Desain Keserentakan Ingin Cegah Ekses Buruk Pemilu 2019
Komisi II DPR akan menyusun sejumlah opsi model keserentakan pemilu dengan mengacu pada putusan MK dan pengalaman Pemilu 2019. Salah satu yang ingin dicapai, ekses negatif Pemilu 2019 tak terulang.
Oleh
Rini Kustiasih
·5 menit baca
Kompas/Heru Sri Kumoro
Suasana diskusi terkait Rancangan Undang-Undang Pemilu di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, Rabu (19/2/2020). Sejumlah lembaga, seperti Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Indonesia Corruption Watch, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan KoDe Inisiatif, hadir dalam pertemuan tersebut. Tak hanya pemerintah, Komisi II DPR sudah mulai menggodok RUU Pemilu.
JAKARTA, KOMPAS — Dewan Perwakilan Rakyat terbuka atas masukan publik terkait dengan sejumlah alternatif keserentakan pemilu pascakeluarnya putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan MK akan menjadi salah satu pertimbangan penting dalam menyusun opsi keserentakan pemilu. Tujuan utamanya yaitu menghindari ekses buruk keserentakan pemilu seperti terjadi pada Pemilu 2019.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia yang dihubungi dari Jakarta, Minggu (1/3/2020, mengatakan, saat ini draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu sedang digodok oleh tenaga ahli Komisi II DPR dengan Badan Keahlian DPR. RUU itu menjadi prioritas, dan ditargetkan bisa segera dibahas pada awal masa sidang berikutnya.
Belajar dari keserentakan Pemilu 2019, dan merujuk pada putusan MK, Komisi II akan membuat opsi-opsi keserentakan yang akan didiskusikan secara terbuka dengan para pemangku kepentingan, seperti penyelenggara pemilu, pegiat demokrasi, dan elemen masyarakat sipil. Opsi-opsi itu dituangkan di dalam draf kasar sebagai awalan atau outline yang diharapkan selesai dikerjakan pada masa reses DPR.
Desain keserentakan dalam RUU Pemilu yang baru diharapkan bisa memperkecil risiko terjadinya ekses buruk yang timbul dalam penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019. Sejumlah ekses buruk yang dimaksudkan itu antara lain banyaknya petugas yang meninggal karena dugaan kelelahan, kebingungan pemilih dalam menyalurkan pilihan, dan kurangnya perhatian pada isu-isu pencalonan legislatif.
MK menggelar sidang putusan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Gedung MK Jakarta, Rabu (26/2/2019). MK dalam putusannya menyerahkan pemilihan model keserentakan pemilu kepada pembentuk UU.
”Kami menghormati putusan MK, dan itu pasti harus menjadi dasar bagi kami untuk menyusun revisi UU Pemilu. Soal bagaimana keserentakannya, atau bagaimana pemisahan jenis pemilu, yakni dengan merujuk pada enam alternatif di putusan MK, itu akan didiskusikan di dalam Komisi II DPR sembari melihat respons dari publik. Nanti kami akan membuat opsi-opsi,” tutur Doli.
MK dalam putusan yang dibacakan pada Rabu (26/2/2020) menyatakan, pemilu lima kotak (presiden-wapres, DPR, DPD, DPRD kabupaten-kota, dan DPRD provinsi) bukan merupakan satu-satunya model pemilu serentak yang konstitusional. Ada lima model lain yang dapat dipilih oleh pembentuk UU. Namun, dari setiap model itu mensyaratkan keserentakan pemilihan presiden-wapres, DPR, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Dalam putusan itu, MK juga mengingatkan agar pemilihan keserentakan dilakukan dengan melibatkan partisipasi semua kalangan, diselesaikan lebih awal agar dapat dilakukan simulasi, memperhitungkan dengan cermat semua implikasi teknis dan kemudahan bagi pemilih, serta tidak sering ganti model (Kompas, 27/2/2020).
Doli mengatakan, pada prinsipnya Komisi II DPR terbuka terhadap masukan dari publik. ”Semua akan kami undang, masyarakat sipil, penggiat demokrasi. Kami akan undang semua, karena kami ingin UU Pemilu ini smpurna dan ideal. Kalau bisa, UU ini akan fix, dan tidak diubah-ubah setiap lima tahun sekali. Oleh karena itu, harus disusun sesempurna mungkin, dan melibatkan berbagai pemangku kepentingan (stakeholders),” tuturnya.
Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini (kedua dari kiri) berbincang dengan kuasa hukumnya, Fadli Ramadhanil, saat mengikuti sidang putusan uji materi UU No 7/2017 tentang Pemilu di Gedung MK, Jakarta, Rabu (26/2/2019).
