Setelah RUU Mahkamah Konstitusi disetujui DPR dan pemerintah, sejumlah kalangan bereaksi. UU tersebut berpotensi menjadikan kekuasaan kehakiman tak terkontrol (yuristokrasi). Alasannya, jabatan itu bisa tak terkontrol.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah berpotensi menjadikan kekuasaan kehakiman tidak terkontrol atau yuristokrasi. Pasalnya, masa jabatan yang panjang itu tidak diimbangi dengan mekanisme kontrol dan pengawasan etik yang kuat. Hakim berpotensi menafsirkan konstitusi dengan bias kepentingan mereka tanpa adanya kontrol memadai dari dewan etik maupun publik.
RUU MK resmi disetujui di dalam rapat paripurna DPR, Selasa (1/9/2020), di Jakarta. Dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPR dari Fraksi Gerindra Sufmi Dasco Ahmad ini, Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU MK Adies Kadir melaporkan tahapan pembahasan RUU MK yang dimulai pada 24 Agustus dan selesai pada pembicaraan tingkat pertama, 31 Agustus. Praktis, jika dihitung dengan pengesahannya di dalam rapat paripurna, Selasa, RUU MK tuntas dibahas dalam tujuh hari. Pembahasan RUU ini jauh lebih cepat daripada pembahasan RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tahun 2019, yang selesai dalam 12 hari.
RUU MK mengubah usia minimal hakim MK, yakni dari 47 tahun menjadi 55 tahun. RUU MK juga mengatur usia pensiun hakim 70 tahun. Pengaturan itu berbeda dengan UU MK yang ada sekarang karena UU lama menyatakan hakim terpilih dalam satu periode, yakni lima tahun, dan dapat dipilih kembali untuk satu periode. Maksimal hakim konstitusi menjabat 10 tahun. Namun, di dalam revisi UU MK yang baru disahkan, seorang hakim dapat menjabat 15 tahun.
Aturan peralihan di dalam RUU MK juga mengatur terkait dengan hakim konstitusi yang saat ini menjabat. Aturan peralihan menyatakan hakim konstitusi yang menjabat saat ini dianggap memenuhi syarat yang diatur menurut revisi UU MK, dan padanya berlaku usia pensiun hingga 70 tahun selama masa jabatannya tidak melebihi 15 tahun.
Kemerdekaan kekuasaaan kehakiman merupakan salah satu pilar utama terselenggaranya negara hukum sebagaimana diamanatkan Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945. Namun, kemerdekaan kekuasaan kehakiman tetap perlu diatur guna mencegah terjadinya tirani yudikatif dalam penyelenggaraan negara yang demokratis.
Dalam pendapat akhirnya, Presiden Joko Widodo yang diwakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly menyetujui RUU MK tersebut dan mengapresiasi kerja-kerja pembahasan yang dilakukan bersama antara pemerintah dan DPR.
”Kemerdekaan kekuasaan kehakiman merupakan salah satu pilar utama terselenggaranya negara hukum sebagaimana diamanatkan Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945. Namun, kemerdekaan kekuasaan kehakiman tetap perlu diatur guna mencegah terjadinya tirani yudikatif dalam penyelenggaraan negara yang demokratis,” kata Yasonna.
Oleh sebab itu, pemerintah berpandangan, pengaturan mengenai jaminan kemerdekaan kekuasaan kehakiman di Indonesia, khususnya dalam konteks MK sebagai penafsir tunggal konstitusi, dan penjaga konstitusi perlu dilakukan. Pemerintah berharap RUU MK itu dapat menjadi landasan yuridis mengenai sejumlah hal, yakni syarat untuk menjadi hakim konstitusi, dan syarat serta mekanisme pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi yang lebih baik.
Potensi penyalahgunaan
Berbeda dengan harapan pembentuk UU, sejumlah pakar hukum tata negara (HTN) justru khawatir perpanjangan masa jabatan hakim konstitusi menjadi 15 tahun atau pensiun hingga 70 tahun ini menimbulkan kekuasaan hakim yang tak terbatas. Mekanisme evaluasi dan pengawasan kode etik yang lemah selama hakim menjabat 15 tahun menjadi faktor yang dikhawatirkan memicu penyalahgunaan kewenangan, bahkan korupsi.
