Keputusan untuk tetap menggelar pilkada tahun ini perlu dikaji ulang. Meski pandemi Covid-19 diperkirakan akan mereda pertengahan tahun ini, masih dibutuhkan waktu untuk pemulihan. Ditambah lagi sejumlah persoalan lain.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan Komisi II DPR perlu mempertimbangkan kembali keputusannya untuk tetap menggelar pemilihan kepala daerah serentak tahun ini. Pasalnya, sekalipun pandemi Covid-19 diperkirakan akan mereda pertengahan tahun ini, masih dibutuhkan waktu untuk pemulihan. Belum lagi banyak persoalan lain yang membuat sulit pemilihan tetap digelar tahun ini.
Seperti diberitakan sebelumnya, Komisi II DPR dan pemerintah yang diwakili Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menyetujui waktu pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 yang semula digelar akhir September 2020 ditunda menjadi digelar pada 9 Desember 2020. Keputusan ini diambil dalam rapat kerja yang digelar pada Selasa (14/4/2020).
Dalam diskusi bertajuk ”Pilkada 2020: Ditunda, Lalu Bagaimana?”, Kamis (16/4), Wakil Direktur Perkumpulan untuk Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Agustyati mengatakan, pemerintah dan DPR hendaknya tidak memaksakan tetap menggelar pilkada tahun ini.
Salah satunya karena, sesuai kajian sejumlah pihak, kurva penularan Covid-19 baru melandai pada Juni-Juli 2020. Sesudah itu, masih dibutuhkan waktu untuk pemulihan. Dengan demikian, jika pilkada digelar tahun ini, terlalu dipaksakan. Penyelenggara pemilu terutama akan dibebani tugas yang berat, yakni menyiapkan tahapan pilkada di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang belum benar-benar tuntas.
Jika waktu pemungutan suara digelar pada 9 Desember 2020, Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus memulai kembali tahapan pilkada yang saat ini dihentikan karena pandemi setidaknya pada Juni 2020.
Di luar persoalan pandemi yang belum benar-benar tuntas, hasil kajian Perludem bersama kelompok pemerhati pemilu lainnya, seperti Netgrit dan Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas, ada persoalan anggaran yang telah tersedot untuk penanganan Covid-19 dan situasi sosial masyarakat jika pilkada tetap dipaksakan digelar tahun ini. Menurut mereka, akan lebih baik jika pilkada digelar setelah Juni 2021.
Bahkan, sebaiknya, Khoirunnisa melanjutkan, dalam peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) penundaan Pilkada 2020 tidak disebutkan dengan detåil waktu penundaan. Perppu cukup menyebutkan pilkada lanjutan akan digelar setelah pandemi Covid-19 berakhir.
Selain Khoirunnisa, hadir narasumber lain dalam diskusi tersebut, peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes dan Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tanjung.
Berdasarkan kajian CSIS, menurut Arya, pilkada pun sulit untuk tetap dilaksanakan pada 2020. Perhitungan secara moderat dengan melihat kondisi pandemi Covid-19 terkini, pilkada baru aman jika digelar pada Maret 2021.
Jika pilkada tetap digelar tahun ini, ia khawatir fokus kepala daerah dalam menangani Covid-19 akan terbelah. Terlebih jika kepala daerah itu maju kembali dalam pilkada. Ditambah lagi, ia khawatir, jika pilkada digelar tahun ini, akan berdampak pada rendahnya partisipasi pemilih.
Sementara itu, Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia Tanjung mengatakan, perppu akan mengakomodasi tahapan, ataupun hari pemungutan suara penundaan pilkada serentak 2020. Dalam rapat dengar pendapat di DPR, KPU meminta kepada pemerintah agar perppu dapat diterbitkan maksimal pada akhir April supaya dapat disesuaikan dengan peraturan turunannya.
DPR juga mendorong supaya perppu segera diterbitkan. Perppu seharusnya mengatur hal prinsip dan teknis terutama Pasal 121 dan 122 UU Nomor 10 Tahun 2016 yang masih mengatur penundaan bersifat lokal, bukan nasional. ”Ini yang secara prinsip harus dijelaskan di perppu karena tidak ada di UU,” kata Doli.
Doli juga mengatakan, saat ini, baik DPR, pemerintah, maupun penyelenggara pemilu tidak bisa memastikan harus berapa lama pilkada ditunda. Ini mengingat pandemi Covid-19 yang sulit diprediksi waktu berakhirnya.
Oleh karena itu, dalam rapat beberapa hari lalu, diputuskan skenario alternatif terbaik dan terburuk. Adapun keputusan resminya masih akan menunggu masa tanggap darurat Covid-19 selesai.
”Melihat kondisi tersebut, perppu memang sebaiknya tidak boleh rigid soal pengaturan waktu. Perppu sebaiknya hanya mengatur soal siapa yang ditunjuk untuk menentukan kapan penundaan dan kapan tahapan dilanjutkan,” ujar Doli.
Di tempat terpisah, saat ditanya soal perkembangan penyusunan draf perppu penundaan pilkada, Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Bahtiar mengatakan, saat ini draf perppu masih disusun oleh tim dari pemerintah. Tim itu terdiri atas Kemendagri, Kementerian Sekretariat Negara, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.