Disahkannya RUU Cipta Kerja menunjukkan meredupnya kepekaan politik anggota DPR serta lenyapnya compassion terhadap kesulitan rakyat. Kekecewaan publik bisa diarahkan ke Mahkamah Konstitusi.
Oleh
Budiman Tanuredjo
·4 menit baca
Mendengar. Cara itulah yang diambil sejumlah gubernur menghadapi unjuk rasa RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menemui pendemo, mendengar aspirasi dan berkirim surat kepada Presiden Joko Widodo. Gubernur DI Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono X menerima pendemo di Kantor Gubernur dan berjanji menyampaikan aspirasi kepada pemerintah pusat. Langkah serupa diambil Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Tengah Gandjar Pranowo, dan Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa.
Unjuk rasa menolak RUU Cipta Kerja yang sudah disahkan DPR terjadi di sejumlah tempat. Perusakan sejumlah fasilitas umum terjadi. Aksi kekerasan tak terhindarkan. Bentrok sesama anak bangsa, Polri dan pendemo, tentu amat disesalkan. Ibu Pertiwi sedang lara.
Esensi demokrasi adalah mendengar dan berdialog, termasuk mendengarkan suara rakyat. Pendemo mungkin saja belum membaca RUU Cipta Kerja yang begitu tebal. Selain bahasa undang-undang yang sulit, draf finalnya juga tidak tersedia. Hoaks yang dituding sebagai penyebab unjuk rasa, boleh jadi karena kegagalan komunikasi politik DPR dan pemerintah. Mengapa anggota Badan Legislasi DPR yang mewakili daerah pemilihan tidak menyosialisasikan RUU tersebut dan mendengarkan aspirasi konstituennya?
Akumulasi kekecewaan terasa. Di tengah pengapnya situasi dan beratnya beban ekonomi, mendengar saja memberi kelegaan. Rentetan kekecewaan berturut karena aspirasi tak ditanggapi. Keberatan masyarakat sipil atas revisi UU KPK tidak didengar. Usulan agar pilkada serentak 9 Desember 2020 ditunda karena pandemi Covid-19 diabaikan. Pertanyaan atas urgensi revisi UU MK yang memperpanjang masa jabatan hakim konstitusi tak digubris. Keberatan anggota DPR saat hendak pengesahan RUU Cipta Kerja direspons dengan matinya mikrofon.
Meminjam pandangan Yudi Latief, ”Demokrasi Tanpa Hikmat Kebijaksanaan” (Kompas, 30/9/2014), demokrasi Pancasila bekerja dalam kerangka etis cita kerakyatan, cita permusyawaratan, dan cita hikmat-kebijaksanaan. Cita kerakyatan hendak menghormati suara rakyat; dengan memberikan jalan bagi peranan dan pengaruh besar rakyat dalam pengambilan keputusan oleh pemerintah. Cita permusyawaratan memancarkan kehendak menghadirkan negara persatuan yang dapat mengatasi paham perseorangan dan golongan, dengan mengakui ”kesederajatan/persamaan dalam perbedaan”.
Cita hikmat-kebijaksanaan merefleksikan orientasi etis bahwa ”kerakyatan” yang dianut bangsa Indonesia bukan kerakyatan yang mencari suara terbanyak semata, melainkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Orientasi etis (hikmat-kebijaksanaan) ini dihidupkan melalui daya rasionalitas, kearifan konsensual, dan komitmen keadilan yang menghadirkan sintesis terbaik.
Disahkannya, RUU Omnibus Law Cipta Kerja menunjukkan meredupnya kepekaan politik (political sensibility) anggota DPR serta lenyapnya compassion terhadap kesulitan rakyat. Padahal, tidak ada ruginya menunda terlebih dahulu pengesahan sambil menyosialisasikan naskah RUU kepada pubik sebelum keputusan diambil. Demokrasi kita terlalu elitis.
Apa pun, pengesahan RUU Omnibus Law Cipta Kerja sudah menjadi fakta politik. DPR telah mengambil keputusan. Kekecewaan publik bisa diarahkan ke Mahkamah Konstitusi (MK). Uji materi bisa menjadi ujian pertama bagi hakim konstitusi setelah pemerintah dan DPR memberikan ”hadiah” perpanjangan masa pensiun hakim konstitusi. Hakim MK pensiun sampai usia 70 tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 tahun.
Membawa perlawanan politik ke MK butuh kesabaran dan ketelitian hukum. Sebaiknya menunggu sampai Presiden Jokowi menandatangani RUU Cipta Kerja. Pada November 2020, tiga puluh hari setelah diterima Presiden, UU itu akan berlaku.
Pertarungan di MK adalah pertarungan dalil dan konstruksi hukum. Apakah itu uji formil ataupun uji materiil. Tak bisa hanya sekadar menolak undang-undang, tanpa argumen. Bangunan argumen harus didasarkan apakah sebuah pasal bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Pertarungan di MK adalah pertarungan uji konstitusionalitas pasal. Berserah kepada Mahkamah.
Penolakan RUU setelah disetujui DPR, bukan kali ini saja terjadi. Revisi UU KPK ditolak. Pemerintah berargumen revisi UU KPK untuk menguatkan KPK, sedangkan masyarakat berpendapat revisi UU KPK melemahkan KPK. Entah siapa yang betul. Faktanya, setelah setahun UU KPK hasil revisi berjalan, KPK kehilangan taji. Kepercayaan publik kepada KPK menurun. Sejumlah pegawai keluar, sementara putusan MK soal uji materi UU KPK hasil revisi tak kunjung turun sampai sekarang.
Pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah terjadi. Kompas menulis pada 27 September 2014 dengan judul ”Warisan Buruk Rezim SBY: RUU Pilkada Produk DPR Abaikan Suara Rakyat”. Revisi UU Pilkada disetujui DPR yang mengubah sistem pemilihan langsung ke DPRD. Saat itu, Fraksi Partai Demokrat walkout saat voting, membuat pendukung pilkada langsung kalah suara.
Sebelumnya, dari Amerika Serikat, Presiden SBY mengatakan, ”Berat bagi Saya Tandatangani UU Pilkada” (Kompas, 26/9/2014). Ia kemudian menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang dan mengembalikan pemilihan kepala daerah kepada rakyat.
Bagaimana sekarang? Ya, kita tunggu saja karena setiap pemimpin punya cara sendiri.