”Jika masa jabatan hakim panjang, tetap harus ada mekanisme untuk mengawal, misalnya dengan membuat mekanisme pemakzulan (impeachment) dan pengawasan etik yang baik. Sayangnya, saat ini mekanisme itu belum dibangun, sehingga secara teoritik kondisi ini dapat menimbulkan yuristokrasi, yakni hakim berkuasa penuh,” kata Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari.
Fenomena yuristokrasi itu, lanjut Feri, akan berdampak pada abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan. Pasalnya, kekuasaan yang besar dan hampir tidak terkontrol rentan menjerumuskan kekuasaan itu pada korupsi. ”Tanpa evaluasi, semua akan menjadi terlalu kuat sehingga asas Lord Acton yang mengatakan kekuasaan mutlak itu akan korup sepenuhnya bukan tidak mungkin akan terjadi,” katanya.
Feri mengatakan, dampak lain pengesahan RUU MK ini ialah marwah lembaga yang tercoreng. Sebab, dalam pembentukan RUU MK ada kecurigaan publik terkait dengan kesepakatan-kesepakatan tidak tertulis, bahkan disinyalir ada barter politik, yang membuat RUU MK ini diselesaikan cepat-cepat sekalipun susbtansinya dinilai tidak mendesak dibahas. Setiap putusan MK akan sulit dilepaskan dari kaitan dengan kepentingan pembentuk UU.
”Nuansa bahwa perpanjangan masa jabatan ini kuat relasinya dengan kepentingan DPR dan pemerintah sulit dihindari. Apalagi, MK menentukan siapa yang duduk di DPR maupun eksekutif pada sengketa pemilu lalu. Belum lagi soal UU kontroversial yang sedang disidangkan di MK, DPR dan pemerintah adalah para pihak,” katanya.
Rembesan kepentingan
Menurut pengajar HTN dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, kepentingan politik pun berpotensi mudah merembes melalui hakim MK dengan hadirnya RUU MK ini. Masa jabatan 15 tahun menjadi nilai tawar yang menggiurkan bagi setiap calon hakim yang diseleksi, baik dari DPR, pemerintah, maupun Mahkamah Agung (MA). Padahal, sementara ini pengaturan mengenai seleksi hakim MK tidak diatur dengan detail dan diserahkan kepada lembaga pengusul. Setiap lembaga menerapkan cara seleksi yang berbeda-beda untuk menentukan hakim MK.
”Karena ada tiga orang dari DPR, dan ada tiga orang dari presiden, ini (masa jabatan 15 tahun) akan menjadi posisi tawar mereka,” ujar Bivitri.
Karena ada tiga orang dari DPR, dan ada tiga orang dari presiden, ini (masa jabatan 15 tahun) akan menjadi posisi tawar mereka.
Untuk mencegah potensi itu, sistem di dalam MK yang memungkinkan ”evaluasi kritis” terhadap hakim mesti juga dibangun. Sayangnya, menurut Bivitri, pengawasan etik di MK sangat bermasalah. Salah satunya yang menjadi basis analisis ialah hasil kajian KPK yang disampaikan KPK dalam laporan tahunannya. KPK mengemukakan sejumlah persoalan di dalam pengawasan hakim MK, antara lain lemahnya penjagaan kode etik MK, tidak adanya aturan mengenai benturan kepentingan di MK, serta tidak cukup kuatnya prinsip-prinsip etik menjadi pedoman hakim MK.
Begitu halnya di dalam draf RUU MK yang disetujui pemerintah dan DPR, pembahasan mengenai kode etik hanya menyangkut soal penambahan anggota Mahkamah Kehormatan MK, yakni dari unsur akademisi di bidang hukum. Sebelumnya, DPR hanya mengusulkan dua anggota pengawas etik di MK, yakni dari Komisi Yudisial (KY) dan dari hakim MK sendiri.
Pengajar HTN dari Universitas Negeri Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan, selain mengganggu kelembagaan MK, RUU MK juga dikhawatirkan menguatkan potensi tawar-menawar politik di balik perkara-perkara sensitif yang sedang ditangani MK. Dalam jangka panjang, mereka juga akan menangani perkara krusial lainnya, termasuk potensi sengketa Pemilu 2024.
”Pembahasan RUU MK yang tidak sesuai kebutuhan masyarakat, tidak partisipatif, serta tidak jelas arahnya justru mengacaukan konsolidasi demokrasi, dan sistem negara hukum kita,” katanya.