Conan, Aoyama Gosho, dan Daya Tarik Fiksi Kriminal Perkotaan
Penggemar dari seluruh dunia tersentak saat Aoyama Gosho memutuskan manga ”Detektif Conan” berhenti sementara. Mengapa?
Januari menjadi bulan istimewa bagi para penggemar Detektif Conan. Seri pertama manga dengan tokoh utama Shinichi Kudo alias Conan Edogawa ini lahir pada Januari 1994. Di bulan yang sama 30 tahun kemudian, Aoyama Gosho di Shogakukan Shonen mengumumkan mengakhiri sementara karyanya yang telah menembus pasar Asia hingga ke Amerika Serikat dan Eropa itu.
Penulis dan penggambar ilustrasi berusia 60 tahun itu akan menerbitkan seri pungkasan Conan sebelum hiatus. Kisah detektif remaja yang kembali menjadi anak SD—setelah dipaksa menenggak racun dari Organisasi Hitam—itu akan diangkat lagi ke layar lebar. Jangan lupa, komikus Gosho pun menggelar pameran di beberapa kota di Jepang.
Para penggemarnya tak sabar mendapatkan komik terakhir sebelum masa jeda tentang detektif yang kisahnya punya banyak kemiripan dengan karya Agatha Christie dan Sir Artur Conan Doyle itu. Filmnya ditunggu-tunggu. Pamerannya pun bakal diserbu.
Baca juga: Senyuman dan Janji-janji di Sepanjang Jalan Raya
Kini, rencana hiatus seri manga Conan berubah menjadi perayaan yang mendunia. Gaungnya yang kian melambungkan nama seniman pembuatnya beserta komik dan bermacam produk adaptasinya.
Dari sisi demografi, banyak fans berat Conan yang kini telah memiliki anak, bahkan cucu. Penggemar lintas generasi dalam satu rumah pun bisa bersama-sama menikmati hiburan ketegangan sepak terjang si penguak misteri yang selalu berusia sama walau telah beraksi mengarungi tiga dekade.
Ibu dan anak bisa kompak senyum-senyum membaca kekocakan grup detektif cilik anak-anak sekolah dasar yang dimotori Conan. Gemas rasanya melihat Conan dan Ran Mouri, figur remaja putri pujaan hatinya. Rivalitas dan persahabatan dengan Heiji Hattori selalu asik disimak. Persaingan diiringi rasa hormat antara Conan dan Kaito Kid si pencuri pun menjadi ”menu pendamping” yang menggelitik.
Satu buku komik bakal menyisakan rasa haus untuk segera membaca sambungannya, mencermati gambar demi gambar berharap menemukan petunjuk tentang pelaku, dan menuntaskan rasa ingin tahu.
Pembaca diajak berpikir dan menebak bagaimana cara membunuh atau mencuri di ruangan yang terkunci dari dalam. Lalu, siapa pelaku dari beberapa orang yang pantas jadi tersangka.
Daya tarik misteri
Komik Detektif Conan yang mengglobal menjadi bagian fenomena umum terkait kecintaan publik lintas generasi, budaya, dan negara pada kisah misteri.
Elizabeth Michaelson Monaghan dalam artikelnya ”The Allure of Mysteries” yang diterbitkan The British Psychologycal Society menyatakan, beberapa penggemar menyukai misteri karena ada keinginan dugaan mereka terkonfirmasi di akhir cerita.
Kelompok lain kecanduan kisah misteri karena menyukai sensasi ketegangan dan kejutan. Kelompok berbeda lainnya menikmati ketidakpastian yang melekat pada genre ini.
Baca juga: Megakota, Raksasa yang Serba Setengah-setengah
Secara tradisional, ketidakpastian dikaitkan dengan kecemasan dan kegugupan. Namun, merujuk pada penelitian di Universitas Virginia dan Universitas Harvard, Monaghan menyatakan, suasana hati yang baik seseorang akan bertahan lebih lama dalam kondisi yang tidak pasti. Syaratnya, asalkan mereka tahu hasil dari ketidakpastian itu akan positif.
Pembaca cerita kriminal rata-rata suka mengumpulkan semua informasi, menganalisis, dan mencoba memahami keseluruhan teka-teki. Mereka puas, senang, seperti mendapatkan pencerahan maupun wawasan yang memperkaya pemikiran.
”Misteri memiliki hampir semua faktor yang kami identifikasi sebagai pemicu rasa ingin tahu,” kata Russell Golman, ahli matematika yang mendalami ekonomi perilaku yang dikutip Monaghan.
Misteri yang berhubungan dengan percintaan sama menariknya. Dalam perspektif psikologi evolusioner dijelaskan, daya tarik misteri ini amat besar karena orang secara alami terbiasa dengan informasi yang relevan untuk kelangsungan hidup atau reproduksi.
