Demo di Simpang Harmoni Ricuh, Mahasiswa Nilai Ada Provokator
Massa perusuh malah melemparkan batu ke arah mahasiswa yang mendekati untuk membujuk mereka menghentikan aksinya.
Oleh
Johanes Galuh Bimantara
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Demonstrasi yang dimotori mahasiswa di persimpangan Harmoni, Jakarta Pusat, Kamis (8/10/2020) siang, berujung bentrokan antara massa pengunjuk rasa dan polisi. Kelompok mahasiswa menilai ada provokator yang memanasi sebagian peserta aksi untuk melempari petugas.
Dari arah massa pendemo, lemparan batu dan botol datang ke barisan polisi berperisai. Selain itu, kaca-kaca pada pos polisi di persimpangan Harmoni juga dipecahkan. Karena dinilai sudah anarkistis, polisi memukul mundur massa dengan mengerahkan mobil penembak gas air mata dan kendaraan meriam air.
Pengunjuk rasa mundur ke tiga arah, yaitu ke Jalan Gajah Mada, Jalan Suryopranoto, dan Jalan Ir Juanda. Batu-batu terus dilemparkan ke arah petugas. Namun, kelompok mahasiswa berupaya berdamai dengan duduk di jalan dan meminta kelompok massa yang lain berhenti melempar.
Sambil ada yang berorasi, terdapat mahasiswa yang meneriaki pengunjuk rasa yang terus melempar batu agar menghentikan aksi mereka. Bahkan, ada yang membakar berbagai benda di jalan, termasuk logam pembatas jalan.
”Kalau menurut saya, itu karena ada provokatornya,” kata perwakilan mahasiswa dari Semarang, Jawa Tengah, Aska Muqorobin.
Mereka menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi UU karena menilai keputusan itu akan membuat kalangan menengah ke bawah semakin dirugikan, termasuk para buruh dan pedagang.
Aska menceritakan, ia bersama seorang rekannya berusaha membujuk peserta aksi yang mundur ke Jalan Gajah Mada. Namun, keduanya malah ikut dilempari batu. ”Mereka mengaku mahasiswa, tetapi tidak memakai almet (almamater). Mereka terus menyerang kami. Ya sudah, kami di belakang polisi, kami mundur saja,” ujarnya.
Aska menambahkan, dari pihak mereka, para mahasiswa dikoordinasi oleh Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia dan datang dari banyak daerah. Ada pula mahasiswa yang berasal dari kampus di Sumatera.
Mereka menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menjadi UU karena menilai, keputusan itu akan membuat kalangan menengah ke bawah semakin dirugikan, termasuk para buruh dan pedagang.
Sidang Paripurna DPR pada Senin (5/10/2020) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, menyetujui RUU Cipta Kerja disahkan menjadi UU. Pertentangan pendapat terkait RUU ini terus berlanjut dan penolakan memicu aksi unjuk rasa di banyak lokasi di Indonesia. Penolakan muncul karena RUU Cipta Kerja dinilai memangkas hak-hak buruh.
Di Jakarta, personel gabungan fokus menjaga agar demonstrasi tidak terjadi di area dua obyek vital nasional, yaitu kawasan Kompleks Parlemen serta di kawasan Istana Negara dan Istana Merdeka.
Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Yusri Yunus mengatakan, sejak Senin lalu, polisi tidak memberikan izin demo dengan tidak mengeluarkan surat tanda terima pemberitahuan (STTP) bagi penyelenggara unjuk rasa yang mengajukan pemberitahuan aksi di sekitar Kompleks Parlemen dan Istana.
Alasan utamanya, Jakarta sedang dalam kondisi darurat penyebaran Covid-19 sehingga aksi pengumpulan massa dikhawatirkan memicu pembentukan kluster penularan baru. ”Kalau terjadi kumpulan banyak, itu bisa membawa kluster-kluster baru,” tutur Yusri.
Mencegah adanya aksi rusuh, polisi merazia dan mengumpulkan remaja yang mencurigakan di jalan. Ketika memeriksa ponsel mereka, polisi menemukan adanya undangan berdemo. Mereka pun diperiksa dan petugas mendalami aktor-aktor yang menggerakkan anak-anak muda itu untuk ikut aksi meski banyak yang tidak paham isu yang diperjuangkan buruh serta mahasiswa.
Yusri menyebutkan, hingga Kamis siang, 150-an remaja dibawa polisi dan diperiksa. Seperti prosedur yang dijalankan kemarin Rabu (7/10/2020), Polda Metro Jaya mengikutkan para remaja itu dalam tes cepat Covid-19. Hasilnya, 10 orang reaktif sehingga harus menjalani tes usap untuk memastikan positif atau tidaknya mereka tertular SARS-CoV-2.
Adapun pada Rabu, petugas mengumpulkan 251 remaja mencurigakan, dengan 12 di antaranya reaktif tes cepat. Dengan demikian, sudah 22 remaja yang dinyatakan reaktif. Jumlah ini kemungkinan bertambah dengan kericuhan di sejumlah lokasi di Jakarta yang berlangsung hingga Kamis malam.
Yusri kemudian memperbarui bahwa Polda Metro Jaya dan jajaran mengamankan hampir 1.000 orang, mulai dari tahap pencegahan demo hingga aksi yang sudah terjadi dan telanjur berujung ricuh di sejumlah tempat. Mereka diduga hanya ingin membuat kerusuhan dan menunggangi kelompok buruh serta mahasiswa. Selain itu, sejauh ini ada enam anggota Polri yang terluka karena kerusuhan itu.
Terkait adanya anak di bawah umur yang terlibat aksi, Jasra Putra, komisioner Bidang Hak Sipil dan Partisipasi Anak Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), mengimbau orangtua dan pendamping anak untuk tidak melibatkan anak dalam demonstrasi, apalagi isu yang disampaikan menurut dia adalah isu orang dewasa. Selain itu, para orangtua dan wali diminta memastikan anak-anak tetap di rumah dalam pengawasan.
”Bagaimanapun, tempat anak-anak bukan di jalan, berhari hari. Itu sangat membahayakan bagi keselamatan dan perkembangan tumbuh kembangnya ke depan,” kata Jasra melalui keterangan tertulis. Apalagi, melihat kondisi di lapangan seperti sekarang, tidak mungkin mengontrol penerapan protokol kesehatan agar anak-anak yang berada di sana aman dari penularan Covid-19.