Dalam sehari, beredar dua draf UU Cipta Kerja yang berbeda. Hal ini memunculkan dugaan adanya perubahan atas RUU itu meski telah disetujui untuk disahkan menjadi UU.
Oleh
RINI KUSTIASIH/AGNES THEODORA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Setelah disetujui untuk disahkan menjadi undang-undang pada Rapat Paripurna DPR, draf Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang beredar di masyarakat justru berubah-ubah. Jika perubahan ini benar terjadi dan dilakukan setelah melalui pengesahan dalam Rapat Paripurna DPR, akan membuat regulasi yang dibentuk dengan mekanisme omnibus law itu berpotensi cacat formil.
Setelah RUU Cipta Kerja disetujui untuk disahkan menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR pada 5 Oktober lalu, hingga Senin (12/10/2020), Kompas menerima tiga draf UU itu.
Draf pertama setebal 905 halaman diperoleh dari unsur pimpinan Badan Legislasi (Baleg) DPR, Achmad Baidowi dan Willy Aditya, pada 5 Oktober. Saat itu, keduanya menyebutkan substansi dalam draf itu merupakan yang disetujui dalam rapat paripurna. Namun, draf belum dapat diakses oleh publik karena, menurut mereka, ada kesalahan penulisan kata serta kurangnya tanda baca di dalam draf sehingga masih perlu diperbaiki. Adapun substansi dijanjikan tidak berubah.
Senin pagi, Kompas menerima draf UU dengan jumlah 1.035 halaman dari Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar. Indra mengatakan, draf itu hasil perbaikan oleh Baleg DPR pada Minggu (11/10) malam. Ia pun menyebutkan draf itu draf final yang akan dikirim ke Presiden Joko Widodo untuk ditandatangani dan disahkan.
Namun, pada Senin malam, Indra kembali menyampaikan draf UU.
Kali ini jumlah halaman pada draf menyusut menjadi total 812 halaman. Alasannya, bentuk format kertas diganti, dari semula berbentuk format kertas A4 menjadi legal. ”Ini draf yang final. Sudah tidak akan ada lagi rapat perbaikan draf oleh Baleg karena sudah selesai,” katanya.
Menurut Indra, perbaikan draf dilakukan oleh Baleg DPR bersama tenaga ahli Baleg.
Perubahan substansi
Selain dari jumlah halaman, hasil pengecekan Kompas, juga ada perbedaan sejumlah substansi di tiga draf tersebut. Misalnya, aturan pesangon. Pasal 156 dalam draf versi 905 halaman mengatur, pemberian pesangon saat terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) diberikan ”paling banyak” 19 kali upah sesuai dengan masa kerja. Pada draf 1.035 halaman, frasa ”paling banyak” dihapus. Sebagai gantinya, diberikan frasa ”dengan ketentuan”. Frasa ”dengan ketentuan” itu kemudian dipertahankan dalam draf versi 812 halaman.
Perubahan juga terjadi pada bunyi Pasal 156 Ayat 1. Di draf 905 halaman disebutkan, pengusaha wajib membayar pesangon bagi buruh yang terkena PHK. Namun, aturan ini berubah di draf 1.035 halaman sehingga kewajiban pengusaha membayar pesangon hanya dalam kondisi-kondisi tertentu, seperti disebutkan pada Pasal 154A. Selanjutnya, pada draf 812 halaman, kondisi-kondisi tertentu itu dihapus sehingga bunyi pasal kembali seperti pada draf 905 halaman.
Terkait draf terbaru dengan 812 halaman, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Golkar Azis Syamsuddin mengatakan, dirinya belum mengetahui hal itu. ”Coba cek di kesekjenan,” ujarnya.
Sementara Wakil Ketua DPR dari Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengonfirmasi draf UU itu 1.035 halaman, Senin siang. ”Halamannya betul, tetapi isinya saya mesti lihat dulu,” katanya.
Anggota Baleg DPR dari Golkar, Firman Soebagyo, meminta publik bersabar. ”DPR memiliki waktu tujuh hari untuk melihat kembali dari sisi penyusunan. Jangan sampai ada typo (salah ketik) atau ada bahasa asing,” katanya.
Namun, Firman menegaskan tidak boleh ada perubahan substansi karena telah disepakati dalam rapat paripurna. ”Perbaikan tidak mengubah substansi. Tidak boleh mengurangi dan menambah substansi,” ujarnya.
Sebaliknya, Sekretaris Jenderal Kementerian Ketenagakerjaan Anwar Sanusi mengonfirmasi telah ada perubahan bunyi pasal setelah RUU disetujui untuk disahkan. Tim dari Kemenaker, menurut dia, dilibatkan dalam proses merapikan redaksional draf UU dengan DPR setelah RUU itu disetujui untuk disahkan menjadi UU dalam rapat paripurna.
Soal pasal pesangon, sebagai contoh, perubahan agar tidak merugikan pihak mana pun atau sebagai jalan tengah.
”Mungkin begini, jangan sampai (pemilihan kata) itu terlalu mengunci. Kalau kita membatasi paling banyak, tentu ada yang dirugikan. Kalau kita membatasi paling sedikit, juga ada yang dirugikan. Jadi, ya, sudah kita buat kalimat yang tidak usah menggunakan kata-kata itu,” ujar Anwar.
Ketentuan tentang pesangon dalam RUU Cipta Kerja menjadi hal yang diprotes buruh. Pasalnya, pesangon itu lebih rendah daripada yang diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Berubah-ubahnya draf UU Cipta Kerja serta tidak adanya kepastian draf ini dinilai menyalahi ketentuan dan berpotensi cacat formil ketika diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK).
”Paripurna adalah institusi tertinggi pengambilan keputusan dalam penyusunan UU. Artinya, ketika RUU sudah diketok, tak ada lagi pembahasan apa pun terhadap RUU itu, apalagi ada perubahan substansi. Kalau itu terjadi, artinya makna paripurna sebagai pengambilan putusan akhir gugur,” kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Asep Warlan Yusuf.
Perbaikan tanda baca dan tata bahasa, apalagi substansi, semestinya sudah tuntas sebelum rapat paripurna.
Perubahan substansi, lanjut Asep, menimbulkan ketidakpastian hukum dan itu mengabaikan tata cara perundang-undangan yang baik.
Pengajar hukum tata negara Universitas Andalas, Charles Simabura, menilai, dugaan perubahan yang terus terjadi melanggar asas konstitusionalisme.
"Semestinya tidak boleh berubah seusai rapat paripurna. Penambahan dan pengurangan substansi itu tugas DPR dan pemerintah. Kok, ini dilakukan tertutup oleh Baleg dan tim tertentu?” tanyanya.
Dengan berubah-ubahnya RUU Cipta Kerja, wajar jika publik mempertanyakan draf RUU sebenarnya yang disahkan dalam rapat paripurna.
”Ini berpotensi cacat formil dan bukan naskah yang disetujui di dalam rapat paripurna, melainkan diedit oleh tim editing yang tidak ada kewenangan mengubah dan menambah UU,” ujar Charles.
(Catatan Redaksi: Naskah berita ini telah mengalami perubahan. Pada berita yang tayang sebelumnya disebutkan, jumlah halaman pada draf UU Cipta Kerja berkurang menjadi 812 halaman karena bentuk format kertas diganti, dari semula berbentuk format kertas legal menjadi A4. Seharusnya, perubahan dari A4 menjadi legal.)