KPK diminta untuk menyelidiki pelaksanaan program Kartu Prakerja. Selain program itu, keputusan pemerintah menerbitkan Perppu No 1/2020 terkait penanganan Covid-19 juga mendapat kritik, khususnya terkait pasal impunitas.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi saat ini tengah mengkaji program Kartu Prakerja yang diluncurkan pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma’ruf Amin. Pada saat yang sama, KPK diminta untuk menyelidiki penunjukan serta pelaksanaan program Kartu Prakerja gelombang I dan II.
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan, Senin (4/5/2020), di Jakarta, mengungkapkan tentang kajian KPK atas program Kartu Prakerja itu. Saat ditanyakan apakah pengkajian tersebut dilakukan karena adanya potensi korupsi, Pahala mengatakan belum ada dugaan awal mengenai hal itu.
Kemarin, Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) mendatangi Gedung KPK untuk meminta KPK agar memulai proses penyelidikan atau setidaknya pengumpulan bahan/keterangan atas program Kartu Prakerja. Hal itu dilakukan mengingat telah terjadi pembayaran secara lunas program pelatihan peserta Kartu Prakerja gelombang I dan II.
”Jika ada dugaan korupsi misalnya dugaan mark up, KPK sudah bisa memulai penyelidikan atau setidak-tidaknya memulai pengumpulan bahan dan keterangan,” kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman.
Pemerintah telah mencairkan dana Rp 596,7 miliar untuk pembiayaan program Kartu Prakerja gelombang I untuk 168.111 peserta. Sementara untuk gelombang II, sebanyak 288.154 orang telah lolos menjadi penerima manfaat Kartu Prakerja, masing-masing mendapatkan Rp 3,55 juta.
Ia juga mempersoalkan tentang penunjukan delapan mitra kerja sama pelatihan Kartu Prakerja yang diduga tidak memenuhi persyaratan kualifikasi administrasi dan teknis karena sebelumnya tidak diumumkan syarat-syarat untuk menjadi mitra. Penunjukan delapan mitra tersebut juga diduga melanggar ketentuan dalam bentuk persaingan usaha tidak sehat atau monopoli.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Wana Alamsyah, juga menyoroti terbitnya Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui Program Kartu Prakerja. Ia berpandangan, program Kartu Prakerja tidak tepat dikeluarkan pada situasi pandemi Covid-19.
Program tersebut diberikan kepada warga agar mendapatkan kemampuan untuk bekerja. Padahal, situasi sekarang tidak ada pemberi kerja atau perusahaan yang dapat menampung mereka.
Wana menduga, telah terjadi korupsi dalam program ini karena mekanisme penunjukan platform digital yang digunakan menuai kontroversi. Ia melihat, penunjukan delapan platform digital yang diberikan mandat oleh pemerintah sebagai lembaga pelatihan tidak melalui mekanisme atau prosedur pengadaan barang atau jasa. Ia pun mendorong KPK untuk segera turun tangan melihat kasus ini.
Rawan korupsi
Wana Alamsyah juga menyoroti kebijakan pemerintah dalam mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19.
”Kalau kita merujuk pada Pasal 27 (Perppu No 1/2020), ini ada kekuatan yang sangat besar pada pengambil kebijakan dan kalau kita melihat perppu tersebut dikaitkan dengan Covid-19 ini sama sekali tak berfokus pada hal utamanya terkait kesehatan masyarakat,” ujar Wana dalam diskusi secara daring bertajuk ”Korupsi Melalui Kebijakan Penanggulangan Bencana”, Senin, 4 Mei. Menurut Wana, Perppu tersebut lebih fokus pada penanggulangan ekonomi akibat Covid-19.
Pasal 27 Perppu 1/2020 menjadi salah satu cara pemerintah mengeluarkan kebijakan terkait Covid-19 yang tidak dapat dikriminalisasi. Menurut Wana, hal itu menunjukkan adanya impunitas yang diberikan kepada pengambil kebijakan. Pengambil kebijakan juga diberikan diskresi yang sangat besar sehingga berpotensi terjadi tindak pidana korupsi.
Peneliti Kode Inisiatif, Violla Reininda, berpandangan, pengeluaran Perppu No 1/2020 menunjukkan, pemerintah tidak mau diawasi dalam menangani pandemi Covid-19, termasuk oleh publik. Alhasil, dana yang digelontorkan oleh pemerintah rawan dikorupsi.
Hal tersebut dapat terjadi karena kebijakan yang akan dikeluarkan oleh pemerintah tidak didahului persetujuan dari DPR. Padahal, hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara seharusnya diawasi oleh DPR.
Violla pun mempertanyakan transparansi dari pemerintah dengan dikeluarkannya perppu ini. Sebab, selain DPR, lembaga seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tidak dapat mengawasi pembiayaan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Oleh karena itu, ia mendorong dibentuk satu lembaga pengawasan yang dapat mengawasi kebijakan pemerintah dalam penanganan Covid-19. Di sisi lain, DPR diharapkan menggunakan hak interpelasi untuk menanyakan kepada pemerintah terkait dengan pembuatan perppu ini.
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Hemi Lavour Febrinandez, mengatakan, potensi korupsi dalam penanganan Covid-19 telah terjadi di beberapa negara, seperti Guatemala dan Arab Saudi. Mereka melakukan korupsi dalam pengadaan alat kesehatan dan menaikkan biaya karantina.
Menurut Hemi, peluang korupsi penanganan Covid-19 sangat besar khususnya dalam pengadaan alat kesehatan. Ia pun menyoroti DPR yang baru membahas Perppu No 1/2020 sekarang dan lebih mementingkan untuk membahas Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja. Padahal, pembahasan perppu ini sangat mendesak karena berkaitan dengan kebijakan penanganan Covid-19.