Buron Leluasa Urus KTP Elektronik karena Data Pemerintah Belum Terintegrasi
Data antarlembaga negara di Indonesia belum terintegrasi. Leluasanya Joko Tjandra, buron kasus ”cessie” Bank Bali mengurus KTP-el sebagai syarat mengajukan PK perkaranya di PN Jakarta Selatan harus jadi pelajaran.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ketiadaan data buron kasus hak tagih piutang atau cessie Bank Bali, Joko Tjandra, di Dinas Dukcapil Jakarta membuat ia leluasa mengurus kartu tanda penduduk atau KTP elektronik di DKI Jakarta. Hal ini menunjukkan belum adanya integrasi data antara kementerian/lembaga. Karena itu, diperlukan pusat informasi berbasis big data yang dapat menunjukkan data seseorang sesuai dengan waktu sebenarnya.
Penerbitan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) terhadap Joko Tjandra yang buron sejak 2009, salah satunya diklaim karena ketidaktahuan pejabat setempat terkait statusnya yang merupakan seorang buron. Joko Tjandra pada 8 Juni 2020 mendatangi Kelurahan Grogol Selatan, Kecamatan Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.
Dia menyelesaikan proses perekaman data KTP-el, kemudian KTP-el miliknya diterbitkan dalam proses sekitar 30 menit. KTP-el itu kemudian digunakannya untuk mendaftarkan permohonan peninjauan kembali (PK) atas perkaranya. Dalam perkara cessie Bank Bali, dia divonis 2 tahun penjara.
Belajar dari kasus Joko, Pengajar Manajemen Kebijakan Publik Universitas Indonesia Lisman Manurung, Selasa (7/7/2020), mengungkapkan, permasalahan yang terjadi di Indonesia saat ini, ialah lembaga pemerintah masih mengumpulkan dan menata data menjadi pusat informasi yang tidak sesuai dengan waktu yang sebenarnya.
Akibat pengelolaan pusat informasi yang masih secara manual tersebut, tidak ada pemutakhiran terhadap suatu data. ”Data di KTP masih diolah dengan cara lama. Akibatnya persepsi atas data kependudukan menggunakan perspektif lama. Andaikata (menggunakan) platform baru, yaitu berbasis big data, urusannya (terkait kasus Joko) pasti berbeda,” kata Lisman.
Lisman menjelaskan, big data bukan soal limpahan data yang bisa ditampung. Namun, big data merupakan pengalihan data sesuai dengan waktu sebenarnya atas data yang tidak terstruktur menjadi terstruktur dan canggih.
Menurut Lisman, Indonesia terlambat dalam menggunakan big data sebagai pusat informasi karena tidak ada kebijakan publik yang memayunginya. Salah satu contohnya adalah tidak terangkainya kementerian/lembaga dalam suatu jaringan interoperabilitas atau bisa bertukar informasi.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Zudan Arif Fakrulloh saat dihubungi di Jakarta, Senin (6/7), mengatakan, pihaknya masih mengecek ke Dinas Dukcapil DKI Jakarta terkait penerbitan KTP-el Joko Tjandra. Namun, menurut dia, penerbitan kartu tetap dilakukan karena tak ada data mengenai buronan di Dinas Dukcapil.
”Dinas Dukcapil tak memiliki data siapa saja yang jadi buronan,” ujar Zudan.
Untuk menghindari modus seperti yang dilakukan Joko Tjandra, lanjut Zudan, Kemendagri membutuhkan data dan informasi terkait buronan atau daftar pencarian orang (DPO). ”Kami butuh data dan informasi tentang buronan, DPO, dan lain-lain,” katanya.
Menurut pengajar pada Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Gabriel Lele, Indonesia sudah saatnya melakukan sinkronisasi data menuju identitas tunggal.
”Suatu waktu tidak perlu kartu ini dan itu. Hanya satu, yaitu paspor. Paspor hanya bentuk fisik dengan nomor induk tertentu. Namun, nomor induk itu multifungsi untuk kependudukan, pendidikan, kesehatan, asuransi, dan seterusnya yang selama ini banyak sekali kartunya,” ujar Gabriel.