Perihal Pilihan pada Politisi yang Kurang Berkualitas
Mengapa peserta pemilu yang dinilai kurang berkualitas justru terpilih dan fenomena serupa terus berulang?
Tak lama berselang usai pemilihan umum, di salah satu kawasan di Jakarta muncul spanduk bertuliskan larangan bagi siapa saja memasang spanduk, baliho, poster, dan lainnya di sekitar area itu. Spanduk lain memperingatkan agar pesepeda motor melaju sopan. Kalau tidak, siap-siap ”digas”.
Siapa pun yang melewati area itu tahu bahwa daerah tersebut markas aparat berseragam loreng. Di sana juga ada kawasan khusus untuk latihan dan hunian bagi keluarga mereka.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Bagi sebagian warga, tulisan di spanduk itu peringatan agar tertib berkendara dan menjaga lingkungan agar tak semrawut. Bagi sebagian lain, kalimat bernada ancaman itu mengingatkan pada nasib para pesepeda motor berknalpot ”brong” yang melewati markas tentara di Boyolali, Jawa Tengah, 30 Desember 2023, (Kompas.id, 31/12/2023).
Baca juga: Dari Naga Air ke Naga Kayu, 12 Tahun Jejak Para ”Media Darling”
Kala itu, beberapa anggota TNI terusik oleh sejumlah sukarelawan pendukung pasangan calon presiden tertentu yang berkampanye dengan knalpot ”brong”. Mereka lantas menghajar beberapa sukarelawan itu. Kasus itu telah diselesaikan di ranah hukum dan para pelaku mendapat sanksi tegas.
Kemunculan spanduk peringatan bernada ancaman itu turut memantik ingatan pada kondisi sebelum 1998. Apakah ini tanda pola pemerintahan lama bakal kembali lagi? Salah satu memori kuat tentang era itu adalah hingga sekitar 25 tahun lalu, mereka yang bekerja di lembaga pemerintah turut melanggengkan rezim di masa tersebut.
Pemerintahan yang korup dan sangat berkuasa kala itu membuat rakyat kebanyakan harus patuh pada segala aturan tertulis maupun tidak tertulis, atas nama ketertiban dan kepentingan publik. Mereka bisa memperkarakan siapa saja yang dinilai menyinggung aparat atau pemerintah dengan bermacam tudingan, termasuk kegiatan ”subversif”.
Baca juga: Gemerlap Mal Baru Melawan Fenomena Redupnya Pusat Belanja
Lebih dari tiga dekade sebelum reformasi itu, siapa pun yang hendak mengurus segala perizinan dan layanan adiministrasi kependudukan ”lazim” membayar. Begitu pula jika hendak masuk sekolah favorit atau diterima bekerja di berbagai bidang.
Di sisi lain, publik dan penguasa menampilkan sosok ramah dan patuh pada pimpinan. Kepatuhan dan disiplin yang diterapkan ala-ala militer.
Di era reformasi, presiden hingga wali kota/bupati dipilih langsung serta dibatasi periode kepemimpinannya maksimal dua kali masa jabatan. Sebuah kondisi yang memberi harapan baru. Akan tetapi, bukan berarti praktik korup, kolusi, dan nepotisme bisa diberantas tuntas.
Di banyak daerah, termasuk di Kota Tangerang Selatan di Banten dan Jakarta, layanan administrasi kependudukan satu pintu tanpa ”membayar” baru benar-benar terwujud sekitar 10 tahun terakhir. Layanan publik secara digital, mulai dari pembuatan paspor, SIM, sampai penerimaan pegawai negeri sipil yang lebih transparan menjad budaya baru.
Baca juga: Conan, Aoyama Gosho, dan Daya Tarik Fiksi Kriminal Perkotaan
Kondisi itu sebuah kemajuan yang patut disyukuri. Sayangnya, digitalisasi belum sepenuhnya menghapus KKN. Korupsi di tubuh pemerintahan dan lembaga legislatif masih terjadi dengan sejumlah kasus yang bermunculan.
Masyarakat memang merasakan pembangunan pesat. Jalan aspal mulus saat ini mudah ditemukan. Banyak kawasan pengembangan ekonomi baru. Jakarta, wajah metropolitan terbesar di Indonesia, sekarang makin dipoles. Jaringan jalan, tol, angkutan umum, sampai gedung pencakar langit mengakrabi kota.
Walakin, sistem pemerintahan tetap sarat persoalan, pemimpin yang asal populer dan terlihat merakyat, serta terfokus pada target jangka pendek sesuai periode jabatan. Akibatnya, banyak program pembangunan tidak tuntas menjawab persoalan serius di tengah masyarakat.
Sebagai contoh, pembangunan sistem transportasi publik yang membutuhkan dana besar dan tak bisa selesai dalam lima tahun selalu dikesampingkan dari program unggulan daerah. Kemacetan pun menjadi penyakit harian tak hanya di Jakarta dan sekitarnya, tetapi juga di kawasan aglomerasi perkotaan lain di Indonesia.
Begitu pun program ketahanan pangan hingga kesiapsiagaan warga di kawasan rawan bencana. Semua terasa tegas di perencanaan, tetapi melempem di pelaksanaan. Bahkan, mandek.
