Eskalator Stasiun Manggarai dan Kisah ”Boncos” Pengguna Angkutan Umum
Eskalator mati atau lift mangkrak biasa ditemukan di stasiun atau halte. Protes keras pengguna tak jua mengubah situasi.
Salah satu eskalator yang mati di Stasiun Manggarai sore itu tiba-tiba bergerak sendiri. Calon penumpang yang tengah menaiki tangga berjalan itu pun terkejut. Apalagi eskalator itu bergerak turun, berlawanan arah dengan langkah mereka. Terlihat dalam video yang viral di Youtube dan kanal media sosial lain, ada teriakan-teriakan dan calon penumpang terjatuh.
Siaran pers resmi dari PT KAI Commuter Indonesia (KCI) pada Kamis (22/2/2024) menyatakan, insiden itu terjadi pada Rabu (21/2) pukul 18.06 di eskalator menuju peron 11 dan 12, Jakarta Selatan. Tidak ada korban jiwa maupun luka. Petugas di stasiun sigap menolong mereka yang jatuh.
”KAI Commuter memohon maaf atas kejadian tersebut. Kendala layanan yang disebabkan tidak normalnya operasional eskalator di Stasiun Manggarai,” tulis External Relations and Corporate Image Care PT KCI Leza Arlan seperti dikutip dari Kompas.com.
Baca juga: Menjadi ”Zombie” di Manggarai
Kejadian di Stasiun Manggarai, Jakarta Selatan, itu menambah panjang daftar berbagai gangguan fasilitas di stasiun kereta komuter di Jabodetabek. Sebelumnya, ada saja eskalator atau lift yang tidak bisa beroperasi di beberapa stasiun. Di Stasiun Bekasi, seperti dilaporkan Kompas.id pada 1 Februari 2024, ada eskalator yang rusak hingga berbulan-bulan sampai warga mengirimkan karangan bunga dukacita.
Namun, kerusakan fasilitas publik tidak hanya terjadi di stasiun.
Di sejumlah halte Transjakarta yang telah dilengkapi berbagai fasilitas, termasuk untuk akses disabilitas, juga ditemukan eskalator atau lift yang mangkrak. Di sebagian halte lainnya ketersediaan fasilitas minim.
Di beberapa halte di koridor 13 rute Ciledug-Tegal Mampang, misalnya, menjadi ujian bagi fisik pelanggan Transjakarta. Halte di koridor layang itu bisa setinggi bangunan berlantai tiga sampai empat. Untuk mencapai atau turun dari halte hanya tersedia tangga biasa.
Dengan berbagai kekurangan tersebut, kualitas layanan angkutan umum kereta komuter Jabodetabek dan jaringan bus Transjakarta diakui telah membaik berkali lipat dibandingkan dengan 10-20 tahun lalu.
Secara kasatmata, bangunan stasiun dan halte saat ini sudah sangat bagus. Armada bus ataupun rangkaian kereta juga dalam kondisi di atas lumayan. Coba saja dibandingkan dengan bus-bus berkarat pada masa Metromini ataupun Kopaja berjaya dulu atau dengan kereta Jabodetabek ketika penumpang bisa bebas naik ke atap tanpa bayar.
Baca juga: Ada Dulu, Pembenahan Kemudian
Pembangunan angkutan umum kemudian terbukti sukses menarik para pekerja kerah biru yang masuk kelas ekonomi menengah menjadi pengguna setianya.
Kelas pekerja ini diperkirakan mendominasi jumlah total penduduk Jabodetabek yang kini menembus 30 juta jiwa. Mereka datang dari banyak daerah untuk mengejar rezeki yang ditawarkan Jabodetabek, kawasan aglomerasi perkotaan terbesar di Indonesia sekaligus pusat ekonomi.
Perumahan baru, baik berupa gedung tinggi maupun rumah tapak, terus bermunculan di seputar Jakarta. Ketidakjelasan tata ruang sebagai acuan pembangunan menyebabkan perkembangan Jakarta dan sekitarnya konsisten menjadi kawasan rebakan tak beraturan (urban sprawl) sejak berpuluh tahun silam sampai saat ini.
Baca juga: Perihal Pilihan pada Politisi yang Kurang Berkualitas
Setiap ada pusat hunian baru ataupun kawasan pengembangan baru, terjadilah bangkitan kegiatan yang ditandai melonjaknya mobilitas manusia ke sekolah, pasar, atau ke mana saja di sekitar area itu. Muncul pula mobilitas rutin dari daerah yang sama ke tempat yang lebih jauh, seperti ke kantor atau ke tempat usahanya di Jakarta ataupun pusat kota lain di Bodetabek.
Sayangnya, sampai saat ini jaringan akses tol lebih masif terbangun dibandingkan dengan upaya menambah dan memperluas layanan jaringan angkutan umum. Dengan demikian, kendaraan bermotor pribadi tetap menjadi pilihan utama warga untuk bermobilitas.
Data Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 2019 menunjukkan, di Ibu Kota saja ada 26,5 juta perjalanan per hari. Sebanyak 5,7 juta perjalanan atau baru 21,7 persennya menggunakan angkutan umum. Jika ditarik dalam lingkup Jabodetabek, total jumlah perjalanan naik signifikan dan pengguna angkutan umum diperkirakan jauh lebih sedikit.
Setidaknya sejak pertengahan 2023 atau setelah pandemi Covid-19 berakhir, perjalanan di Jakarta dan sekitarnya telah kembali normal seperti pada 2019. Namun, pengguna angkutan umum saat ini diyakini merosot dibandingkan tahun 2019.
