Parlemen Ingatkan Pemerintah, Kenaikan Iuran BPJS-Kesehatan Susahkan Rakyat
Sejumlah unsur pimpinan di DPR, DPD, dan MPR mengingatkan pemerintah kenaikan iuran BPJS-Kesehatan membebani masyarakat. Hal ini juga tak sesuai putusan Mahkamah Agung yang sebelumnya membatalkan kenaikan iuran BPJS.
Oleh
RINI KUSTIASIH
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Parlemen menilai kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial atau BPJS-Kesehatan yang diputuskan pemerintah kian menyusahkan hidup rakyat yang kini berjuang di tengah pandemi Covid-19. Unsur pimpinan di DPR, DPD, dan MPR meminta pemerintah meninjau kembali kebijakan itu dan membatalkannya.
Sebagaimana diketahui Peraturan Presiden (Perpres) No 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan kembali menaikan tarif iuran BPJS-Kesehatan. Kelas I yang sebelumnya membayar Rp 80.000 sekarang menjadi Rp 150.000, sedangkan kelas II yang awalnya dikenai tarif iuran Rp 51.000 mulai Juli naik jadi Rp 100.000.
Sementara itu, layanan Kelas III Iuran peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Peserta Bukan Pekerja (BP) menjadi Rp 42.000 per bulan. Sepanjang tahun 2020, para peserta JKN-KIS Kelas III tetap membayar iuran Rp 25.500 per bulan sama seperti semula. Kekurangan iuran Rp 16.500.
Ketua Komisi VIII dari Fraksi Partai Amanat Nasional Yandri Susanto, Kamis (14/5/2020), di Jakarta, mengatakan, kebijakan menaikkan iuran BPJS-Kesehatan itu mengagetkan semua pihak di tengah kesulitan yang sedang dihadapi rakyat. Pemerintah diminta membatalkan kebijakan itu.
”Karena hari ini rakyat sedang kesusahan luar biasa. Makan saja susah, pekerjaan susah, PHK di mana-mana. Masa sih pemerintah yang katanya melayani rakyat, mau menyejahterakan rakyat Indonesia. Kok, tiba-tiba di tengah penderitaan luar biasa ini pemerintah menaikkan iuran BPJS,” katanya.
Kenaikan iuran BPJS sangat erat kaitannya dengan jaminan kesehatan masyarakat. Jaminan atas hal itu juga merupakan tanggung jawab pemerintah karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu, menurut Yandri, sebaiknya kenaikan itu dibatalkan pemerintah.
”Karena hari ini di tengah (wabah) virus korona, masa pemerintah menaikkan iuran BPJS. Ini sungguh meruntuhkan antibodi masyarakat, yang hari ini harus menghadapi banyak cobaan,” ujarnya.
Seruan untuk membatalkan kebijakan itu juga mengemuka Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo. Bambang meminta pemerintah mengkaji ulang rencana tersebut mengingat putusan Mahkamah Agung (MA) pada pokoknya melarang pemerintah menaikkan iuran BPJS-Kesehatan.
Oleh karena itu, sekalipun kenaikan iuran BPJS yang tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 nominalnya sedikit berbeda dengan kenaikan sebelumnya, menurut dia, langkah pemerintah menaikkan iuran tetap tidak dapat dibenarkan. Ini karena kenaikan iuran bukan satu-satunya cara mengatasi defisit ekonomi negara, terlebih di tengah resesi ekonomi saat ini.
”Pemerintah perlu segera memberikan sosialisasi dan penjelasan yang dapat dipahami oleh masyarakat karena rencana kenaikan iuran BPJS-Kesehatan ini bertolak belakang dengan kembali normalnya iuran BPJS-Kesehatan yang beberapa waktu lalu diputuskan MA,” ujarnya.
Bambang juga mengingatkan pemerintah agar selalu mengedepankan kepentingan masyarakat luas dan menyampaikan bahwa peserta mandiri adalah kelompok masyarakat pekerja informal yang perekonomiannya sangat terdampak Covid-19. Kenaikan iuran BPJS-Kesehatan ini justru berpotensi membuat masyarakat kesulitan membayar iuran sehingga akses layanan kesehatan menjadi terhambat.
”MPR mendorong pemerintah mencari solusi dalam menjaga keberlanjutan program JKN-KIS dan keberlangsungan BPJS Kesehatan sebagai penyelenggara program JKN agar tetap berjalan, tetapi yang tidak memberatkan ataupun membebankan masyarakat,” kata Bambang.
Sementara itu, Komite III Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI menyatakan pemerintah telah membebani masyarakat dan mengabaikan putusan MA dengan menaikkan iuran BPJS. Wakil Ketua Komite III DPD RI Evi Apita Maya mengatakan, pemerintah seharusnya mengedepankan isi pertimbangan hukum putusan MA Nomor 7 P/HUM/2020.
Dalam putusan tersebut dinyatakan bahwa terjadinya defisit anggaran BPJS-Kesehatan karena kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan BPJS sehingga tidak boleh dibebankan kepada masyarakat.
Dalam putusan tersebut dinyatakan bahwa terjadinya defisit anggaran BPJS-Kesehatan karena kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan BPJS sehingga tidak boleh dibebankan kepada masyarakat.
”Putusan MA soal pembatalan kenaikan iuran BPJS terang benderang mengamanatkan agar pemerintah tak boleh memberikan beban kepada masyarakat. Selain itu, Komite III menolak keras kenaikan iuran BPJS untuk kelas III pada tahun 2021 dengan pertimbangan karena segmen peserta tersebut notabene adalah kalangan masyarakat menengah kebawah,” ujarnya.