Satu pasal ”ditinggalkan” saat pemerintah dan DPR sepakat mengeluarkan kluster pendidikan dari RUU Cipta Kerja. Mengundang pertanyaan banyak pihak, terutama karena berpotensi melapangkan liberalisasi pendidikan.
Oleh
RINI KUSTIASIH/MEDIANA/IQBAL BASYARI
·6 menit baca
Satu pasal terkait pendidikan ”ditinggalkan” saat pemerintah dan DPR sepakat mengeluarkan kluster pendidikan dari RUU Cipta Kerja. Mengundang pertanyaan banyak pihak, terutama karena dinilai akan melapangkan jalan untuk liberalisasi pendidikan.
Setelah sekitar lima bulan berjalan, pembahasan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja antara Panitia Kerja RUU Cipta Kerja DPR dan perwakilan pemerintah masuk pada kluster pendidikan. Pertengahan September 2020, tepatnya, keinginan pemerintah memasukkan sekitar 38 pasal dari lima undang- undang terkait pendidikan, seperti tertuang dalam RUU Cipta Kerja, mendapatkan respons negatif dari mayoritas anggota Panitia Kerja DPR.
”Kalau melihat usulan pemerintah di draf awal, kan, ngeri sekali itu karena semua jenis pendidikan dikomersialkan. Fraksi-fraksi besar ketika itu juga ikut menolak. Golkar dan PDI-P juga menolak. Kami juga menolak. Di luar, publik juga menyoroti kluster ini,” kata mantan anggota Panitia Kerja (Panja) RUU Cipta Kerja DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Zainuddin Maliki, menceritakan suasana rapat awal saat membahas kluster pendidikan.
Tak hanya dari panja, penolakan masuknya kluster pendidikan di RUU Cipta Kerja kala itu memang banyak disuarakan organisasi pendidikan hingga rektor sejumlah perguruan tinggi.
Aliansi Organisasi Pendidikan, misalnya, menyampaikan 12 alasan yang menjadi dasar penolakan. Salah satunya, kluster pendidikan dalam RUU dinilai membuat bisnis dan dunia usaha menjadi faktor determinan baru dalam pendidikan. Padahal, berdasarkan visi negara dan konstitusi, tugas mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan tidak boleh menempatkan faktor determinan lain atas pendidikan.
Mendapatkan tentangan dari panja plus penolakan publik, pemerintah melunak. Mayoritas pasal di kluster pendidikan di RUU Cipta Kerja disetujui dikeluarkan dari RUU. Meski demikian, khusus Pasal 65 di Paragraf 12 yang mengatur pendidikan dan kebudayaan dibiarkan ditinggalkan di RUU.
Ayat 1 Pasal 65 itu berbunyi, ”Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui perizinan berusaha sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Adapun Ayat 2, ”Ketentuan lebih lanjut pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan sebagaimana dimaksud di Ayat 1 diatur dengan peraturan pemerintah”.
Di dalam draf final UU Cipta Kerja yang dikirim DPR ke Presiden Joko Widodo untuk disahkan, Rabu (14/10/2020), pasal tersebut dilengkapi dengan penjelasan.
Bunyi penjelasan pasal itu, antara lain, ”Yang dimaksud dengan kata ’dapat’ dalam ketentuan ini pada dasarnya kewajiban memenuhi perizinan berusaha tidak berlaku pada sektor pendidikan, kecuali lembaga pendidikan formal di kawasan ekonomi khusus yang diatur tersendiri”.
Menuai pertanyaan
Hanya saja, yang kemudian menjadi persoalan, dipertahankannya Pasal 65 ini baru diketahui setelah draf UU Cipta Kerja beredar di publik. Ini setelah RUU Cipta Kerja disetujui untuk disahkan dalam Rapat Paripurna DPR, 5 Oktober lalu. Pasalnya, sebelumnya, sejumlah anggota panja pernah menyatakan, kluster pendidikan ditarik semuanya dari RUU Cipta Kerja.
Pertanyaan sekaligus kritik bermunculan, terutama dari dunia pendidikan. Salah satunya dari Nahdlatul Ulama melalui Lembaga Pendidikan Maarif.
”Pasalnya ada. Bagaimana dikatakan dicabut?” tanya Ketua LP Maarif Arifin Junaidi.
Ketua Umum Pengurus Besar NU KH Said Aqil Siroj juga menyoroti hal tersebut.
”NU menyesalkan munculnya Pasal 65 UU Cipta Kerja yang memasukkan pendidikan dalam bidang yang terbuka terhadap perizinan berusaha. Ini akan menjerumuskan Indonesia ke kapitalisme pendidikan. Pada gilirannya, pendidikan terbaik hanya dinikmati orang berpunya,” kata Said.
