Masyarakat sipil menempuh beberapa cara, seperti aksi jalanan dan menyampaikan dengan disertai data, untuk memengaruhi kebijakan para pemegang kekuasaan.
Oleh
Edna C Pattisina, Nino Citra Anugrahanto, dan Dian Dewi Purnamasari
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Walaupun terhambat oleh situasi pandemi Covid-19 dan ruang dialog publik yang menyempit, masyarakat sipil berupaya untuk meningkatkan posisi tawar dengan berbagai cara, mulai dari aksi massa hingga menguatkan basis data.
Walaupun tidak bisa digeneralisasi, berbagai ruang partisipasi publik dirasa menyempit. Sekelompok elemen masyarakat sipil di Yogyakarta yang menamakan dirinya Aliansi Rakyat Bergerak, yang terdiri dari mahasiswa, LSM, dan buruh, konsisten menggelar aksi unjuk rasa sejak September 2019 meski di tengah situasi pandemi Covid-19. Terdapat kepentingan publik yang besar mengingat rancangan undang-undang sapu jagat atau omnibus law yang terus dibahas. Lewat aksi parlemen jalanan, mereka ingin rancangan peraturan yang diyakini lebih banyak merugikan masyarakat itu tidak disahkan.
”Selama pandemi (Covid-19), kami sudah tiga kali menggelar aksi, yaitu 9 Maret 2020, 16 Juli 2020, dan 14 Agustus 2020. Kenapa akhirnya memutuskan untuk tetap melakukan aksi tersebut? Karena, ada urgensi melakukan penolakan UU Omnibus Law,” kata juru bicara Aliansi Rakyat Bergerak, Lusi.
Aspirasi disuarakan kepada masyarakat langsung di jalanan. Pilihan ini didasari pula kejengahan aliansi yang aspirasinya hanya mentok dalam audiensi.
Aspirasi disuarakan kepada masyarakat langsung di jalanan. Pilihan ini didasari pula kejengahan aliansi yang aspirasinya hanya mentok dalam audiensi. Ada keresahan suara-suara yang disampaikan kepada para wakil rakyat itu tidak benar-benar didengarkan.
Lusi menjelaskan, konsolidasi dengan massa aksi dilakukan secara daring melalui akun media sosial aliansi tersebut. Adapun platform yang digunakan adalah Twitter, Instagram, dan Facebook. Ajakan untuk turun aksi biasanya diunggah dalam bentuk poster yang disertai dengan sejumlah kajian terkait aspirasi yang akan disuarakan dalam unjuk rasa. Siapa saja yang visinya sama boleh bergabung. Ke depan, pihaknya bersama aliansi tersebut akan lebih meningkatkan intensitas edukasi politik.
”Kami akan terus melakukan aksi sampai omnibus law ini digagalkan. Bukan ditunda,” kata Lusi.
Konsolidasi dengan massa aksi dilakukan secara daring melalui akun media sosial aliansi tersebut. Adapun platform yang digunakan adalah Twitter, Instagram, dan Facebook.
Sementara Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani, lembaga nirlaba yang bergerak pada isu toleransi dan kebebasan beragama, mengatakan, isu HAM dan kebebasan sipil masih termarjinalkan. Setidaknya jika dilihat dari orientasi kebijakan negara, baik dalam undang-undang maupun peraturan turunannya. Di dalam kebijakan tersebut belum sepenuhnya mengakui hak asasi manusia secara lebih operasional. Secara normatif, HAM memang diatur dalam jaminan konstitusi. Namun, secara operasional, jaminan kebebasan itu belum terwujud dalam kebijakan publik.
”Misalnya dalam rencana aksi nasional hak asasi manusia (ranham) terbatas pada dokumen perencanaan. Pelaksanaannya tidak diukur secara kontinu dan presisi sehingga isu HAM masih menjadi pinggiran,” kata Ismail.
Untuk bisa memengaruhi para pengambil kebijakan, Ismail mengatakan bahwa kritik yang disampaikan dengan data riset disertai solusi riil lebih efektif. Contohnya adalah Indeks Kota Toleran yang setiap tahun dirilis oleh Setara Institute. Indeks tersebut di antaranya mengukur tentang kebebasan beragama atau berkeyakinan, kesetaraan jender, dan inklusi sosial yang dijamin UU. Selain itu, juga termasuk pernyataan dan tindakan aparatur pemerintah daerah tentang toleransi.