Namun, menurut Doli, satu hal telah disepakati di internal Komisi II DPR dalam pembuatan draf awal RUU Pemilu, yaitu penyatuan rezim pemilu dan pilkada. Penyatuan itu diharapkan bisa menyelaraskan aturan penyelenggaraan kedua jenis pemilu sehingga tidak berbeda-beda atau berbenturan satu sama lain.
Kesepakatan untuk penyatuan rezim pemilihan itu juga menjadi bagian dari upaya kodifikasi aturan pemilu yang lebih luas, termasuk kemungkinan penyatuan dengan UU Partai Politik (Parpol).
Belajar dari 2019
Menurut Doli, isu keserentakan itu menjadi perhatian Komisi II sejak awal pengusulan RUU Pemilu menjadi insiatif DPR. Pada mulanya, salah satu usulan yang berkembang di Komisi II ialah memisahkan kembali pemilu legislatif dan pemilu presiden. Belajar dari pengalaman Pemilu 2019, keserentakan pileg dan pilpres menimbulkan ekses, antara lain ketidaksiapan penyelenggara dalam bekerja maraton dengan lima kotak suara. Di sisi lain, ada kecanggungan relasi antara parpol dan pasangan capres-cawapres.
”Fokus kampanye parpol menjadi terbelah. Di satu sisi, parpol harus berkampanye bagi capres. Sementara bila hal itu dilakukan, kampanye calegnya akan ketinggalan. Begitu pula sebaliknya. Nah, dengan putusan MK ini, kami memang sedang mengkajinya secara mendalam, apakah masih ada peluang untuk menyusun waktu-waktu pemilihan itu, sehingga ekses yang kita alami di Pemilu 2019 tidak terulang,” tutur Doli.
Sri Rahayu, petugas kesehatan dari Puskesmas Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten, memeriksa kesehatan Yuniarti (ketiga dari kiri), Ketua Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara 71 Cempaka Putih, saat digelar pemungutan suara ulang di Tempat Pemungutan Suara 71 Kelurahan Cempaka Putih, Kecamatan Ciputat Timur, Kota Tangerang Selatan, Rabu (24/4/2019).
Anggota Komisi Pemilihan Umum, Hasyim Asy’ari, mengatakan, sebagai penyelenggara pemilu, KPU melaksanakan UU, termasuk dalam hal aturan keserentakan. Namun, sebagai pribadi, ia menilai pemisahan pemilu nasional dan pemilu lokal merupakan pilihan yang tepat.
Artinya, pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden-wapres, dan beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi, anggota DPRD kabupaten-kota, gubernur, dan bupati-wali kota.
”Pemisahan keserentakan antara pemilu nasional dan pemilu daerah lebih mudah dalam tata kelola (manageable), baik dari sisi penyelenggara pemilu, pemilih, maupun parpol. Pemilih akan lebih fokus dalam membuat penilaian terhadap partai atau calon dan topik kampanye. Partai akan lebih mudah mengelola dalam perekrutan calon, kampanye, dan strategi pemenangan. Adapun penyelenggara pemilu lebih mudah dalam menata kelola penyelenggaraan pemilu, dan beban kerja relatif bisa terbagi,” tutur Hasyim.
KOMPAS/WISNU WIDIANTORO
Warga melihat daftar calon tetap yang tertempel di luar Tempat Pemungutan Suara 29 Kelurahan Cibodasari, Cibodas, Tangerang, Banten, dalam Pemilu 2019, Rabu (17/4/2019).
Sementara itu, Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengingatkan, aturan keserentakan yang disusun pembuat UU harus pula mempertimbangkan keselarasannya dengan desain kelembagaan penyelenggara pemilu serta skema penegakan hukum pemilu.
”Di tengah-tengah kepentingan parpol di DPR, ada ikatan yang tidak boleh dilepaskan di dalam memutuskan pilihan keserentakan, yakni memikirkan kualitas jangka panjang penyelenggaraan pemilu di Indonesia,” ujarnya.
Putusan MK, menurut Titi, telah memberikan rambu-rambu yang jelas mengenai variasi keserentakan pemilu yang dinilai konstitusional. MK juga membatasi pilihan keserentakan lain sepanjang pemilu presiden-wapres, DPR, dan DPD digelar serentak. Tujuannya ialah memperkuat sistem presidensialisme.
”Cara berpikir serupa sebenarnya bisa dilakukan di tingkat lokal, yakni dengan menyerentakkan antara pemilu DPRD provinsi dan kabupaten-kota dengan pemilihan gubernur, bupati-wali kota,” katanya.