Kerja Senyap Memboyong Joko Tjandra
Lewat operasi senyap, pelarian Joko Tjandra berakhir di apartemen mewah The Avare Condominium, Kuala Lumpur, Malaysia. Di atas pesawat carter, proses penyerahan ”Joker” dilakukan Polri dan Polis Diraja Malaysia.
Berbagai jurus digunakan buronan perkara pengalihan hak tagih utang atau cessie Bank Bali, Joko Soegiarto Tjandra, agar bisa keluar-masuk Indonesia. Dia bahkan melibatkan aparatur sipil negara dan pejabat Polri demi memuluskan pelariannya. Namun, lewat operasi senyap, buronan 11 tahun itu berhasil ditangkap dan diboyong ke Indonesia dari Malaysia pada 30 Juli 2020.
Di sebuah apartemen mewah, The Avare Condominium, Kuala Lumpur, tepatnya di kamar unit 20-A, pada Kamis (30/7/2020) sekitar pukul 18.00 waktu setempat, Joko Tjandra dicokok tim gabungan Polri dan Polis Diraja Malaysia. Saat itu, ia berpakaian santai, mengenakan celana pendek dan kemeja merah.
”Dia tidak menduga kalau bakal diambil (ditangkap),” ujar Kepala Bareskrim Polri Komisaris Jenderal Listyo Sigit Prabowo saat dihubungi Kompas, Jumat (31/7/2020).
Setelah mendapat informasi penangkapan Joko Tjandra, tanpa berlama-lama Listyo bersama tujuh personel Polri lain langsung bertolak ke Kuala Lumpur. Berdasarkan informasi yang dihimpun Kompas, kedelapan perwira tinggi polisi itu berangkat dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, dengan pesawat carter Premiair jenis Embraer Legacy 600 sekitar pukul 17.00 WIB.
Sesampai di Kuala Lumpur, proses handing over (penyerahan) pun dilakukan di dalam pesawat carter, antara Polri dan Polis Diraja Malaysia. ”Secara aturan, manakala dia masuk ke pesawat Indonesia berarti sudah masuk ke wilayah yurisdiksi Indonesia,” kata Listyo.
Pesawat akhirnya lepas landas dan membawa Joko Tjandra menuju ke Jakarta. Sekitar pukul 22.40 WIB, buronan 11 tahun itu tiba di Bandara Halim Perdanakusuma. Joko Tjandra keluar dari pesawat dengan mengenakan baju tahanan berwarna oranye dengan celana pendek selutut.
Berliku
Upaya penangkapan Joko Tjandra di luar negeri memang harus melalui jalan panjang dan berliku. Drama pelarian buronan tersebut semakin epik karena turut dibantu penegak hukum dan aparat pemerintahan.
Joko Tjandra melarikan diri ke luar negeri pada 10 Juni 2009, sehari sebelum vonis Mahkamah Agung dibacakan. Joko dijatuhi hukuman penjara selama 2 tahun dan denda Rp 15 juta dalam perkara peninjauan kembali (PK) yang diajukan jaksa untuk kasus cessie Bank Bali tersebut.
Hasil koordinasi Kejaksaan Agung dan Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 2009 menunjukkan Joko Tjandra diketahui pergi ke Port Moresby, Papua Niugini. Ia berangkat menggunakan pesawat carter CL 604 dengan nomor penerbangan N 720 AS yang bertolak dari Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, pada Rabu 10 Juni 2009 malam (Kompas, 19/6/2020).
Setelah buron selama 11 tahun karena kabur ke luar negeri, Joko Tjandra membuat gempar publik karena kemunculannya di Indonesia pada 8 Juni 2020. Dalam waktu satu hari, Joko diketahui mengurus KTP elektronik di kantor Kelurahan Grogol Selatan dan mengajukan permohonan peninjauan kembali atas kasus cessie Bank Bali di kantor Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, Joko melakukan perekaman KTP elektronik dengan foto wajah, sidik jari, dan tanda tangan, hingga KTP tersebut terbit hanya dalam waktu 1 jam 19 menit. Hasil penyelidikan Inspektorat Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menyebutkan, Lurah Grogol Selatan Asep Subahan diduga turut membantu proses pengurusan KTP elektronik tersebut sehingga kemudian dinonaktifkan dari jabatannya.