Kita salah memilih politisi karena banyak orang tepat, tetapi tidak mampu secara finansial untuk mencalonkan diri
Perihal salah pilih
Di tengah berbagai hal yang memprihatinkan tersebut, hasil pemilu kali ini membuat publik di dalam maupun di luar negeri bertanya-tanya, salah satunya diulas oleh The New York Times. Bagaimana di tahun 2024 ini, masih banyak suara untuk para calon yang sekadar populer, sekalipun kurang berkualitas dan terkait masa lalu? Dan, itu terjadi berulang.
Baca juga: Senyuman dan Janji-janji di Sepanjang Jalan Raya
Padahal, rakyat kebanyakanlah yang merasakan langsung berbagai dampak kebijakan pemimpin dan wakil rakyat yang salah. Namun, faktanya rakyat juga mudah terpukau polesan kampanye para politisi. Munculnya pertanyaan dari sebagian kalangan tentang kenapa banyak suara selalu berakhir memilih pihak yang dinilai kurang berkualitas pun sebatas gugatan tak berujung.
Kejadian serupa ternyata juga terjadi di negara maju dan modern. Why We Get the Wrong Politicians, buku yang ditulis Isabel Hardman tahun 2018 dan mengulas bagaimana politisi tak berkualitas, bahkan terkadang kriminal, bisa selalu terpilih. Hardman secara khusus mengangkat fenomena di Inggris.
Perempuan jurnalis politik itu menyebut, ada politisi baik, pekerja keras, melakukan pekerjaan yang sangat sulit dan menuntut. Akan tetapi, secara umum politisi adalah kelompok profesional yang paling tidak dipercaya oleh masyarakat Inggris.
Baca juga: Megakota, Raksasa yang Serba Setengah-setengah
Ada politisi terbukti terlibat skandal kekerasan seksual. Setiap tahun, para politisi ini mengenalkan undang-undang baru dan kebijakan populis yang tidak sesuai harapan publik. Bahkan, menimbulkan kerugian sangat besar, baik dari sisi finansial maupun memicu segregasi sosial.
”Kita salah memilih politisi karena banyak orang tepat, tetapi tidak mampu secara finansial untuk mencalonkan diri,” tulis Hardman, yang menyebut fenomena itu sebagai gelembung Westminster.
Kemenangan dinilai lebih penting daripada memerintah dengan baik. Para pemimpin tidak peduli bahwa kebijakan mereka akan menimbulkan kerugian. Mereka yang meyakini sebaliknya dan mengikuti suara hati nurani bisa berakhir masuk dalam target pembersihan politik.
The Guardian dalam salah satu artikelnya, ”Democracy v Psychology: Why People Keep Electing Idiots” delapan tahun lalu menuliskan, menjadi politisi memang tidak butuh orang pintar. Yang paling penting, ia percaya diri.
Baca juga: Inovasi-inovasi Kota yang Dinanti pada 2024
Di sisi lain, dari sisi psikologi, di antara jutaan orang yang menjadi pemilik suara, banyak yang menunjukkan orientasi tujuan mencapai sesuatu. Perasaan bahwa keaktifan mereka dapat memengaruhi sesuatu, seperti suara di pemilu, ikut menentukan nasib bangsa, menjadi motivator kuat.
Namun, ketika ada pihak berpengetahuan luas melontarkan kata-kata tentang sebuah isu yang publik secara umum kurang memahaminya, publik akan mengasingkan atau memilih tidak mengikuti sosok itu. Sebaliknya, jika ada sosok yang percaya diri mengatakan punya solusi sederhana atas masalah besar dan rumit yang dirasakan publik saat ini, hal tersebut jauh lebih menarik dan meraup banyak pendukung.
Bias dan prasangka
Mayoritas individu juga rentan terhadap berbagai bias, prasangka, stereotipe bawah sadar, dan lebih memilih kelompok yang membuat mereka nyaman. Tak satu pun dari hal tersebut yang logis dan didukung bukti aktual. Kelompok seperti ini jelas tidak bodoh, tetapi sangat tidak suka diberi tahu hal-hal yang tidak ingin mereka dengar.
Akibatnya, jika ada orang cerdas mengatakan hal sebaliknya—sekalipun dengan paparan fakta lugas—masyarakat jenis itu akan menutup diri. Di sisi lain, seseorang yang kurang cerdas atau sekadar tampil kurang cerdas, tidak menantang persepsi publik, tetapi bisa berakting duduk sejajar merasakan apa yang publik resahkan, kemudian menawarkan solusi sederhana walau tidak mengatasi masalah, maka jelas menjadi pilihan mayoritas masyarakat.
Baca juga: Nasib ”Abu-abu” Kota Pengembangan KEK dan Kawasan Industri Baru
Demokrasi jelas terkait erat dengan suara publik sebagai penentunya. Pemimpin cerdas dan baik perlu memahami psikologi rakyatnya, bukan dengan spanduk bernada ancaman atau menggurui, demi memenangkan hati dan suara rakyat. Yang tidak bisa dinafikan, perlu dukungan kekuatan dan uang untuk mendidik publik agar lebih melek politik bermasa depan. Perlu waktu dan proses untuk mengikis bias, prasangka, dan menciptakan relasi yang nyaman.
Sudahkah itu terjadi di Indonesia?
Baca juga: Catatan Urban