Baca juga: Conan, Aoyama Gosho, dan Daya Tarik Fiksi Kriminal Perkotaan
Sesuai data Pemprov DKI dan PT KCI, sampai awal 2024, Transjakarta melayani sekitar 1,2 juta penumpang per hari dan KRL Jabodetabek mengangkut kurang lebih 1 juta orang per hari. Per hari, MRT Jakarta melayani kurang dari 180.000 orang, LRT Jakarta 18.000 penumpang, dan LRT Jabodebek 730.000 pengguna.
Sepanjang tahun ini, berbagai upaya dilakukan agar jumlah pengguna yang terangkut transportasi publik meningkat. Per hari, KRL Jabodetabek ditargetkan bisa mengangkut hingga 2 juta orang dan Transjakarta hingga 1,5 juta penumpang. Integrasi antarmoda seperti Transjakarta dengan KRL, LRT, dan MRT diharapkan mendongkrak jumlah pengguna setiap moda.
Di tengah keterbatasan pembangunannya, layanan angkutan umum diupayakan tetap dapat menggaet kelas pekerja yang hilir mudik ke Jakarta dari kota-kota sekitar ataupun yang pergi pulang antarkota di kawasan Bodetabek.
Khususnya bagi yang berkegiatan rutin di Jakarta, sangat disarankan meninggalkan kendaraan pribadinya di stasiun atau halte terdekat dari rumah, lalu berganti menggunakan kereta atau bus menuju Ibu Kota. Di Jakarta, bisa menggunakan Transjakarta dan angkutan pengumpan dalam sistem JakLingko yang telah menjangkau lebih dari 70 persen kawasan Ibu Kota.
Bepergian dengan kereta komuter dan bus Transjakarta yang memiliki jalur khusus dipastikan memangkas waktu perjalanan.
Baca juga: Megakota, Raksasa yang Serba Setengah-setengah
Walaupun harus berdiri sepanjang waktu dan berdesakan, sebagian pengguna menyebutkan bahwa naik angkutan umum tidak selelah mengendarai sepeda motor berjam-jam di tengah kepadatan lalu lintas dan terpaan asap kendaraan bermotor, juga kebisingan.
Daya tarik lain beralih naik angkutan umum adalah biaya bisa ditekan jika dibandingkan dengan menggunakan kendaraan pribadi.
Bank Dunia mensyaratkan biaya transportasi seharusnya maksimal 10 persen dari pendapatan tetap bulanan.
Biaya tinggi
Meskipun demikian, menggunakan angkutan umum tetap tidak sehemat dan seefektif yang dibayangkan. Hal ini karena cakupan layanan dan integrasi antarmoda belum maksimal. Di luar Jakarta belum pula tersedia angkutan umum memadai yang terkoneksi dengan layanan di ibu kota. Akibatnya pengguna tetap harus memakai kendaraan pribadi atau angkutan daring untuk mengakses angkutan umum terdekat.
Hasil survei Dewan Transportasi Kota Jakarta pada 2021, sebanyak 62,6 persen pengguna transportasi umum di Jakarta harus merogoh kocek Rp 500.000 per bulan. Kemudian 25,7 persen mengeluarkan Rp 500.000-Rp 1 juta per bulan. Sebanyak 7,2 persen lainnya mengeluarkan Rp 1 juta-Rp 2 juta per bulan dan 4,9 persen mengeluarkan Rp 2 juta.
Biaya untuk transportasi umum itu di luar biaya transportasi pribadi, termasuk kendaraan pribadi, ojek daring atau ojek pangkalan, dan taksi. Transportasi pribadi itu biasanya digunakan warga menuju dan setelah menggunakan angkutan umum.
Biaya transportasi pribadi dari 45,6 persen responden mencapai Rp 500.000-Rp 1 juta per bulan. Sebanyak 34,3 persen responden mengeluarkan kurang dari Rp 500.000 per bulan. Yang membelanjakan Rp 1 juta-Rp 2 juta mencapai 14,8 persen dan yang mengeluarkan Rp 2 juta per bulan 5,2 persen.
Baca juga: Inovasi-inovasi Kota yang Dinanti pada 2024
Jika setiap pengguna angkutan umum juga memakai kendaraan pribadi, total pengeluaran pada sekitar 80 persen responden berkisar Rp 1 juta-Rp 2 juta per bulan. Dengan kenaikan harga bahan bakar minyak dan tarif dasar ojek daring dan taksi daring, pada 2024 ini total biaya transportasi di Jakarta pun dipastikan naik.
Angka itu terbilang besar mengingat upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta dan kota sekitarnya pada 2024 rata-rata berkisar Rp 5 juta per bulan. Bank Dunia mensyaratkan biaya transportasi seharusnya maksimal 10 persen dari pendapatan tetap bulanan.
Baca juga: Nasib ”Abu-abu” Kota Pengembangan KEK dan Kawasan Industri Baru
Terbayang bagaimana para pekerja menyisihkan 20 persen pendapatannya, bahkan lebih, untuk biaya transportasi dan menghemat pengeluaran lain agar kebutuhan diri ataupun keluarganya terpenuhi. Namun, di stasiun ataupun halte, mereka masih mendapat tambahan ”ujian hidup” ketika menemukan eskalator mati dan gangguan lainnya.
Rasanya makin boncos alias terus rugi dan tak terlihat segera ada solusi yang diidamkan. Protes berkali-kali lewat media sosial yang sampai viral hingga diliput berbagai media massa, tetapi tidak kunjung berbuah perbaikan signifikan.
Alangkah baiknya jika perihal eskalator rusak diinvestigasi pengelola fasilitas, lalu hasilnya dibuka ke publik. Kemudian, diikuti penerapan ketat standar penggunaan dan perawatan sarana prasarana dalam fasilitas transportasi umum. Itu, antara lain, agar tak terjadi dan terjadi lagi gangguan berlama-lama fasilitas publik, seperti eskalator mati.
Baca juga: Catatan Urban