Komisi III DPR: Telusuri Unsur Suap dalam Kasus Joko Tjandra
Komisi III DPR mendesak kepolisian untuk menindak semua orang yang diduga terlibat dalam kasus pelarian Joko Tjandra. Tak hanya itu, polisi diminta menelusuri kemungkinan adanya suap dalam kasus tersebut.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat mendesak kepolisian untuk menindak semua orang yang diduga terlibat dalam kasus pelarian Joko Tjandra. Tak hanya itu, kemungkinan adanya suap kepada oknum-oknum tertentu untuk membantu pelarian terpidana kasus pengalihan hak tagih utang Bank Bali tersebut harus pula ditelusuri.
Ketua Komisi III DPR dari Fraksi PDI-P Herman Hery mengapresiasi kerja Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Azis dan seluruh jajarannya yang berhasil menangkap Joko Tjandra, Kamis (30/7/2020) pekan lalu. Kasus ini mendapatkan perhatian besar dari Komisi III DPR dan tertangkapnya Joko Tjandra tersebut diharapkan tidak menghentikan langkah kepolisian dalam mendalami siapa pun pihak yang terlibat dalam pelarian buronan tersebut.
”Kasus ini merupakan pertarungan marwah penegakan hukum kita dan saya lihat Kapolri sejak awal sangat responsif dan tidak pandang bulu dalam mengusut kasus ini. Tentu publik berharap Polri tidak berhenti sampai di sini saja. Menurut saya, ini merupakan momentum yang baik untuk meningkatkan marwah penegakan hukum kita,” tutur Herman saat dihubungi, Senin (3/8/2020).
Herman mengatakan, setidaknya ada dua hal yang menjadi perhatian publik saat ini terkait Joko Tjandra.
Pertama, Polri harus memastikan mengusut seluruh pihak, baik yang ada di dalam institusi Polri maupun di dalam institusi penegak hukum lainnya, seperti kejaksaan dan keimigrasian, yang diduga terlibat dalam pelarian Joko Tjandra. Kedua, Bareskrim Polri juga didesak mendalami ada tidaknya unsur penyuapan dalam pelarian Joko Tjandra.
”Bareskrim harus mendalami apakah ada unsur penyuapan dalam kongkalikong pelarian ini. Jika ada penyuapan, penindakan dalam kasus ini bisa masuk juga ke dalam ranah tindak pidana korupsi,” kata Herman.
Sebelumnya, Komisi III menginginkan dilakukan rapat gabungan dengan kepolisian, kejaksaan, dan keimigrasian guna membahas kasus pelarian Joko Tjandra. Namun, izin rapat gabungan itu tidak diberikan oleh pimpinan DPR karena adanya keputusan Badan Musyawarah (Bamus) DPR bahwa rapat pengawasan tak dapat digelar di tengah masa reses DPR.
Setelah Joko Tjandra berhasil tertangkap, rencana untuk mengadakan rapat terkait kasus itu pun akan dibicarakan kembali di dalam internal pimpinan Komisi III DPR.
”Akan kami rapatkan dulu di internal pimpinan Komisi III, apakah rapat akan diteruskan ataukah tidak setelah masa sidang dibuka. Hasilnya tergantung keputusan rapim (rapat pimpinan) Komisi III,” ujarnya.
Wakil Ketua Komisi III DPR dari Fraksi Nasdem Ahmad Sahroni mengatakan, semua yang terlibat dengan kasus Joko Tjandra wajib ditindak, siapa pun orangnya. Sebab, setiap orang di mata hukum kedudukannya sama.
”Saya meminta semua penegak hukum, baik Polri, kejaksaan, maupun Kumham (Kementerian Hukum dan HAM) menindak tegas siapa pun oknum di dalam internal lembaganya yang terlibat dengan kasus Joko Tjandra. Semua yang terlibat wajib ditindak, siapa pun orangnya,” ujarnya.
Dalam kasus Joko Tjandra, kepolisian telah menetapkan dua orang sebagai tersangka, yakni kuasa hukum Joko Tjandra, Anita Kolopaking, dan bekas Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Badan Reserse Kriminal Polri Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo. Di sisi lain, jaksa Pinangki Sirna Malasari yang diduga pernah berfoto atau bertemu dengan Joko Tjandra juga sedang diperiksa Kejaksaan Agung dan Komisi Kejaksaan.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Gerindra, Habiburokhman, mengatakan, dalam kasus ini sebaiknya polisi tidak hanya fokus menjerat para tersangka dengan dugaan pemalsuan surat, penggunaan surat palsu, serta membantu atau menolong narapidana lolos dari hukuman.
Dengan hanya fokus pada dugaan tindak pidana itu, konstruksi kasus tidak akan utuh sebab semestinya penegak hukum juga menggunakan pasal di dalam UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Aparat penegak hukum seharusnya menerapkan Pasal 9 UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor. Pasal itu berbunyi, ”Dipidana dengan pidana penjara paling lama paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50 juta rupiah dan paling banyak Rp 250 juta rupiah, pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi”.
”Penerapan Pasal 9 di UU Tipikor itu akan memproses seluruh kegiatan pemalsuan buku-buku atau daftar-daftar khusus untuk pemeriksaan administrasi yang meliputi pemalsuan surat jalan, pemalsuan pencabutan red notice, pemalsuan pembuatan KTP dan paspor. Sekaligus dapat diungkapkan juga di mana peran jaksa Pinangki dalam permasalahan ini,” kata Habiburokhman.
Jika hanya menjerat para tersangka dengan pasal di dalam KUHP, menurut Habiburokhman, peran-peran pihak lain, seperti Pinangki dan bekas Lurah Grogol Selatan Asep Subhan, tidak akan tersentuh.
Sebab, pasal yang digunakan terbatas hanya pada pemalsuan surat jalan dan tidak menyentuh aspek-aspek lain dalam pelarian Joko Tjandra, termasuk pembuatan KTP dan paspor.
Mengenai kemungkinan aparat penegak hukum lainnya yang terlibat dalam kasus ini, Habiburokhman mengatakan, hal itu harus didalami kepolisian. Sebagai contohnya ialah menelisik peranan Pinangki yang diduga pernah berfoto dengan Joko Tjandra.
”Jabatan yang bersangkutan (Pinangki), bukan jabatan jaksa yang menentukan di kejaksaaan. Namun, mengapa dia dapat berfoto dengan Joko Tjandra. Pertanyaannya, apakah ada jaksa lain yang lebih senior terlibat dalam permasalahan ini. Itu yang harus didalami,” ujarnya.