KTP elektronik yang diperoleh Joko dari kelurahan langsung dipakai untuk mendaftarkan permohonan PK ke Pengadilan Negeri Jaksel. Joko mendaftarkan sendiri permohonan PK tersebut di hadapan panitera. Namun, kedatangan Joko ke PN Jaksel tidak terekam kamera pemantau (CCTV).
Belakangan diketahui, Joko sudah berada di Indonesia dua hari sebelum mengurus permohonan PK atau pada 6 Juni 2020. Pengacara Joko Tjandra, Anita Kolopaking, bersama dua perwira kepolisian, Brigadir Jenderal (Pol) Prasetijo Utomo dan Komisaris Joni Andrianto, yang menjemput Joko di Bandara Supadio, Pontianak, Kalimantan Barat.
Mereka kemudian bersama-sama menuju Bandara Halim Perdanakusuma dengan menggunakan pesawat carter. Anita mengaku tidak mengetahui jalur masuk Joko ke Indonesia dari Malaysia karena hanya bertemu di Pontianak. Setelah Joko berada di Jakarta, Anita yang memastikan pengurusan KTP elektronik Joko lancar dengan menemui Lurah Grogol Selatan.
Tidak hanya untuk mendaftarkan permohonan PK, Joko juga kembali muncul di Jakarta pada 22 Juni 2020 untuk mengurus paspor baru di Kantor Imigrasi Jakarta Utara. Begitu terendus penegak hukum, paspor atas nama Joko Soegiarto Tjandra tersebut buru-buru dikembalikan ke Kementerian Hukum dan HAM. Joko kemudian menghilang pada hari yang sama seusai mengurus paspor.
Namun, tak perlu waktu lama, niat jahat itu sedikit demi sedikit mulai terkuak. Sejumlah pihak yang membantu pelarian Joko Tjandra pun diperiksa. Ini berujung pada pencopotan tiga perwira tinggi di Polri. Selain itu, dua orang ditetapkan sebagai tersangka, yaitu Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo dan Anita Kolopaking.
Baca juga : Jalan Berliku Meringkus Joko Tjandra
Kepala Polri Jenderal (Pol) Idham Azis berjanji akan mengusut tuntas kasus ini dan akan menindak tegas siapa pun yang membantu pelarian Joko Tjandra.
”Joko Tjandra ini memang licik dan sangat pandai. Dia kerap berpindah-pindah tempat. Tetapi, berkat kesabaran dan kerja keras tim, Joko Tjandra berhasil diamankan,” ujar Idham.
Pada sekitar awal Juli di Istana Bogor, Jawa Barat, Presiden Joko Widodo rupanya juga sempat memanggil Kapolri agar segera menangkap Joko Tjandra. Saat itu ramai diberitakan, Joko mengajukan sidang PK di PN Jakarta Selatan.
”Presiden ketika mendapat laporan dari Kapolri bilang, ’Kalau memang buronan, ya ditangkap dong orangnya dan jangan dibiarkan di luar (penjara)’,” kata Menteri Sekretaris Negara Pratikno.
Operasi senyap
Kapolri membentuk tim kecil khusus untuk menangkap Joko Tjandra. Hal itu juga merupakan jawaban atas perintah Presiden Jokowi yang meminta Kapolri segera mencari dan menangkap Joko Tjandra. Tim dipimpin Kepala Bareskrim.
Listyo mengatakan, tak banyak pihak mengetahui keberadaan tim itu. Dia menyebut operasi penangkapan hanya diketahui oleh dirinya, Presiden, Kapolri, serta Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD.
