Kuasa Hukum Menilai Penahanan Joko Tjandra Tak Sah
Kuasa hukum Joko Tjandra, Otto Hasibuan, menilai penahanan kliennya oleh Kejaksaan Agung tidak sah. Salah satunya karena dalam amar putusan kasus Joko pada 2009 tidak memuat perintah penahanan Joko.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kuasa hukum Joko Soegiarto Tjandra, Otto Hasibuan, menilai, penahanan kliennya oleh Kejaksaan Agung tidak sah. Karena itu, terpidana kasus pengalihan hak tagih utang Bank Bali tersebut, harus segera dibebaskan. Pandangan ini muncul salah satunya karena dalam amar putusan Joko pada 2009 tidak memuat perintah penahanan terhadap Joko.
Pada 31 Juli 2020, Joko Tjandra telah resmi ditahan oleh Kejaksaan Agung di Rumah Tahanan (Rutan) Salemba cabang Mabes Polri. Penahanan tersebut dilakukan dalam rangka eksekusi Putusan Mahkamah Agung dalam Peninjauan Kembali Nomor 12 PK/PID.SUS/2009.
Namun, menurut Otto, Joko seharusnya dibebaskan karena putusan PK tersebut telah batal demi hukum berdasarkan Pasal 197 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Ia menjelaskan, pada 28 Agustus 2000, Joko telah dinyatakan dilepas dari segala tuntutan hukum berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor perkara 156/Pid.B/2000/PN.JKT.SEL.
Terhadap putusan PN tersebut, jaksa penuntut umum (JPU) mengajukan upaya hukum kasasi, yang kemudian ditolak oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor 1688 K/PID/2000 tertanggal 28 Juni 2001.
”Dengan adanya putusan kasasi yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan kemudian melakukan eksekusi putusan kasasi tersebut dengan mengembalikan barang bukti kepada Joko,” kata Otto melalui keterangan tertulis pada Minggu (2/8/2020).
Delapan tahun kemudian, persisnya pada 2009, jaksa penuntut umum mengajukan PK yang kemudian diputus oleh majelis hakim agung pada 11 Juni 2009. Menurut Otto, upaya hukum ini jelas melanggar dan bertentangan dengan Pasal 263 Ayat (1) KUHAP.
Pasal 263 Ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa suatu putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang telah berkekuatan hukum tetap dikecualikan dari putusan yang dapat diajukan upaya hukum PK. Pasal 263 Ayat (1) KUHAP juga mengatur bahwa hak untuk mengajukan upaya hukum PK tidak dimiliki oleh jaksa penuntut umum.
”Oleh karena itu, jelas terbukti bahwa upaya hukum PK yang diajukan oleh JPU terhadap Joko sangatlah tidak berdasar dan telah melanggar Pasal 263 Ayat (1) KUHAP,” kata Otto.
Akan tetapi, MA mengabulkan permohonan PK JPU Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Mereka membatalkan putusan MA Nomor 1688 K/Pid/2000 tanggal 28 Juni 2001 juncto Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 156/Pid.B/2000/PN.Jak.Sel, 28 Agustus 2000.
MA menjatuhkan hukuman pidana penjara selama 2 tahun, denda Rp 15 juta, dan hukuman pengganti pidana kurungan selama 3 bulan kepada Joko. Barang bukti berupa dana yang ada dalam escrow account atas rekening Bank Bali No 0999.045197 qq PT Era Giat Prima sejumlah Rp 546 miliar dirampas untuk dikembalikan kepada negara.
Perintah penahanan
Otto melanjutkan, Pasal 197 Ayat (1) huruf (k) KUHAP mengatur bahwa surat putusan pemidanaan harus memuat unsur perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan. Pada Pasal 197 Ayat (2) menyatakan bahwa dengan tidak dipenuhinya ketentuan ayat (1) huruf (k) tersebut mengakibatkan putusan batal demi hukum.
”Oleh karena amar putusan PK jaksa tidak memuat perintah penahanan terhadap Joko, putusan PK jaksa tersebut telah batal demi hukum berdasarkan Pasal 197 Ayat (1) huruf (k) dan Ayat (2) KUHAP,” kata Otto.
Menurut Otto, dengan batalnya putusan PK jaksa tersebut, satu-satunya putusan yang berkekuatan hukum tetap adalah putusan kasasi juncto putusan pengadilan negeri yang pada pokoknya melepaskan Joko dari segala tuntutan hukum. Faktanya, ia berpandangan, putusan kasasi tersebut pun telah dieksekusi oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan pada 2001, termasuk pengembalian barang bukti kepada Joko.
Apabila putusan PK jaksa tersebut dianggap tidak batal demi hukum, putusan PK jaksa itu tidak mengandung perintah penahanan. Alhasil, tidak ada obyek eksekusi yang dapat dilaksanakan oleh Kejaksaan Agung dalam rangka penahanan. Dengan kata lain, penahanan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung sangat tidak berdasar karena penahanan pun bukanlah merupakan obyek eksekusi sebagaimana dalam amar putusan PK jaksa. Oleh karena itu, Joko harus segera dibebaskan.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengajak masyarakat untuk turut mengawasi proses hukum selanjutnya atas Joko Tjandra.
Salah satunya, kemungkinan Joko mengajukan PK atas kasusnya ke pengadilan. Terlebih dalam proses PK yang diajukan beberapa waktu lalu, pengadilan menyatakan PK tak dapat diterima karena Joko tak hadir dalam persidangan. Namun, kali ini, dengan Joko telah ditangkap, buron selama 11 tahun tersebut dapat menghadiri persidangan jika PK kembali diajukannya.
Pengawasan masyarakat itu penting karena, menurut Mahfud, saat sudah bergulir di pengadilan, pemerintah tidak bisa campur tangan. Pengadilan adalah cabang kekuasaan di luar pemerintah yang tidak bisa dicampuri oleh presiden.
”Mudah-mudahan dia (Joko Tjandra) tidak PK, tetapi jalani saja hukumannya dua tahun,” kata Mahfud.