Beredar Nama Calon Anggota DKPP, Sebagian Pernah Gagal Seleksi KPU-Bawaslu
UU Pemilu mengatur DKPP dibentuk dua bulan setelah pelantikan anggota KPU dan Bawaslu. Ini berarti anggota baru DKPP harus dilantik pada 14 Juni mengingat pelantikan anggota KPU dan Bawaslu dilaksanakan pada 12 Februari.
Oleh
IQBAL BASYARI
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah nama mantan penyelenggara pemilu dan akademisi masuk dalam radar pencalonan anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu atau DKPP periode 2022-2027. Beberapa di antaranya pernah mengikuti seleksi anggota Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu, tetapi tidak terpilih.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, DKPP dibentuk paling lama dua bulan sejak anggota KPU dan Bawaslu mengucapkan sumpah atau janji. Mengingat pelantikan KPU-Bawaslu oleh Presiden Joko Widodo dilakukan pada 12 April, artinya DKPP baru harus sudah dilantik pada 12 Juni mendatang. Dari tujuh anggota DKPP, dua orang berasal dari unsur KPU dan Bawaslu, sedangkan lima orang dari tokoh masyarakat yang diusulkan oleh Presiden (dua orang) dan DPR (tiga orang).
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Informasi yang dihimpun dari Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah dalam beberapa hari terakhir menguat sejumlah nama calon anggota DKPP. Nama-nama yang beredar, antara lain, mantan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Ratna Dewi Pettalolo, Ketua DKPP 2017-2022 Muhammad dan Airlangga Pribadi, mantan Tim Seleksi Calon Anggota KPU-Bawaslu yang juga akademisi Universitas Airlangga Surabaya. Muncul pula nama mantan penyelenggara pemilu yang tidak lolos seleksi KPU-Bawaslu 2022-2027, yakni I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, Dahliah, dan Andi Tenri Sompa (akademisi).
Sementara Maju Perempuan Indonesia (MPI) memberikan rekomendasi resmi secara tertulis kepada Presiden dan Ketua DPR untuk pengisian calon anggota DKPP dari unsur masyarakat. MPI merekomendasikan Dahliah, Ida Budhiati (anggota DKPP 2017-2022), Ratna Dewi Pettalolo, dan Wahidah Suaib (mantan anggota Bawaslu 2008-2012) ke DPR, sedangkan mereka merekomendasikan Endang Sulastri dan Sri Nuryanti (mantan anggota KPU 2012-2017) kepada Presiden.
Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Golkar (F-PG) Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Jumat (3/6/2022), mengaku telah menerima surat tembusan dari DKPP kepada Ketua DPR yang menginformasikan bahwa masa jabatan DKPP 2017-2022 sudah hampir habis. Komisi II DPR menunggu penugasan dari pimpinan DPR untuk mengadakan seleksi pemilihan tiga anggota DKPP pilihan DPR.
Dari pengalaman sebelumnya, mekanisme pemilihan calon anggota DKPP diusulkan oleh setiap kelompok fraksi di Komisi II DPR. Sembilan kelompok fraksi dapat mengusulkan nama-nama yang kemudian dipilih tiga yang terbaik. Ketiga nama itu kemudian diserahkan kepada Presiden untuk dilantik sebagai anggota DKPP.
F-PG berpandangan, anggota DKPP harus memahami hukum positif serta norma etik dan moral. Mereka harus memiliki kapasitas, reputasi, dan ketokohan yang bisa dihormati oleh para penyelenggara pemilu serta tidak memiliki konflik kepentingan.
Menurut dia, DKPP sebaiknya diisi oleh orang-orang yang sejak awal ingin mengisi posisi DKPP, bukan orang yang pernah ikut seleksi KPU-Bawaslu, tetapi tidak terpilih. Ia mendorong agar tidak ada anggota DKPP yang pernah berkompetisi dengan anggota KPU-Bawaslu yang kini menduduki jabatan tersebut. Sebab, mereka akan mengawasi mantan pesaingnya menjalankan tugas sebagai penyelenggara pemilu.