Untuk bisa memengaruhi para pengambil kebijakan, kritik yang disampaikan dengan data riset disertai solusi riil lebih efektif.
Indeks tersebut ternyata disikapi bermacam-macam oleh pemimpin daerah. Ada yang berkonsultasi, kemudian bergegas memperbaiki kebijakan. Ada pula yang menyangkal. Menurut Ismail, hal itu merupakan bagian dari kolaborasi antara LSM dan pengambil kebijakan.
”Pemkot Bogor, misalnya, ketika kami merilis Indeks Kota Toleran, Wali Kota Bima Arya justru datang ke kami dan berkonsultasi bagaimana agar isu kebebasan beragama masuk sebagai rencana pembangunan daerah,” kata Ismail.
Sebatas formalitas
Sementara itu, Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati menuturkan, dalam kegiatan advokasi, meskipun tidak berdasarkan riset ilmiah, LSM selalu berpijak pada kenyataan. LSM mengadvokasi kasus dan fakta-fakta yang terjadi di lapangan yang kadang luput dari radar pantauan penguasa. Menurut dia, justru menjadi pertanyaan, ketika ada fakta yang valid, tetapi masih dipertanyakan keabsahannya oleh pemerintah. Seharusnya pengaduan masyarakat tersebut dapat ditindaklanjuti oleh pengambil kebijakan.
”Sering kali pemerintah tidak mendapatkan gambaran utuh tentang peristiwa. LSM membantu agar kasus-kasus tersebut diselesaikan atau dicarikan solusinya. Jangan sampai hanya karena itu bukan hasil riset menghambat hak warga negara yang setara untuk memberikan kritik dan masukan,” kata Asfinawati.
LSM selalu berpijak pada kenyataan. LSM mengadvokasi kasus dan fakta-fakta yang terjadi di lapangan yang kadang luput dari radar pantauan penguasa.
YLBHI pun banyak terlibat dalam menyuarakan aspirasi maupun advokasi kasus hukum. Pada awal periode kepemimpinan Presiden Joko Widodo, Asfinawati mengaku bahwa pola relasi dan komunikasi saat itu sangat cair. Namun, semakin lama, terutama pada periode kedua, terlihat bahwa komunikasi itu hanya sekadar formalitas, yang tidak menjangkau substansi masalah. LSM hanya diterima, tetapi aspirasinya tidak didengar. Bahkan, akhir-akhir ini pemerintah terlihat semakin represif. Contohnya adalah saat proses revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi.
”Di periode kedua ini juga terjadi lagi. Omnibus law dibahas sembunyi-sembunyi saat masyarakat sedang berfokus pada penanganan pandemi Covid-19. Kami tidak pernah dilibatkan dengan pembahasan, tahu-tahu draf sudah dibawa ke DPR,” kata Asfinawati.
Hal senada disampaikan Haris Azhar dari Lokataru. Ia mengatakan, ada tindakan-tindakan penguasa yang dibungkus oleh protokol Covid-19. Masyarakat sipil, misalnya, jadi sulit untuk menyuarakan aspirasinya dalam bentuk aksi-aksi massa karena ada larangan terkait pandemi. Walaupun alasan pandemi itu nyata, ia berharap agar negara membuat desain yang lebih ramah pada penyampaian aspirasi masyarakat.
”Sekarang untuk bertemu Komnas HAM dan Ombudsman pun sering jadi susah, apalagi kalau saat kantornya tutup,” ujar Haris.
Ia mengatakan, di sisi lain, diskusi di antara masyarakat sipil meningkat dari kuantitas dan jumlahnya. Walaupun ruang maya berbeda dengan ruang nyata, ada banyak masyarakat yang saling berjejaring di tengah pandemi.
Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) August Mellaz mengatakan, untuk bisa mengegolkan agenda-agenda masyarakat sipil, pihaknya mengultivasi informasi yang diperoleh dari internal otoritas. Informasi ini kemudian ditarik ke ruang publik sehingga menjadi wacana publik.
Dengan demikian, kebijakan dan implementasi atas kebijakan yang diambil oleh pemerintah bisa berada di bawah pengawasan publik. Misalnya, bagaimana protokol Covid-19 diterapkan dalam proses pilkada. August mengatakan, pihaknya berusaha mendorong agar aspirasi di beberapa daerah kemudian bisa menjadi isu nasional.
”Jadi, setiap kepala daerah mendapat dorongan untuk merealisasikan programnya,” katanya.