Sebagai contoh, LP Maarif yang berada di bawah naungan NU memiliki sekitar 13.000 madrasah di seluruh Indonesia. Menurut Arifin, jika diwajibkan bagi setiap madrasah itu untuk mengurus izin berusaha, tentu akan sulit dipenuhi. Sebab, sebagai lembaga pendidikan, Maarif bersifat nirlaba.
”Untuk menggaji guru saja, kami di bawah UMR. Kalau merujuk pada pasal itu, mana mungkin kami mengurus izin berusaha. Sebab, yang dimaksud berusaha itu motifnya laba. Adapun kami ini berdiri sejak sebelum ada NKRI dan pendidikan dipandang sebagai hak setiap orang dan bagian pelayanan,” katanya.
Setelah Pasal 65 terkuak dan kritik publik muncul, barulah anggota DPR yang terlibat dalam pembahasan ramai-ramai mengklarifikasi.
Wakil Ketua Baleg DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi mengatakan, sejak awal, Pasal 65 UU Cipta Kerja tidak pernah dihapuskan.
Merujuk pada penjelasan Pasal 65, menurut Baidowi, satuan pendidikan di luar kawasan ekonomi khusus (KEK) tetap mengikuti ketentuan perundang-undangan yang ada. Artinya, semua lembaga pendidikan di luar KEK akan mengikuti UU terkait pendidikan yang ada, bukan aturan baru dalam UU Cipta Kerja.
”Ketika mencabut kluster pendidikan semua dikeluarkan, tetapi harus ada jembatan hukum untuk perizinan berusaha di KEK karena semua yang ada di sana harus sesuai norma, standar, prosedur, dan kriteria,” katanya.
Menurut dia, pengaturan itu tetap diperlukan untuk menjembatani lembaga pendidikan yang didirikan di KEK. Dengan demikian, lembaga pendidikan itu harus mendapatkan izin dari pemerintah pusat.
”Kalau di KEK itu bicara soal bisnis, ekonomi, dan komersialisasi sehingga kita gunakan klausul itu,” ujarnya.
Perjanjian WTO
Sementara dalam rapat saat membahas kluster pendidikan, sekitar pertengahan September lalu, menurut Zainuddin Maliki, pemerintah yang meminta agar Pasal 65 dipertahankan. Alasannya, pasal bagian dari kesepakatan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT), yang mesti diakomodasi oleh Indonesia sebagai anggota dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Kesepakatan GATT termasuk mengikat di dalam sektor pendidikan, yang termasuk dalam ranah bidang usaha jasa. ”Maka, akhirnya muncul kesepakatan tentang Pasal 65,” ujarnya.
Namun, Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nizam mengaku tidak tahu-menahu terkait hal itu.
Yang jelas, menurut dia, izin pendidikan di KEK harus diatur karena bersifat usaha khusus. Kalau tidak diatur, penyelenggaraan pendidikan akan diperlakukan seperti bentuk usaha yang lain di KEK yang prinsip dasarnya komersial. ”Aturan di bawah UU tak bisa mengatur hal yang diatur di UU,” katanya.
Liberalisasi pendidikan
Mengutip riset ”Toward a Liberalization of Trade in Service: The Case of the Higher Education Industry in Indonesia” (Journal of Legal, Ethical, and Regulatory Issues, 2018, volume 21, issue 4), sejak diratifikasinya perjanjian WTO dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1995, Indonesia memiliki kewajiban hukum untuk meliberalisasi secara progresif sektor jasa, termasuk industri pendidikan tingginya.
Kenang Kelana, pegiat pedagogik dari Taman Pembelajar Rawamangun, khawatir adanya Pasal 65 akan semakin membuka jalan untuk liberalisasi pendidikan.
Adapun Ketua Yayasan Budi Luhur Bambang Pharmasetiawan khawatir keberadaan Pasal 65 akan menciptakan sistem ganda pendidikan, yakni yang berlaku di KEK dan di luar KEK. Ini dinilainya berpotensi memicu diskriminasi.
Kepala SMK Swasta Penerbangan Radi Intan Bandar Lampung Suprihatin pun mengungkapkan kegelisahannya. ”Jika ada pengaturan izin usaha sektor pendidikan, kami khawatir efeknya, seperti harus izin baru dan bayar pajak. Sementara sejauh ini, sekolah swasta kecil mengalami perlakuan diskriminasi, seperti bantuan rehabilitasi yang timpang,” ucapnya.
Pengajar Ilmu Perundang-undangan Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono, menilai, Pasal 65 RUU Cipta Kerja sebagai anomali. ”Seharusnya jika sudah sepakat tidak mengubah kluster pendidikan, pasal itu tidak perlu ada. Justru membuat ketidakpastian hukum,” katanya.
Ia meyakini pasal tersebut akan menjadi salah satu pasal di UU Cipta Kerja yang diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sebab, pengaturan terkait sektor itu berkaitan dengan izin berusaha yang dinilainya bakal menghilangkan prinsip nirlaba dalam lembaga pendidikan.