DKPP sebaiknya diisi oleh orang-orang yang sejak awal ingin mengisi posisi DKPP, bukan orang yang pernah ikut seleksi KPU-Bawaslu, tetapi tidak terpilih. Ia mendorong agar tidak ada anggota DKPP yang bernah berkompetisi dengan anggota KPU-Bawaslu yang kini menduduki jabatan tersebut.
”Kami khawatir ada konflik kepentingan walaupun tidak sepenuhnya begitu, tetapi kemungkinan itu ada. Kami lebih mendorong sosok yang baru,” kata Doli di Jakarta.
Meskipun pemilihan anggota DKPP belum dimulai, Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) Junimart Girsang mengatakan, Komisi II DPR sudah mengantongi enam nama. Dalam memilih tiga nama, F-PDIP sebisa mungkin tidak akan mengusulkan orang-orang yang pernah ikut dalam proses seleksi penyelenggara pemilu untuk menghindari ada konflik kepentingan.
”Mengingat pengalaman selama ini menurut teman-teman penyelenggara, mereka kurang nyaman dalam melakukan kerja karena yang di DKPP pernah kalah dan tidak lolos sehingga yang terjadi adalah subyektivitas,” katanya.
Sementara Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) Yanuar berpandangan, komitmen integritas dan niat pribadi jauh lebih penting dibandingkan dengan mempersoalkan masa lalu. Oleh sebab itu, F-PKB tidak mempermasalahkan jika anggota DKPP berasal dari orang-orang yang pernah tidak lolos seleksi penyelenggara pemilu. Mereka bukanlah tidak kompeten, melainkan jumlah yang dibutuhkan sebagai penyelenggara terbatas.
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan, untuk menghindari kontroversi, spekulasi, dan menjaga kondusivitas relasi antara KPU, Bawaslu, dan DKPP, perlu dipertimbangkan agar pengisian anggota DKPP tidak diambil dari mantan penyelenggara pemilu yang tak lolos saat kembali mengikuti seleksi. Ini juga untuk menghindari potensi politisasi putusan sebagai dampak kompetisi saat seleksi penyelenggara pemilu.
Menurut dia, DKPP punya peran sentral dalam penyelenggaraan pemilu Indonesia. Sebagai penegak etika yang menjaga kredibilitas dan integritas penyelenggara pemilu, sangat krusial untuk memastikan DKPP periode 2022-2027 diisi oleh figur-figur yang tetap dan sesuai dengan karakter serta kebutuhan lembaga tersebut. Oleh sebab itu, calon anggota DKPP harus memiliki rekam jejak demokratis dan memiliki pengetahuan kepemiluan yang memadai untuk mengakselerasi pemahanan terhadap karakter pemilu Indonesia.
”Jangan sampai anggota DKPP hanya mampu membaca teks perundang-undangan tanpa bisa mengontekstualisasinya dengan tantangan dan dinamika praktik penyelenggaraan pemilu di lapangan,” katanya.
Selain itu, lanjut Titi, melihat hubungan antara KPU, Bawaslu, dan DKPP yang selama ini kerap kali ”panas-dingin”, penting untuk memilih anggota DKPP yang bijaksana, matang, serta tidak lagi memiliki ambisi politik dan karier pada masa mendatang. Hal itu untuk membebaskan anggota DKPP dari godaan pragmatis jabatan ataupun perilaku superioritas dibandingkan dengan KPU dan Bawaslu.
Hal yang juga penting adalah keberadaan keterwakilan perempuan paling sedikit 30 persen di DKPP. Keterwakilan perempuan 30 persen ini mesti dipenuhi karena diyakini akan membantu DKPP untuk lebih memahami semangat afirmasi keterwakilan perempuan. Selain itu, juga untuk bisa lebih memahami karakter kerja kelembagaan yang etis, inklusif, demokratis, dan tidak bias jender.