”Pasti, kan, tim yang kami bentuk, kan, tim senyap. Artinya, kami harus memastikan semua berjalan dengan lancar,” ujar Listyo.
Saat ditanya alasannya, Listyo menjawab, ”Tentunya dengan orang sekelas itu (Joko Tjandra), banyak kendala kalau kami tidak hati-hati.”
Tak heran, dengan timnya itu, Listyo sangat optimistis untuk menangkap Joko Tjandra. Optimisme itu ia tunjukkan saat bertemu dengan Mahfud pada 20 Juli 2020, tepat 10 hari sebelum proses penangkapan berlangsung.
Saat diagendakan rapat koordinasi tingkat menteri untuk membahas Joko Tjandra di kantor Kemenko Polhukam pukul 17.30, Listyo meminta bertemu secara khusus dengan Mahfud pada pukul 11.30.
Dalam pertemuan, Listyo terlihat agak buru-buru dan dengan raut wajah serius. Listyo mengaku telah mendapatkan informasi terkait keberadaan Joko Tjandra di Kuala Lumpur. Namun, ia menegaskan bahwa proses penangkapan tercepat adalah melalui police to police.
”Kalau terkait dengan proses red notice, kan, sudah ada polemik. Kemudian, kalau red notice, kan, harus dilanjutkan dengan ekstradisi. Ekstradisi membutuhkan waktu lama,” katanya.
Restu pun didapat. Tim langsung berkomunikasi secara intens dengan Polis Diraja Malaysia untuk mendapatkan titik detail posisi Joko Tjandra.
Strategi penangkapan pun, menurut Listyo, tak boleh gegabah. Semua harus tetap dilakukan dengan senyap. ”Intinya, ada hal-hal khusus yang kami harus betul-betul berhitung dan melakukan strategi yang pas untuk mengamankan yang bersangkutan,” ujar Listyo.
Alhasil, hanya butuh sekitar 10 hari setelah rapat koordinasi itu, Joko Tjandra ditangkap. Operasi senyap dinyatakan berhasil.
Mahfud mengapresiasi kerja tim itu. Sejak awal mendapat laporan mengenai tim tersebut, ia yakin Joko akan tertangkap.
”Saya yakin karena detail rencananya dijelaskan kepada saya. Berangkat kapan, lalu di sana bagaimana, menangkapnya di mana, ketemu siapa, bagaimana membawanya, dan sebagainya. Sudah detail dengan saya pada waktu itu. Ya sudah jalan. Tinggal tunggu waktu dan kita semua diam. Makanya sejak tanggal 20 sampai terakhir saya tidak pernah bicara soal penangkapan Joko Tjandra, kecuali yang sifatnya normatif,” tutur Mahfud.
Tugas ini belum selesai. Mahfud menyatakan tinggal tugas menyelesaikan ke dalam. Pejabat-pejabat yang melakukan kolusi di dalam institusi penegak hukum, baik di kepolisian, Kejaksaan Agung, Kemenkumham, maupun Kemendagri, harus diselesaikan dan dibongkar sampai tuntas.
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional, Poengky Indarti, menyampaikan, kerja belum tuntas. Setelah penangkapan ini, dari keterangan Joko Tjandra, semua yang terlibat harus dapat terungkap. Lalu, tinggal kerja penangkapan puluhan buronan lainnya.
”Saya yakin Polri mampu menangkap buronan-buronan lainnya. Hal ini perlu menjadi perhatian khusus bagi Polri. Di dalam negeri juga perlu dipertimbangkan membentuk Satgas Khusus Pemburu Daftar Pencarian Orang agar kasus-kasus yang mangkrak dapat segera diselesaikan,” ucapnya.
(HARRY SUSILO/IRENE SARWINDANINGRUM/KURNIA YUNITA RAHAYU)