komisi II. ”Pimpinan DPR dapat mengundang rapat pimpinan Komisi II dan Baleg DPR untuk duduk bersama menyelesaikan ini sehingga bisa jalan,” ujarnya.
Pimpinan Komisi II pun menyadari, penyelesaian pasal-pasal krusial, terutama terkait dengan enam tema penting itu, hanya dapat dituntaskan dengan lobi-lobi tingkat tinggi yang melibatkan pimpinan setiap parpol dan tidak cukup diselesaikan dengan pembicaraan di tingkat fraksi.