MK Gelar Sidang Perdana Gugatan Materi UU Cipta Kerja
Untuk pertama kalinya, MK gelar sidang perdana uji materi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Rabu. Majelis panel menyoroti sejumlah hal, di antaranya kedudukan hukum pemohon serta dalil yang diajukan pemohon.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Konstitusi menggelar sidang perdana uji materi UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Rabu (4/11/2020). Majelis panel menyoroti sejumlah hal, di antaranya kedudukan hukum (legal standing) pemohon, serta dalil pengujian norma dengan UUD 1945. Menurut majelis panel, pemohon masih banyak membandingkan UU 11/2020 dengan UU Ketenagakerjaan.
Sidang pemeriksaan pendahuluan perkara Nomor 87/PUU-XVIII/2020 itu dipimpin majelis panel Arief Hidayat, serta anggota Wahiduddin Adams dan Mahanan MP Sitompul. Pemohon dalam perkara tersebut adalah Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa yang diwakili Ketua Umum Deni Sunarya serta Sekretaris Umum Muhammad Hafidz.
Pemohon meminta MK menguji Pasal 81 angka 15, angka 19, angka 25, dan angka 44 UU 11/2020. Pasal itu, antara lain, mengatur tentang pengaturan kerja waktu tertentu, syarat-syarat batasan pekerjaan yang dapat diserahkan dari pemberi kerja kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, formula perhitungan upah minimum, ketentuan upah minimum, batasan standar pemberian uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja, serta penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan yang ditetapkan 15 persen dari uang pesangon/dan atau uang penghargaan masa kerja. Batu uji dalam perkara tersebut adalah Pasal 28 D ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Ketua majelis panel Arief Hidayat mengatakan, masih ada ketidaksesuaian kedudukan hukum dalam berkas yang diajukan pemohon. Pemohon mendaftarkan diri sebagai badan hukum privat. Namun, dalam dokumen permohonan masih disebutkan kedudukan hukum sebagai perseorangan. Jika pemohon adalah federasi serikat pekerja, seharusnya sejak awal disebutkan. Selain itu, pemohon juga harus menyertakan bukti pasal-pasal dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) yang menyatakan bahwa ketua dan sekretaris umum berwenang mewakili dalam persidangan hukum.
Jangan sampai pemohon ragu-ragu siapa subyek yang memohon perkara ini. Harus jelas apakah badan hukum atau perseorangan.
”Jangan sampai pemohon ragu-ragu siapa subyek yang memohon perkara ini. Harus jelas apakah badan hukum atau perseorangan,” kata Arief.
Selain itu, Arief juga menyoroti bahwa dalil-dalil yang disampaikan dalam permohonan masih tidak konsisten. Pemohon kurang menunjukkan dalil bahwa pasal-pasal di UU Cipta Kerja bertentangan dengan konstitusi. Pemohon justru lebih banyak membandingkan antara UU Cipta Kerja dan UU Ketenagakerjaan. Padahal, setelah UU Cipta Kerja disahkan dalam nomor dan lembaran negara, pasal dalam UU Ketenagakerjaan itu sudah tidak berlaku.
”Jangan dipertentangkan UU Cipta Kerja dengan UU Ketenagakerjaan. Tetapi, sampaikan mana pasal yang bertentangan dengan konstitusi. Setelah itu, jika UU lama dianggap lebih sesuai dengan konstitusi, baru Anda dapat mendalilkan argumen tersebut,” kata Arief.
Penyesuaian bukti
Selain itu, karena gugatan tersebut didaftarkan sebelum UU diberi nomor dalam lembaran negara, bukti yang diserahkan kepada majelis tidak lengkap. Majelis panel meminta agar pemohon memperbaiki berkas tersebut. UU yang diuji harus dilengkapi dengan keterangan nomor dalam lembaran negara agar tidak salah obyek perkaranya.
Hakim panel Manahan MP Sitompul menambahkan, pemohon diminta untuk menguraikan dalil pasal-pasal yang diuji dengan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945. Uraian harus dijelaskan secara jelas dan rinci dalam permohonan. Demikian juga dengan petitum yang diajukan oleh pemohon. Harus dilihat bagaimana konsekuensi hukumnya ke depan. Pemohon misalnya, meminta sejumlah pasal dihilangkan apabila terbukti bertentangan dengan konstitusi. Namun, apabila pasal tersebut dihilangkan akan terjadi kekosongan hukum. Pemohon diminta menyebutkan lebih jelas, bahwa apabila pasal dibatalkan, aturan akan merujuk pada pasal di UU lama.
Sementara itu, hakim panel Wahiduddin Adams mengatakan, bukti-bukti yang diserahkan pemohon kepada majelis panel harus dicermati dan disesuaikan dengan UU yang sudah disahkan dan diberi nomor dalam lembaran negara. Saat pengajuan permohonan, waktu itu belum ada nomor dalam lembaran negaranya. Pemohon juga minta cermat agar tidak keliru karena yang digugat adalah UU Sapu Jagat (Omnibus Law) yang menggabungkan lebih dari 70 kluster UU.
”Ada tiga norma yang akan diuji dengan Pasal 28 D UUD 1945. Ini harus dilihat lagi dengan cermat jangan sampai mengacu pada obyek yang tidak tepat,” kata Wahiduddin.
Petitum
Meminta MK menyatakan Pasal 81 angka 5, angka 19, dan angka 29 UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pemohon juga meminta MK menyatakan frasa ”atau” pada Pasal 88 Ayat (2) dalam Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak dimaknai ”dan” sehingga selengkapnya berbunyi ”Formula perhitungan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memuat variabel pertumbuhan ekonomi dan inflasi”. Pemohon juga meminta MK menyatakan frasa ”paling banyak” pada Pasal 156 Ayat (2) dan Ayat (3) dalam Pasal 81 Ayat (44) UU Cipta Kerja bertentangan dengan konstitusi secara bersyarat jika tidak dimaknai paling sedikit.
Ketua Umum DPP Federasi Serikat Pekerja Singaperbangsa Deni Sunarya dalam petitumnya meminta MK menyatakan Pasal 81 angka 5, angka 19, dan angka 29 UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 sehingga tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Pemohon juga meminta MK menyatakan frasa ”atau” pada Pasal 88 Ayat (2) dalam Pasal 81 angka 25 UU Cipta Kerja bertentangan dengan konstitusi sepanjang tidak dimaknai ”dan” sehingga selengkapnya berbunyi ”Formula perhitungan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) memuat variabel pertumbuhan ekonomi dan inflasi”. Pemohon juga meminta MK menyatakan frasa “paling banyak” pada Pasal 156 Ayat (2) dan Ayat (3) dalam Pasal 81 ayat (44) UU Cipta Kerja bertentangan dengan konstitusi secara bersyarat jika tidak dimaknai paling sedikit.
Terakhir, pemohon meminta agar MA menyatakan Pasal 156 ayat (4) pada Pasal 81 angka 44 UU Cipta Kerja bertentangan dengan konstitusi secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) meliputi cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur, biaya untuk ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja, penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15 persen dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat, hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.