Genre kriminal urban
Satu hal lagi yang menyebabkan cerita kriminal digemari banyak orang adalah upaya mengembangkan imajinasi dan meramunya semirip mungkin dengan realitas kaum urban.
Detektif Conan sejak awal hadir dengan teknologi yang diadopsi si detektif mungil dan kental suasana perkotaan. Walau Conan tak pernah tumbuh besar, hanya anak SD atau menjadi aslinya sebagai remaja SMA, tetapi dari dekade ke dekade terekam perubahan penggunaan telepon rumah menjadi telepon umum lalu telepon genggam juga dunia digital.
Baca juga: Inovasi-inovasi Kota yang Dinanti pada 2024
Sesekali ada kasus di area terpencil, tetapi Conan dan teman-teman serta penjahat musuh abadinya di Organisasi Hitam berpusat di Tokyo. Lakon itu seperti halnya detektif fiksi kenamaan Sherlock Holmes yang berbasis di tengah Kota London di Inggris.
Kasus-kasus yang mereka tangani dikisahkan, di antaranya para taipan, petinggi korup, asmara berujung maut, sampai kejahatan terorganisasi yang terkait dengan banyak pelanggaran hukum di perkotaan.
Bill Phillips dalam Crime Fiction and The City: The Rise of Global Urban Genredi The Academic Platform menyatakan, pengaitan fiksi kriminal dengan kota disebabkan oleh berbagai faktor. Ia menjelaskan, sejak lama kota telah dikutuk sebagai pusat korupsi, ketidakadilan, dan kekerasan. Fiksi kriminal modern yang muncul mulai abad ke-19 menempatkan detektifnya di pusat-pusat kota besar melawan semua itu.
Detektif sosok bersih yang memungkinkan pembaca mendapatkan keadilan di bagian-bagian kota di mana ketidakadilan mengintai.
Menurut Phillips, meskipun banyak juga yang berlatar belakang perdesaan, hampir semua fiksi kriminal dari seluruh dunia kini bersifat perkotaan. Tak salah jika muncul teori kotalah asal mula cerita detektif.
Kota yang sibuk, padat, bising, di mana-mana ada aktivitas, merupakan penyamaran sempurna untuk menyembunyikan berbagai misteri. Para penulis cerita kriminal sangat kuat menerapkan sense of place atau reaksi manusia terhadap tempat, salah satu teori kota yang dicetuskan Kevin Lynch.
Baca juga: Nasib ”Abu-abu” Kota Pengembangan KEK dan Kawasan Industri Baru
Karya mereka membangkitkan pengalaman berada di suatu tempat dengan fasih, sangat pribadi, dan deskriptif. Kota memiliki struktur kompleks yang terbuka terhadap beragam penafsiran. Di tangan seniman, kerumitan kota justru menjadi kanvas kosong yang dapat dibentuk menjadi apa pun.
New York, London, Berlin, Paris, Tokyo, juga Jakarta bisa menjadi kota besar yang cantik dan romantis dalam tulisan para penulis. Namun, bisa berubah kejam, semrawut, gelap, dan jahat tergantung dari sisi mana penulis menguatkan deskripsi lokasi, waktu, dan tokoh.
Baca juga: Menitipkan Kota-kota pada (Calon) Presiden dan Wakil Presiden
Kisah misteri memakai kota sebagai kanvas dan menyerap bagaimana sebagian besar kota tetaplah tempat yang misterius bagi pendatang baru maupun penduduk lokal. Individu bisa benar-benar terasing, tersesat, atau sengaja menghilangkan jejak di tengah keramaian kota.
Detektif fiksi digambarkan bisa mengendus jejak yang hendak dihilangkan oleh orang jahat di keramaian kota. Ia bergaul dengan banyak orang dari berbagai kalangan. Hal itu memudahkannya mendatangi tempat yang tidak semua orang bisa menembusnya.
Musuh ketidakadilan
”Dia (detektif) adalah pemintal jaring yang mengikat berbagai lapisan sosial menjadi satu. Detektif sosok bersih yang memungkinkan pembaca mendapatkan keadilan di bagian-bagian kota di mana ketidakadilan mengintai,” tulis Phillips lagi.
Meskipun demikian, kata Phillips yang sepakat dengan para psikolog dan ahli lain, kota sebenarnya terlalu kuat bagi seorang detektif untuk mengungkap masalah. Oleh karena itu, kemenangan lokal kecil menemukan pelaku kejahatan oleh si detektif adalah prestasi membanggakan di tengah kompleksitas isu kota.
Figur Hercule Poirot, Cormoran Strike tokoh utama seri detektif dari Robert Galbraith alias JK Rowling, sampai Conan, bak pahlawan yang memastikan penjahat tertangkap dan dihukum berat. Pembaca pun terhibur, puas, walau hanya sebatas karangan di dalam buku.
Baca juga: Catatan Urban