Gejolak UU Cipta Kerja di Sejumlah Daerah, Azyumardi: Ketidakpercayaan Meluas
Menyusul gejolak di sejumlah daerah akibat UU Cipta Kerja, Presiden Joko Widodo diminta untuk membuka ruang dialog. Selain itu, kepolisian diminta tidak bertindak eksesif dalam mengamankan unjuk rasa.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO/EDNA C PATTISINA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Menyusul gejolak di sejumlah daerah sebagai bentuk protes terhadap Undang-Undang Cipta Kerja, Presiden Joko Widodo diharapkan mau membuka ruang dialog. Jika ruang dialog tidak dibuka, unjuk rasa dikhawatirkan akan berlanjut dan bertambah parah.
Unjuk rasa terhadap Undang-Undang (UU) Cipta Kerja terjadi di sejumlah daerah, seperti DKI Jakarta, Riau, Sumatera Utara, Jambi, Sumatera Selatan, Jawa Timur, Yogyakarta, Makassar, Balikpapan, Banjarmasin, dan Nusa Tenggara Barat. Bahkan, di beberapa daerah tersebut, massa aksi terlibat bentrokan dengan aparat kepolisian. Sejumlah fasilitas publik ikut dirusak massa.
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Azyumardi Azra, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (8/10/2020), mengatakan, Presiden Jokowi seharusnya mengundang segenap pihak yang kecewa dengan UU Cipta Kerja untuk berdialog.
Pihak-pihak tersebut antara lain pimpinan serikat buruh, organisasi kemasyarakatan, serta dosen dan guru besar di perguruan tinggi, yang ikut menolak pengesahan undang-undang tersebut.
Dialog tidak boleh diwakilkan oleh para menteri Kabinet Indonesia Maju karena UU Cipta Kerja merupakan usulan Presiden. Dialog pun harus bersifat rekonsiliatif sehingga tetap membuka ruang aspirasi bagi publik.
”Saya kira perlu dialog dengan mereka karena dalam masyarakat kita sekarang ini sudah sangat meluas distrust, ketidakpercayaan. Jadi, dialog itu harus betul-betul dari hati ke hati. Presiden juga harus mampu mendengarkan. Dialog tak boleh berubah menjadi monolog, artinya maunya sendiri saja. Kalau itu terjadi, saya kira itu akan kontraproduktif,” tutur Azyumardi.
Dialog tak boleh berubah menjadi monolog, artinya maunya sendiri saja. Kalau itu terjadi, saya kira itu akan kontraproduktif.
Selain itu, dengan kuatnya penolakan publik atas UU Cipta Kerja, ia menyarankan agar Presiden tidak terburu-buru menandatangani UU Cipta Kerja.
”Bijak kalau Presiden menunda UU yang disahkan DPR. Saya kira Presiden akan kehilangan muka kalau mengeluarkan perppu. Jadi, yang mungkin membuat dia tidak kehilangan muka, ya, ditunda dulu sementara sampai suasananya lebih kondusif dan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat juga semakin berkurang,” ucap Azyumardi.
Azyumardi juga mengimbau kepada tokoh-tokoh dan pemimpin demonstran agar bisa mengendalikan massanya supaya tidak bertindak anarkistis. Sebab, tindakan anarkistis berujung pada perusakan fasilitas umum sehingga merugikan publik. ”Demo boleh saja, tetapi jangan anarkis,” katanya.
Kepolisian juga diharapkan tidak bertindak brutal. Kepala Polri dimintanya agar menginstruksikan kepada jajaran kepolisian di lapangan supaya tetap melakukan tindakan pengamanan secara terkontrol dan terukur.
”Jangan melakukan tindakan-tindakan yang berlebihan. Jadi kami mengimbau kepada aparat kepolisian supaya lebih bisa menahan diri dan menekankan dialog dengan pimpinannya (massa). Jangan main kekerasan,” tutur Azyumardi.
Secara terpisah, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga meminta agar ruang dialog dibuka antara pihak yang pro, dalam hal ini pemerintah dan DPR, dengan pihak yang kontra terhadap UU Cipta Kerja, dalam hal ini buruh, mahasiswa, dan pelajar.
”DPR dan pemerintah diharapkan membuka dialog yang sejati dengan masyarakat secara luas sesuai dengan prinsip transparansi dalam pembahasan UU ini,” ucap Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik.
Ia juga mengingatkan agar Polri memberikan perlindungan terhadap seluruh masyarakat, tanpa diskriminasi, untuk berpendapat dan berekspresi.
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsari, mengatakan, salah satu penyebab dari aksi massa yang marak adalah buntunya kanal-kanal dialog antara pihak yang menyusun undang-undang dan pemangku kepentingan lain. Oleh karena itu, ruang dialog penting untuk dibuka. ”Semua level perlu buka ruang dialog, dari pusat, pemda, dan DPRD, agar ada pertukaran gagasan,” ucapnya.
Bukti keprihatinan
Sementara itu, Koalisi Masyarakat Sipil, di antaranya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, dan Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), mengecam keras tindakan represif yang dilakukan oleh kepolisian terhadap massa yang berunjuk rasa menentang UU Cipta Kerja di sejumlah daerah.
Koalisi juga menyayangkan sikap DPR dan pemerintah yang tak membuka ruang dialog dengan publik sebelum mengesahkan UU Cipta Kerja.
Wakil Departemen Kampanye Walhi Edo Rahman menyampaikan, aksi demonstrasi terjadi akibat pengabaian suara buruh saat pembahasan UU Cipta Kerja. ”Ini adalah bentuk pengkhianatan pemerintah dan DPR sebab (UU Cipta Kerja) ini tetap dipaksakan untuk disahkan,” ucap Edo.
Jumisih dari FBLP pun menyesalkan tindakan kepolisian yang mulai menyerang posisi barisan massa aksi. Ia meminta kepolisian menghentikan tindakan represif tersebut agar tidak menimbulkan korban lebih banyak.
”Kami minta stop represi rakyat di tengah rakyat melakukan perlawanan. Ini bagian dari hak konstitusional warga mengkritik kebijakan publik. Itu menunjukkan ruang demokrasi hidup,” ucapnya.